Newsletter

Dialog Dagang di Washington Batal atau Tidak, Pak Trump?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2019 07:29
Dialog Dagang di Washington Batal atau Tidak, Pak Trump?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan pekan lalu. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terkoreksi, sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah turun. 

Sepanjang pekan lalu, IHSG turun 0,91% sementara rupiah melemah tipis 0,07% terhadap greenback. Namun yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun signifikan 23,5 basis poin (bps). Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan. 

Sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan dunia pekan lalu adalah perang dagang AS-China yang mengarah ke perang mata uang. Setelah AS mengancam akan menerapkan bea masuk baru terhadap impor produk China senilai US$ 300 miliar, China seakan membalas dengan 'memainkan' nilai tukar yuan. 

Sejak awal pekan lalu, yuan melemah dan menembus level CNY 7/US$. Ini tidak pernah terjadi sejak Maret 2008. Selama seminggu kemarin, yuan melemah 1,77% di hadapan dolar AS. 

Perang dagang sepertinya sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif.  

Berbagai negara berlomba-lomba melemahkan mata uangnya dengan mengabaikan mekanisme pasar. Ini tentu sangat berbahaya. Tidak heran pelaku pasar memilih bermain aman dan melepas aset-aset berisiko.
 

Namun mengapa harga obligasi pemerintah masih mampu naik? Sepertinya ini ada kaitannya dengan kebijakan moneter di berbagai negara. 

Pekan lalu, ada empat bank sentral yang menurunkan suku bunga acuan yaitu Selandia Baru, India, Thailand, dan Filipina. Tidak hanya di negara-negara tetangga, bahkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) diperkirakan kembali menurunkan suku bunga acuan bulan depan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Ketua Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan 18 September adalah 76,5%. Sementara peluang penurunan 50 bps adalah 23,5%. 

Situasi ini membuat berinvestasi di Indonesia semakin menguntungkan, terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga. Yield obligasi di negara-negara tersebut akan terus turun, sehingga pasar obligasi Indonesia semakin seksi. 

Saat ini, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun adalah 7,327%. Sementara yield instrumen serupa di India adalah 6,43%, Thailand 1,52%, Filipina 4,465%, dan Selandia Baru 1,11%. Sementara US Treasury Bond tenor 10 tahun punya yield 1,7086%.

Jadi, berinvestasi di Indonesia sangat menarik, cuan gede. Tidak hanya cuan, investasi juga aman seiring kenaikan peringkat utang (rating) Indonesia dari Standard and Poor's dari BBB- menjadi BBB yang diberikan pada akhir Mei lalu. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama melemah sepanjang pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) minus 0,75%, S&P 500 turun 0,46%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,56%. Sementara pada perdagangan akhir pekan, DJI turun 0,37%, S&P 500 melemah 0,66%, dan Nasdaq terpangkas 0,98%.  

Perang dagang AS-China masih menjadi sentimen utama di bursa saham New York. Presiden AS Donald Trump mengatakan Washington terus berkomunikasi dengan Beijing. Namun kesepakatan dagang sepertinya tidak bisa terjadi dalam waktu dekat. 

Apakah rencana dialog dagang pada awal September akan dibatalkan, Pak Presiden? 

"Mungkin, tetapi kita lihat nanti. Perundingan masih terjadwal," ujar Trump akhir pekan lalu, seperti diberitakan Reuters. 

Menurut Trump, China masih berhasrat untuk mencapai kesepakatan damai dagang. Namun Trump menyatakan dirinya belum siap untuk itu. 

Trump juga menyinggung soal nasib Huawei, perusahaan telekomunikasi asal China yang beberapa waktu lalu masuk daftar hitam. "AS tidak akan berbisnis dengan Huawei. Namun itu bisa berubah jika ada kesepakatan dagang AS-China," katanya. 

Well, masih belum jelasnya nasib damai dagang AS-China menjadi batu sandungan bagi Wall Street. Malangnya, ini bisa menjadi sentimen negatif di Asia... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street, yang mengalami koreksi baik secara mingguan maupun perdangan akhir pekan. 'Demam' di Wall Street bisa saja menular ke Asia pagi ini, termasuk Indonesia. 

Sentimen kedua tentu adalah perkembangan friksi dagang AS-China. Pernyataan Trump akhir pekan lalu memang membuka harapan damai dagang, tetapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan Trump masih membuka kemungkinan perundingan di Washington bulan depan bakal batal. Sesuatu yang membuat asa damai dagang AS-China semakin menjauh. 

Investor perlu memantau bagaimana China bereaksi terhadap pernyataan Trump. Bisa saja China balas mengancam dengan membiarkan yuan melemah. Ketika yuan lemah, maka produk made in China akan lebih murah di pasar ekspor sehingga bisa mudah masuk ke pasar negara mana saja, termasuk AS (meski kena bea masuk, tetapi harga dasarnya lebih murah). 


Jika kecenderungan perang mata uang terus terjadi, maka wajar jika pelaku pasar masih akan khawatir. Aset-aset aman seperti emas atau yen Jepang akan tetap jadi pilihan utama. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah. Koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi menyerang daerah Aden di Yaman untuk menghantam pasukan separatis. Serangan tersebut menewaskan 40 orang dan melukai 260 orang lainnya. 

"Sangat sedih melihat keluarga-keluarga yang justru berduka karena kehilangan orang-orang terkasih mereka pada saat Idul Adha," kata Lise Grande, Koordinator Aksi Humanitarian PBB, seperti diwartakan Reuters. 

Hal yang menjadi kekhawatiran adalah serangan ini bisa memicu eskalasi selanjutnya. Pasukan separatis Houthi mendapat bekingan dari Iran, rival Arab Saudi yang saling berebut pengaruh di Timur Tengah. Iran kemungkinan tidak akan diam setelah serangan ini. 

Situasi Timur Tengah yang memanas bisa ikut 'memanaskan' harga minyak. Maklum, Timur Tengah adalah wilayah produsen minyak terbesar di dunia. Jika ada gangguan keamanan, maka produksi dan distribusi minyak berisiko terhambat. 

Ketika harga minyak benar-benar naik, maka lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak kunjung memadai. 

Apabila harga minyak naik, maka impor minyak menjadi lebih mahal sehingga membebani neraca perdagangan. Lebih banyak valas yang keluar untuk keperluan impor berarti rupiah akan cenderung melemah. 

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, investor sepertinya masih perlu memantau reaksi dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 . Pada kuartal II-2019, NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar. 

Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB). 

Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah. 

Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Bahkan kemungkinan melemah cukup besar. 

Ternyata pasar keuangan Indonesia lumayan imun menghadapi data yang dirilis akhir pekan lalu tersebut. Namun untuk perdagangan hari ini tidak ada salahnya kembali menyimak data NPI, karena pasar sudah menghabiskan waktu dua hari untuk mencernanya. Bisa saja data NPI menjadi batu sandungan bagi IHSG dkk. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut sejumlah rilis data yang perlu disimak oleh pelaku pasar:
  • Angka penjualan kendaraan bermotor China periode Juli.
  • Angka ekspektasi inflasi AS periode Juli.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal II-2019 YoY)5,05%
Inflasi (Juli 2019 YoY)3,42%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2019)5,75%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Kuartal II-2019)-3,04% PDB
Neraca pembayaran (Kuartal II-2019)-US$ 1,98 miliar
Cadangan devisa (Juli 2019)US$ 125,9 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular