
Newsletter
Dialog Dagang di Washington Batal atau Tidak, Pak Trump?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2019 07:29

Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah perkembangan di Wall Street, yang mengalami koreksi baik secara mingguan maupun perdangan akhir pekan. 'Demam' di Wall Street bisa saja menular ke Asia pagi ini, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua tentu adalah perkembangan friksi dagang AS-China. Pernyataan Trump akhir pekan lalu memang membuka harapan damai dagang, tetapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan Trump masih membuka kemungkinan perundingan di Washington bulan depan bakal batal. Sesuatu yang membuat asa damai dagang AS-China semakin menjauh.
Investor perlu memantau bagaimana China bereaksi terhadap pernyataan Trump. Bisa saja China balas mengancam dengan membiarkan yuan melemah. Ketika yuan lemah, maka produk made in China akan lebih murah di pasar ekspor sehingga bisa mudah masuk ke pasar negara mana saja, termasuk AS (meski kena bea masuk, tetapi harga dasarnya lebih murah).
Jika kecenderungan perang mata uang terus terjadi, maka wajar jika pelaku pasar masih akan khawatir. Aset-aset aman seperti emas atau yen Jepang akan tetap jadi pilihan utama.
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah. Koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi menyerang daerah Aden di Yaman untuk menghantam pasukan separatis. Serangan tersebut menewaskan 40 orang dan melukai 260 orang lainnya.
"Sangat sedih melihat keluarga-keluarga yang justru berduka karena kehilangan orang-orang terkasih mereka pada saat Idul Adha," kata Lise Grande, Koordinator Aksi Humanitarian PBB, seperti diwartakan Reuters.
Hal yang menjadi kekhawatiran adalah serangan ini bisa memicu eskalasi selanjutnya. Pasukan separatis Houthi mendapat bekingan dari Iran, rival Arab Saudi yang saling berebut pengaruh di Timur Tengah. Iran kemungkinan tidak akan diam setelah serangan ini.
Situasi Timur Tengah yang memanas bisa ikut 'memanaskan' harga minyak. Maklum, Timur Tengah adalah wilayah produsen minyak terbesar di dunia. Jika ada gangguan keamanan, maka produksi dan distribusi minyak berisiko terhambat.
Ketika harga minyak benar-benar naik, maka lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak kunjung memadai.
Apabila harga minyak naik, maka impor minyak menjadi lebih mahal sehingga membebani neraca perdagangan. Lebih banyak valas yang keluar untuk keperluan impor berarti rupiah akan cenderung melemah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, investor sepertinya masih perlu memantau reaksi dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 . Pada kuartal II-2019, NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar.
Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB).
Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah.
Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Bahkan kemungkinan melemah cukup besar.
Ternyata pasar keuangan Indonesia lumayan imun menghadapi data yang dirilis akhir pekan lalu tersebut. Namun untuk perdagangan hari ini tidak ada salahnya kembali menyimak data NPI, karena pasar sudah menghabiskan waktu dua hari untuk mencernanya. Bisa saja data NPI menjadi batu sandungan bagi IHSG dkk.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Sentimen kedua tentu adalah perkembangan friksi dagang AS-China. Pernyataan Trump akhir pekan lalu memang membuka harapan damai dagang, tetapi itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Bahkan Trump masih membuka kemungkinan perundingan di Washington bulan depan bakal batal. Sesuatu yang membuat asa damai dagang AS-China semakin menjauh.
Investor perlu memantau bagaimana China bereaksi terhadap pernyataan Trump. Bisa saja China balas mengancam dengan membiarkan yuan melemah. Ketika yuan lemah, maka produk made in China akan lebih murah di pasar ekspor sehingga bisa mudah masuk ke pasar negara mana saja, termasuk AS (meski kena bea masuk, tetapi harga dasarnya lebih murah).
Jika kecenderungan perang mata uang terus terjadi, maka wajar jika pelaku pasar masih akan khawatir. Aset-aset aman seperti emas atau yen Jepang akan tetap jadi pilihan utama.
Sentimen ketiga adalah perkembangan di Timur Tengah. Koalisi yang dipimpin oleh Arab Saudi menyerang daerah Aden di Yaman untuk menghantam pasukan separatis. Serangan tersebut menewaskan 40 orang dan melukai 260 orang lainnya.
"Sangat sedih melihat keluarga-keluarga yang justru berduka karena kehilangan orang-orang terkasih mereka pada saat Idul Adha," kata Lise Grande, Koordinator Aksi Humanitarian PBB, seperti diwartakan Reuters.
Hal yang menjadi kekhawatiran adalah serangan ini bisa memicu eskalasi selanjutnya. Pasukan separatis Houthi mendapat bekingan dari Iran, rival Arab Saudi yang saling berebut pengaruh di Timur Tengah. Iran kemungkinan tidak akan diam setelah serangan ini.
Situasi Timur Tengah yang memanas bisa ikut 'memanaskan' harga minyak. Maklum, Timur Tengah adalah wilayah produsen minyak terbesar di dunia. Jika ada gangguan keamanan, maka produksi dan distribusi minyak berisiko terhambat.
Ketika harga minyak benar-benar naik, maka lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya bagi Indonesia. Sebab Indonesia adalah negara net importir minyak, yang mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri tidak kunjung memadai.
Apabila harga minyak naik, maka impor minyak menjadi lebih mahal sehingga membebani neraca perdagangan. Lebih banyak valas yang keluar untuk keperluan impor berarti rupiah akan cenderung melemah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, investor sepertinya masih perlu memantau reaksi dari rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 . Pada kuartal II-2019, NPI membukukan defisit US$ 1,98 miliar. Padahal pada kuartal sebelumnya terjadi surplus US$ 2,42 miliar.
Sementara di pos yang menjadi sorotan utama, yaitu transaksi berjalan (current account), terjadi defisit US$ 8,44 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 6,97 miliar (2,6% PDB).
Defisit NPI menandakan arus devisa di perekonomian nasional seret, lebih banyak yang keluar ketimbang yang masuk. Apalagi kemudian devisa jangka panjang dari ekspor barang dan jasa, yang dicerminkan dari transaksi berjalan, mengalami defisit yang lebih parah.
Semestinya ini menjadi sentimen negatif yang tidak main-main bagi rupiah. Tanpa bantalan devisa yang memadai, rupiah sulit untuk stabil. Bahkan kemungkinan melemah cukup besar.
Ternyata pasar keuangan Indonesia lumayan imun menghadapi data yang dirilis akhir pekan lalu tersebut. Namun untuk perdagangan hari ini tidak ada salahnya kembali menyimak data NPI, karena pasar sudah menghabiskan waktu dua hari untuk mencernanya. Bisa saja data NPI menjadi batu sandungan bagi IHSG dkk.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular