
Newsletter
AS-Meksiko Damai, AS-China Masih Cerai
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
11 June 2019 05:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Meski baru menjalani perdagangan perdana usai libur panjang Idul Fitri, pasar keuangan Indonesia tidak membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Selepas libur satu pekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan pasar obligasi pemerintah langsung tancap gas.
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat signifikan 1,3%. Sementara nilai tukar rupiah menguat 0,18% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun anjlok 28,1 basis poin. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Dari sisi eksternal, pelaku pasar tengah bergairah karena hawa penurunan suku bunga acuan global yang semakin terasa, termasuk di AS. Akhir pekan lalu, ada rilis data yang kurang menggembirakan di Negeri Paman Sam.
Pada Mei, perekonomian AS 'hanya' menciptakan 75.000 lapangan kerja. Ini merupakan kali pertama sejak awal tahun penciptaan lapangan kerja di bawah 100.000.
Artinya, ekspansi ekonomi di AS sepertinya mulai membentur tembok. Perlambatan ekonomi sepertinya adalah sebuah keniscayaan. Apalagi Negeri Adidaya terlibat perang dagang dengan China dan bukan tidak mungkin dengan negara lainnya.
"Kami tidak tahu kapan dan bagaimana masalah ini (perang dagang) bisa diselesaikan. Kami terus memonitor dampak dari perkembangannya terhadap prospek perekonomian AS dan seperti biasanya akan bertindak jika dibutuhkan untuk menjaga ekspansi pasar tenaga kerja dan inflasi mendekati target 2%," papar Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserves/The Fed, mengutip Reuters.
Investor membaca salah satu langkah yang bakal ditempuh The Fed adalah menurunkan suku bunga. Tampaknya AS sudah tidak bisa menghindar, suku bunga harus turun.
Artinya berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS, utamanya yang berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi kurang menguntungkan. Arus modal pun cenderung menghindari dolar AS dan hinggap ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sementara dari dalam negeri, rasanya dampak kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P) masih terasa. Sebelum libur Idul Fitri, S&P memberikan 'kado' berupa kenaikan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
Kenaikan rating semakin mempertebal kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia (terutama obligasi pemerintah) karena risiko gagal bayar semakin minim. Akibatnya pelaku pasar melakukan aksi borong sehingga IHSG dkk bergerak ke utara alias menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat signifikan 1,3%. Sementara nilai tukar rupiah menguat 0,18% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun anjlok 28,1 basis poin. Penurunan yield menandakan harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Dari sisi eksternal, pelaku pasar tengah bergairah karena hawa penurunan suku bunga acuan global yang semakin terasa, termasuk di AS. Akhir pekan lalu, ada rilis data yang kurang menggembirakan di Negeri Paman Sam.
Pada Mei, perekonomian AS 'hanya' menciptakan 75.000 lapangan kerja. Ini merupakan kali pertama sejak awal tahun penciptaan lapangan kerja di bawah 100.000.
Artinya, ekspansi ekonomi di AS sepertinya mulai membentur tembok. Perlambatan ekonomi sepertinya adalah sebuah keniscayaan. Apalagi Negeri Adidaya terlibat perang dagang dengan China dan bukan tidak mungkin dengan negara lainnya.
"Kami tidak tahu kapan dan bagaimana masalah ini (perang dagang) bisa diselesaikan. Kami terus memonitor dampak dari perkembangannya terhadap prospek perekonomian AS dan seperti biasanya akan bertindak jika dibutuhkan untuk menjaga ekspansi pasar tenaga kerja dan inflasi mendekati target 2%," papar Jerome 'Jay' Powell, Gubernur The Federal Reserves/The Fed, mengutip Reuters.
Investor membaca salah satu langkah yang bakal ditempuh The Fed adalah menurunkan suku bunga. Tampaknya AS sudah tidak bisa menghindar, suku bunga harus turun.
Artinya berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS, utamanya yang berpendapatan tetap seperti obligasi, menjadi kurang menguntungkan. Arus modal pun cenderung menghindari dolar AS dan hinggap ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Sementara dari dalam negeri, rasanya dampak kenaikan peringkat utang dari Standard and Poor's (S&P) masih terasa. Sebelum libur Idul Fitri, S&P memberikan 'kado' berupa kenaikan peringkat utang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.
Kenaikan rating semakin mempertebal kepercayaan investor terhadap pasar keuangan Indonesia (terutama obligasi pemerintah) karena risiko gagal bayar semakin minim. Akibatnya pelaku pasar melakukan aksi borong sehingga IHSG dkk bergerak ke utara alias menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
AS-Meksiko Damai, Wall Street Hijau Lagi
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular