Newsletter

Harpitnas dan Jelang Libur Lebaran, Bagaimana Pasar Hari ini?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
31 May 2019 04:51
Harpitnas dan Jelang Libur Lebaran, Bagaimana Pasar Hari ini?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia tidak beroperasi kemarin karena libur memperingati Kenaikan Yesus Kristus. Padahal kinerja pasar keuangan Asia lumayan bagus pada perdagangan kemarin. 

Pada Kamis (30/5/2019), pasar saham Asia ditutup variatif di mana yang melemah adalah Nikkei 225 (-0,29%), Hang Seng (-0,44%), Shanghai Composite (-0,31%), dan Straits Times (-0,64%). Sementara yang menguat antara lain Kospi (0,77%), KLSE (0,79%), PSEI (0,5%), dan SETI (0,14%). 


Sedangkan mata uang utama Asia mayoritas menguat di terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang yang terdepresiasi hanya yen Jepang (-0,01%) dan dolar Taiwan (-0,09%). 

Sepertinya pelaku pasar mulai kembali melirik pasar keuangan Benua Kuning setelah sempat berkerumun di sekitar dolar AS. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat 0,54% pada 28 dan 29 Mei. 

Selepas penguatan yang dirasa sudah lumayan tajam, investor pun mulai merealisasikan cuan. Dolar AS kemudian mengalami tekanan jual dan arus modal mengalir ke Asia. Tidak heran performa pasar keuangan Asia lumayan bagus pada perdagangan kemarin. 

Selain itu, rilis data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam juga tidak menguntungkan dolar AS. Pembacaan kedua terhadap pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019 menghasilkan angka 3,1% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih lambat ketimbang proyeksi pertama yang sebesar 3,2%. 

Bagi negara sebesar AS, pertumbuhan ekonomi 3% sudah menjadi pencapaian yang luar biasa. Namun tetap saja ada perlambatan, yang bisa menjadi sebuah tren jika tidak ada kebijakan counter-cyclical. 

Salah satu bentuk kebijakan untuk menangkal siklus perlambatan ekonomi adalah menurunkan suku bunga acuan. Penurunan suku bunga acuan dipercaya mampu mendorong minat konsumen dan dunia usaha untuk berekspansi sehingga aktivitas ekonomi kembali bergairah. 

Jadi wajar jika pelaku pasar semakin yakin bahwa The Federal Reserve/The Fed bakal menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas Federal Funds Rate berada di 2-2,25% pada akhir 2019 (turun 25 basis poin dari posisi saat ini di 2,25-2,5%) adalah 37,2%. Sementara peluang suku bunga acuan ditahan sampai akhir tahun lebih rendah yaitu 15%. 

Buat dolar AS, potensi penurunan suku bunga acuan bukan kabar gembira. Jika suku bunga benar-benar turun, maka imbalan investasi di instrumen berbasis dolar AS akan ikut terkoreksi. Investor kemudian mengambil posisi di depan dengan melepas dolar AS sebelum nilainya turun akibat pemangkasan suku bunga acuan. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat meski dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,17%, S&P 500 bertambah 0,21%, dan Nasdaq Composite terangkat 0,25%. 

Gerak bursa saham New York terlihat minim dinamika, karena saat pembukaan pun DJIA cs hanya menguat tipis, tidak jauh dari posisi penutupan. DJIA, S&P 500, dan Nasdaq masing-masing dibuka naik 0,11%, 0,21%, dan 0,29%. 

Sepertinya prospek penurunan suku bunga acuan masih dirasakan oleh bursa saham AS. Bagi pasar saham, penurunan suku bunga adalah sentimen positif karena dapat mendongrak laba emiten.  

Namun, Wall Street terhambat oleh perkembangan friksi dagang AS-China yang belum reda. Kini giliran China yang galak dengan menyatakan siap jika harus menjalankan perang dagang dengan Negeri Adidaya. 

"Kami menolak perang dagang, tetapi kami tidak takut untuk berperang. Provokasi yang dilakukan AS nyata-nyata adalah sebuah terorisme ekonomi, chauvinisme ekonomi, dan penindasan ekonomi," tegas Zhang Hanhui, Wakil Menteri Luar Negeri China, mengutip Reuters. 

China punya senjata baru untuk amunisi menghadapi perang dagang yaitu rare earth. Presiden China Xi Jinping pekan lalu meninjau fasilitas penambangan rare earth, langkah yang ditengarai akan memainkan peran penting dalam drama perang dagang. 

Rare earth adalah mineral yang terdiri dari 17 unsur di tabel periodik yaitu cerium, dysprosium, erbium, europium, gadolinium, holmium, lanthanum, lutetium, neodymium, praseodymium, promethium, samarium, scandium, terbium, thulium, ytterbium, dan yttrium. Mineral ini bisa menjadi salah satu bahan baku utama dalam pembuatan perangkat telekomunikasi hingga pertahanan. 

"AS, jangan meremehkan serangan balasan China. Apakah rare earth menjadi senjata bagi China untuk balik menekan AS? Jawabannya tentu bukan sebuah misteri. Jangan bilang kami tidak memperingatkan Anda!" tulis tajuk People's Daily, harian terbitan Partai Komunis China. 

Sebelumnya, People's Daily memberitakan bahwa Beijing sedang mempertimbangkan dengan serius untuk menutup keran ekspor rare earth ke AS. Padahal China adalah produsen utama rare earth dunia. 

Data US Geological Survey menyebut, China memproduksi 120.000 metrik ton rare earth pada 2018. Jumlah itu adalah 70% dari total produksi dunia. 

Jadi kalau China menyetop ekspor rare earth ke AS, maka dampaknya akan masif. Sejumlah industri di AS, terutama di bidang teknologi, bisa pincang karena kekurangan salah satu bahan baku utama. 

"Memang ada persepsi bahwa The Fed mungkin saja menurunkan suku bunga acuan, itu positif bagi pasar saham. Namun pelaku pasar juga masih mencoba memahami berita-berita terbaru, terutama perang dagang yang mungkin dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi meski sepertinya tidak akan membuat AS jatuh dalam resesi," jelas Scott Brown, Kepala Ekonom Raymond James yang berbasis di Florida, mengutip Reuters. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor layak mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu hasil di Wall Street hari ini yang meski tipis tetapi masih hijau. Semoga hijaunya Wall Street dapat menjadi penyemangat pasar keuangan Asia.

Sentimen kedua adalah rilis data ekonomi AS, kali ini adalah inflasi. Pada kuartal I-2019, pembacaan kedua Personal Consumption Expenditure inti (core PCE) yang mengeluarkan komponen harga pangan bergejolak dan energi tercatat 1%. Melambat dibandingkan pembacaan pertama yaitu 1,3%.

Core PCE adalah preferensi The Fed dalam membaca inflasi. The Fed menargetkan core PCE berada di dekat 2% dalam jangka menengah.

Namun sepertinya sulit untuk mencapai target tersebut. Jarang core PCE menyentuh 2%.

Artinya, geliat ekonomi di AS sejatinya belum kuat-kuat amat. Konsumsi masyarakat masih terbatas, belum bisa stabil di target yang dipasang The Fed.

Ini membuat kemungkinan penurunan suku bunga acuan semakin besar. Sebuah persepsi yang bisa membatasi gerak dolar AS.

Jika benar dolar AS terkerangkeng oleh sentimen ini, maka rupiah punya peluang untuk kembali menguat. Pada penutupan pasar spot sebelum libur Kenaikan Yesus Kristus, rupiah melemah 0,17%. Semoga rupiah bisa membalas dendam hari ini.


Sentimen ketiga, yang juga bisa berdampak positif bagi rupiah, adalah koreksi harga minyak. Pada pukul 04:08 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet anjlok masing-masing 4,43% dan 4,08%.

Penyebab penurunan harga si emas hitam adalah persepsi melimpahnya pasokan. US Energy Information Administration mencatat inventori minyak AS pekan lalu turun hapir 300.000 barel. Walau turun, tetapi tidak sedalam konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu minus 900.000 barel.

Penurunan 300.000 barel membuat total inventori minyak AS sebanyak 476,5 juta barel. Angka ini masih 5% di atas rata-rata selama lima tahun terakhir.

Kemudian, sentimen perang dagang juga menyebabkan harga minyak bergerak ke selatan. Perang dagang AS-China akan mempengaruhi kelancaran rantai pasok global. Arus perdagangan dan investasi global akan tersendat sehingga menurunkan laju pertumbuhan ekonomi.

Pelambatan aktivitas ekonomi akan membuat permintaan energi menurun. Dampaknya tentu saja harga minyak terkoreksi.

Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah sebuah berkah. Maklum, Indonesia adalah negara net importir minyak. Mau tidak mau, suka tidak suka, yang namanya impor minyak adalah wajib, harus, dan kudu karena produksi dalam negeri belum kunjung memadai untuk memenuhi permintaan.

Jika harga minyak turun, maka biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Tekanan yang dialami neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak begitu berat, karena devisa yang ‘terbakar’ akibat impor minyak lebih sedikit. Rupiah pun jadi punya fondasi yang lebih kuat sehingga bisa terapresiasi.


Hari ini adalah perdagangan terakhir sebelum memasuki libur Idul Fitri. Ditambah lagi hari ini adalah dengan Hari Kejepit Nasional (Harpitnas).

Jadi ada kemungkinan perdagangan tidak akan berlangsung semarak. Kecuali ada sentimen yang luar biasa bin di luar dugaan, tampaknya aktivitas pasar akan berlangsung seadanya, serelanya, dan seikhlasnya saja.

Mohon maaf lahir-batin...


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)



Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data pembacaan awal produksi industrial Jepang periode April (06:30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode April (06:30 WIB).
  • Rilis data penjualan eceran Jepang periode April (06:30 WIB).
  • Rilis data Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia periode Mei versi Nikkei (17:30 WIB).
  • Rilis data PMI manufaktur China periode Mei versi NBS (08:00 WIB).
  • Rilis data pembangunan rumah baru Jepang periode April (12:00 WIB).
  • Rilis data tingkat inflasi Jerman periode Mei (19:00 WIB).
  • Rilis data pendapatan personal AS periode April (19:30 WIB).
  • Rilis data belanja personal AS periode April (19:30 WIB).

 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan ekonomi (Q I-2019 YoY)

5,17%

Inflasi (April 2019 YoY)

2,83%

BI 7 Day Reverse Repo Rate (Mei 2019)

6%

Defisit anggaran (APBN 2019)

-1,84% PDB

Transaksi berjalan (Q I-2019)

-2,6% PDB

Neraca pembayaran (Q I-2019)

US$ 2,42 miliar

Cadangan devisa (April 2019)

US$ 124,29 miliar

 

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular