
Newsletter
Semoga Gaduh Politik Cepat Selesai, Capek...
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
22 May 2019 06:22

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia masih belum kompak pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali melanjutkan penguatan, sementara nilai tukar rupiah lagi-lagi melemah.
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,75% meski sempat merasakan penguatan di kisaran 1%. IHSG menjadi indeks saham terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari Shanghai Composite. Penguatan IHSG sudah berlangsung selama dua hari beruntun.
Sedangkan nilai tukar rupiah melemah 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Kebalikan 180 derajat dari IHSG, rupiah melemah selama dua hari berturut-turut.
IHSG merasakan dampak dari euforia investor domestik. Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan perolehan suara suara 55,5%. Unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (44,5%).
Meski Prabowo tidak terima dengan hasil tersebut dan akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi Jokowi sudah menginjakkan satu kaki di Istana Negara untuk kembali menjadi presiden. Artinya kemungkinan arah kebijakan pemerintah dalam lima tahun ke depan tidak akan berubah signifikan.
Namun investor asing sepertinya tidak larut dalam suka-cita tersebut. Mereka justru melakukan jual bersih mencapai Rp 643,08 miliar.
Ini ada kaitannya dengan apa yang dialami oleh rupiah. Sepertinya pelaku pasar menilai rupiah sudah terlalu mahal alias overvalued.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money). Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Melihat risiko depresiasi rupiah, aset-aset berbasis mata uang Tanah Air menjadi kurang menarik bagi investor mancanegara. Kala rupiah melemah, maka keuntungan yang didapat investor asing menjadi kurang kinclong saat dikonversi ke valas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Kemarin, IHSG ditutup naik 0,75% meski sempat merasakan penguatan di kisaran 1%. IHSG menjadi indeks saham terbaik kedua di Asia, hanya kalah dari Shanghai Composite. Penguatan IHSG sudah berlangsung selama dua hari beruntun.
Sedangkan nilai tukar rupiah melemah 0,17% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Kebalikan 180 derajat dari IHSG, rupiah melemah selama dua hari berturut-turut.
IHSG merasakan dampak dari euforia investor domestik. Rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) memutuskan pasangan capres-cawapres Joko Widodo (Jokowi)-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan perolehan suara suara 55,5%. Unggul dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno (44,5%).
Meski Prabowo tidak terima dengan hasil tersebut dan akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), tetapi Jokowi sudah menginjakkan satu kaki di Istana Negara untuk kembali menjadi presiden. Artinya kemungkinan arah kebijakan pemerintah dalam lima tahun ke depan tidak akan berubah signifikan.
Namun investor asing sepertinya tidak larut dalam suka-cita tersebut. Mereka justru melakukan jual bersih mencapai Rp 643,08 miliar.
Ini ada kaitannya dengan apa yang dialami oleh rupiah. Sepertinya pelaku pasar menilai rupiah sudah terlalu mahal alias overvalued.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money). Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Melihat risiko depresiasi rupiah, aset-aset berbasis mata uang Tanah Air menjadi kurang menarik bagi investor mancanegara. Kala rupiah melemah, maka keuntungan yang didapat investor asing menjadi kurang kinclong saat dikonversi ke valas.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular