Jokowi 2 Periode, Asing Kok Tinggalkan Pasar Saham Indonesia?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 May 2019 14:18
Jokowi 2 Periode, Asing Kok Tinggalkan Pasar Saham Indonesia?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Ada suatu anomali di pasar saham Indonesia pada hari ini. Di saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melejit 0,94% (per akhir sesi 1), investor asing justru membukukan jual bersih senilai Rp 414,1 miliar.

Anomali seperti ini tak hari ini saja terjadi. Pada perdagangan kemarin (20/5/2019), IHSG melesat hingga 1,38% namun di saat yang bersamaan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 642,9 miliar.

Investor asing belum juga selesai melakukan aksi jual di pasar saham tanah air. Padahal jika mundur sedikit ke pekan lalu, nilai jual bersih investor asing dalam sepekan kemarin sudah mencapai Rp 3,04 triliun.

Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 229,5 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 102 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 86,7 miliar), PT Merdeka Copper Gold Tbk/MDKA (Rp 36,7 miliar), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 30,5 miliar).

Sejatinya, ada kabar gembira bagi pasar saham tanah air yakni Joko Widodo telah resmi ditetapkan sebagai pemenang dalam gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019.

Pada dini hari tadi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) resmi mengumumkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin sebagai peraih suara terbanyak dalam pilpres tahun 2019. Jika tak ada aral melintang, Joko Widodo-Ma'ruf Amin nantinya akan dilantik sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2019-2024. Pengumuman itu disampaikan KPU dalam rapat pleno di Gedung KPU, Jakarta.

"Jumlah suara sah pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin 85.607.362 suara. Jumlah suara sah pasangan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 68.650.239 suara," ujar Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (21/5/2019), dilansir dari detik.com.

Pengumuman ini lebih cepat dari yang diantisipasikan pelaku pasar yakni esok hari (22/5/2019).

Jika berkaca kepada sejarah, IHSG selalu memberikan imbal hasil yang menggiurkan di tahun pemilu, dengan catatan bahwa hasil pemilihan presiden sesuai dengan proyeksi dari mayoritas lembaga survei.

Pada tahun 2004, IHSG melejit hingga 44,6%. Kala itu, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Muhammad Jusuf Kalla memenangkan pertarungan melawan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi (putaran 2).

Pada tahun 2009, IHSG meroket hingga 87%. Pada pertarungan tahun 2009, SBY berhasil mempertahankan posisi RI-1, namun dengan wakil yang berbeda. Ia didampingi oleh Boediono yang sebelumnya menjabat Gubernur Bank Indonesia (BI). SBY-Boediono berhasil mengalahkan 2 pasangan calon yakni Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla-Wiranto.

Beralih ke tahun 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo berhasil menempati tahta kepemimpinan tertinggi di Indonesia dengan menggandeng Jusuf Kalla sebagai wakilnya. Pada saat itu, IHSG melejit 22,3%.

Untuk pilpres tahun 2019, mayoritas lembaga survei memang sebelumnya menjagokan pasangan calon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin ketimbang pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Kinerja rupiah yang tak mendukung membuat investor asing terus melego saham-saham di tanah air. Hingga siang hari ini, rupiah melemah 0,14% di pasar spot ke level Rp 14.470/dolar AS. Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menjadi pelemahan yang kedua secara beruntun. Jika dihitung sejak awal pekan lalu hingga hari ini, rupiah sudah melemah sebesar 1,05%.

Pelemahan rupiah yang signifikan membuat investor asing berpotensi menanggung yang namanya kerguian kurs sehingga wajar jika aksi jual dilakukan di pasar saham tanah air.

Maklum saja jika rupiah terus melemah. Pasalnya, ada awan hitam yang menyelimuti bernama defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD). Belum lama ini, CAD periode kuartal-I 2019 diumumkan senilai US$ 7 miliar atau setara dengan 2,6% dari PDB, sudah jauh lebih dalam dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Pada kuartal-II 2019, nampaknya CAD masih akan dalam. Pasalnya, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 2,5 miliar pada April 2019. Berdasarkan data Refinitiv, defisit pada April 2019 merupakan yang terparah atau terdalam sepanjang sejarah Indonesia. Sebelumnya, defisit paling dalam tercatat senilai US$ 2,3 miliar dan terjadi pada Juli 2013.

Kalau neraca dagang (yang merupakan komponen dari transaksi berjalan) saja sudah membukukan defisit yang begitu dalam, tentu CAD akan sulit diredam. Ada kemungkinan, CAD untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih dalam dibandingkan CAD untuk keseluruhan tahun 2018 yang sebesar 2,98% dari PDB.

Hal ini bahkan nampak sudah diamini oleh Bank Indonesia (BI). Belum lama ini, bank sentral merevisi proyeksinya atas CAD periode 2019. Kini, proyeksi CAD ditetapkan berada di rentang 2,5%-3% dari PDB, dari yang sebelumnya 2,5% dari PDB.

"Defisit transaksi berjalan 2019 juga diprakirakan lebih rendah dari tahun 2018, yaitu dalam kisaran 2,5-3,0% PDB, meskipun tidak serendah prakiraan semula," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Gedung BI, Kamis (16/5/2019).

Selama CAD masih terus dalam, rupiah akan terus tertekan dan sulit untuk mendorong investor asing masuk ke pasar saham Indonesia.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular