Newsletter

AS-China 'No Deal', Pasar Keuangan Indonesia Ambruk Lagi?

Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 May 2019 07:02
AS-China 'No Deal', Pasar Keuangan Indonesia Ambruk Lagi?
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan kemarin terbukti menjadi pekan yang kelam bagi pasar keuangan Indonesia. Dalam sepekan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 1,75%, rupiah melemah 0,49% melawan dolar AS di pasar spot dan imbal hasil (yield) obligasi seri acuan tenor 10 tahun naik 15,4 bps.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.


Kinerja pasar keuangan Indonesia senada dengan kinerja pasar keuangan negara-negara Asia lainnya yang juga melemah.

Koreksi IHSG yang begitu dalam praktis membuat kapitalisasi pasarnya ikut merosot. Pada perdagangan terakhir di pekan sebelumnya, kapitalisasi pasar IHSG tercatat sebesar 7.188,2 triliun, seperti dilansir dari publikasi yang diterbitkan Bursa Efek Indonesia (BEI).

Pada akhir perdagangan pekan kemarin, kapitalisasi pasar IHSG tersisa 7.064 triliun. Ini artinya, hanya dalam sepekan dana senilai Rp 124,2 triliun menguap dari pasar saham tanah air.

Perang dagang AS-China berperan banyak dalam menekan kinerja pasar keuangan Asia sepanjang pekan kemarin. Pada awal pekan, pelaku pasar sudah dibuat was-was oleh potensi eskalasi perang dagang AS-China.

Sekadar mengingatkan, pada akhir bulan lalu delegasi AS menggelar dialog dagang lanjutan dengan China di Beijing. Delegasi AS dipimpin oleh Kepala Perwakilan Dagang Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin, sementara delegasi China dikomandoi oleh Wakil Perdana Menteri Liu He.


Selepas pertemuan berlangsung, pemberitaan positif banyak terdengar, bahkan AS dan China disebut akan meneken kesepakatan dagang dalam waktu dekat.

Namun, optimisme tersebut kemudian sirna dan situasinya justru berbalik 180 derajat. Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana untuk menaikkan bea masuk atas importasi produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar, dari 10% menjadi 25% pada hari Jumat (10/5/2019). Lebih lanjut, produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang saat ini bebas bea masuk dalam waktu dekat akan dibebankan bea masuk senilai 25%.

"Selama 10 bulan terakhir, China membayar bea masuk 25% untuk importasi produk-produk high-tech senilai US$ 50 miliar dan 10% untuk produk-produk lain senilai US$ 200 miliar. Pembayaran ini sedikit banyak berperan dalam kinclongnya data ekonomi kita. Bea masuk senilai 10% akan naik menjadi 25% pada Jumat. Sementara US$ 325 miliar importasi produk-produk China belum kena bea masuk, tetapi dalam waktu dekat akan dikenakan 25%...." cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada tanggal 5 Mei.

Menyusul ancaman Trump tersebut, China disebut mempertimbangkan untuk membatalkan dialog dagang dengan AS pada pekan kemarin di Washington. Mengutip seorang sumber, Wall Street Journal melaporkan bahwa China disebut terkejut dengan ancaman Trump.

Seiring dengan berjalannya waktu, sejatinya ada perkembangan positif. Lighthizer mengonfirmasi bahwa delegasi China akan tetap berkunjung ke Washington untuk menggelar dialog dagang pada hari Kamis dan Jumat (9-10 Mei). Sementara itu, pihak China mengatakan bahwa Liu He akan ikut dalam rombongan yang mengunjungi AS tersebut.


Namun, kabar positif tersebut tak mampu mengangkat kinerja pasar keuangan Asia. Pada hari Jumat waktu setempat AS benar mengeksekusi kenaikan bea masuk terhadap produk impor asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25%.

Tak terima dengan langkah AS tersebut, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa pihaknya akan meluncurkan kebijakan balasan, walau tak mengelaborasi kebijakan balasan yang dimaksud tersebut.

Dengan tensi yang begitu panas antar kedua negara, ada kekhawatiran bahwa kesepakatan dagang tak akan bisa diteken.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke AS, Wall Street berhasil menguat pada perdagangan terakhir di pekan lalu setelah empat hari berturut-turut mengalami koreksi. Mengutip Reuters, indeks Dow Jones naik 114,01 poin atau 0,44%, indeks S&P 500 menguat 10,68 poin atau 0,37%, sementara indeks Nasdaq Composite bertambah 6,35 poin atau 0,08%.

Walaupun berhasil menguat, perdagangan pada hari Jumat tak berlangsung mudah. Indeks Dow Jones misalnya, sempat jatuh hingga sebesar 358 poin. Gagalnya AS dan China dalam menyepakati perjanjian dagang dalam negosiasi pekan kemarin memicu terjadinya sell-off di bursa saham.



Namun, bursa saham AS berhasil membalikkan nasib setelah Trump dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyebutkan bahwa negosiasi dagang antara AS dan China berakhir 'konstruktif'. Dari pihak China, Wakil Perdana Menteri Liu He meyebut bahwa negosiasi berlangsung “cukup baik”, menurut berbagai laporan yang dilansir dari CNBC International.

Lebih lanjut, Trump mengungkapkan secara gamblang bawa negosiasi akan tetap berlanjut dan bea masuk yang dibebankan terhadap produk impor asal China bisa saja dicabut.

“Dalam 2 hari terakhir, AS dan China telah mengadakan negosiasi yang tulus dan konstruktif terkait dengan hubungan dagang kedua negara. Hubungan antara Presiden Xi dan saya tetaplah sangat kuat dan negosiasi akan berlanjut di masa depan. Sementara itu, AS telah mengenakan bea masuk baru kepada China, yang mungkin akan dicabut tergantung dari hasil negosiasi di masa depan!” cuit Trump melalui akun @realDonaldTrump pada tanggal 10 Mei.



Meski menutup pekan dengan penguatan, kinerja Wall Street masih merah secara mingguan. Bahkan, pekan kemarin menjadi pekan terburuk di tahun ini.

Sepanjang pekan kemarin, indeks Dow Jones jatuh 2,12%, indeks S&P 500 ambruk 2,17% dan indeks Nasdaq Composite anjlok 3,03%.


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, ada sejumlah sentimen yang perlu diperhatikan oleh pelaku pasar. Pertama, perkembangan terkait perang dagang AS-China. Walaupun Trump menyebut bahwa negosiasi dagang dengan China akan berlanjut di masa depan, namun Mnuhcin menyebut bahwa hingga saat ini tidak ada negosiasi dagang yang dijadwalkan akan digelar dengan China.

Lebih lanjut, Trump diketahui sudah memerintahkan Lighthizer untuk memulai proses guna mengenakan bea masuk senilai 25% bagi seluruh produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang.



Pihak Beijing pun tak tinggal diam. Dalam sebuah rekaman video, Liu He mengatakan kepada beberapa reporter asal China bahwa pihaknya secara tegas menolak kenaikan bea masuk yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin dan pihaknya tak punya pilihan lain selain membalas, dilansir dari Reuters.

Terkait dengan negosiasi dagang dengan AS pada pekan kemarin, Liu He menyebut bahwa ada 3 perbedaan mendasar yang membuat kesepakatan dagang belum bisa diteken.

Seperti dilansir dari Reuters, salah satu perbedaan yang dimaksud adalah terkait dengan pengenaan bea masuk. China berpendapat bahwa jika kedua belah pihak ingin meneken kesepakatan, maka seluruh bea masuk harus dihapuskan.

Perbedaan kedua adalah terkait dengan volume pembelian barang-barang AS oleh China, sementara yang ketiga adalah terkait dengan bahasa yang akan digunakan dalam teks kesepakatan dagang kedua negara.

“Setiap negara memiliki martabatnya sendiri, jadi teksnya harus berimbang,” papar Liu He, dilansir dari Reuters.



Dengan perbedaan mendalam yang ada antar kedua negara serta langkah agresif dari pihak AS untuk terus mengenakan bea masuk baru bagi produk impor asal China, ditambah dengan belum adanya rencana untuk menggelar negosiasi lanjutan, perang dagang AS-China sangat mungkin untuk tereskalasi secara cepat.

Jika perkembangannya memang benar mengarah ke sini, rasanya investor tak memiliki pilihan lain selain mengalihkan asetnya ke instrumen safe haven. Ini tentu bukan kabar baik bagi saham, obligasi, dan rupiah.


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen kedua yang perlu diperhatikan adalah respons pelaku pasar atas rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Pada hari Jumat, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa NPI membukukan surplus senilai US$ 2,4 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini.

Namun, transaksi berjalan (yang merupakan bagian dari NPI) membukukan defisit senilai US$ 7 miliar pada 3 bulan pertama tahun ini atau setara dengan 2,6% dari PDB. Memang lebih rendah dibandingkan defisit pada kuartal-IV 2018 yang sebesar 3,6% dari PDB, namun melebar dari defisit periode yang sama tahun lalu (kuartal-I 2018) yang hanya senilai US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB.



Jika defisit di awal tahun saja sudah lebih lebar, maka ada potensi bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) untuk keseluruhan tahun 2019 juga akan melebar. Praktis, prospek dari pergerakan rupiah menjadi kelam.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Sepanjang pekan lalu, lesunya rupiah sudah membuat investor asing melepas kepemilikannya atas saham-saham dalam negeri. Sepanjang pekan lalu, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 3,04 triliun di pasar saham Indonesia.

Jika rupiah masih saja melemah pada perdagangan hari ini, maka investor asing bisa terus melego aset-aset berbasis mata uang Garuda seperti saham.



Beralih ke sentimen ketiga, ada sentimen positif yang bisa menolong kinerja rupiah. Hingga pukul 06:10 WIB, harga minyak WTI kontrak pengiriman bulan Juni melemah 0,45% ke level US$ 61,38/barel, sementara brent kontrak pengiriman bulan Juli turun 0,25% ke level US$ 70,44/barel.

Defisit perdagangan migas selama ini menjadi faktor yang membebani transaksi berjalan, seiring dengan status Indonesia yang merupakan net importir minyak mentah. Kala harga minyak mentah terkendali bahkan cenderung melemah seperti yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, ada harapan bahwa CAD akan bisa ditekan sehingga rupiah menjadi memiliki pijakan untuk menguat.


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Simak Agenda dan Data Berikut Ini

Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data cadangan devisa Jepang periode April (06:30 WIB)

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:


IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q1-2019 YoY)5,17%
Inflasi (April 2019 YoY)2,83%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q1-2019)-2,6% PDB
Neraca pembayaran (Q1-2019)US$ 2,4 miliar
Cadangan devisa (April 2019)US$ 124,29 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.



TIM RISET CNBC INDONESIA


(ank/prm) Next Article Kabar dari China & AS Bikin Deg-Degan, IHSG Rawan Longsor!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular