
Keok, Rupiah Cuma Nangkring di Posisi 6 Asia Akhir Pekan Ini
Yazid Muamar, CNBC Indonesia
12 May 2019 17:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dengan China kurang menguntungkan bagi mata uang negara-negara berkembang. Tidak hanya itu, data makro ekonomi dalam negeri khususnya pada pos transaksi berjalan kembali defisit.
Tanda-tanda perang dagang akan berakhir sepertinya belum akan muncul. Secara resmi, AS memberlakukan kenaikan tarif bea masuk atas produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari sebelumnya 10%, Jumat (10/5/2019).
Ada lebih dari 5.700 produk di antaranya modem dan router internet, papan sirkuit elektronik, furnitur, suku cadang kendaraan bermotor, penyedot debu, dan bahan-bahan bangunan.
Beijing pun menegaskan akan melakukan serangan balasan dengan membebani bea impor terhadap produk-produk made in USA.
"China sangat menyesalkan jika kebijakan bea masuk AS jadi diterapkan. China akan melakukan kebijakan balasan," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Melihat situasi tersebut, investor global berbondong-bondong meninggalkan mata uang negara berkembang karena khawatir nilainya turun dan beralih ke mata uang safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang.
Selain faktor global di atas, pergerakan rupiah juga terbebani data defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal I, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 6,96 miliar, atau setara dengan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit tersebut lebih dalam dari kuartal I-2018 sebesar US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB. Secara umum, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2019 masih surplus sebesar US$ 2,4 miliar, jauh lebih baik ketimbang kuartal I-2018 yang defisit US$ 3,9 miliar.
Akibatnya, rupiah selama sepekan tertekan 0,49% pada level Rp 14.320/$AS kala penutupan pasar. Rupiah berada di peringkat 6 dibandingkan kinerja mata uang utama Asia lainnya, berikut datanya:
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tanda-tanda perang dagang akan berakhir sepertinya belum akan muncul. Secara resmi, AS memberlakukan kenaikan tarif bea masuk atas produk-produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% dari sebelumnya 10%, Jumat (10/5/2019).
Ada lebih dari 5.700 produk di antaranya modem dan router internet, papan sirkuit elektronik, furnitur, suku cadang kendaraan bermotor, penyedot debu, dan bahan-bahan bangunan.
"China sangat menyesalkan jika kebijakan bea masuk AS jadi diterapkan. China akan melakukan kebijakan balasan," sebut keterangan tertulis Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters.
Melihat situasi tersebut, investor global berbondong-bondong meninggalkan mata uang negara berkembang karena khawatir nilainya turun dan beralih ke mata uang safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang.
Selain faktor global di atas, pergerakan rupiah juga terbebani data defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal I, defisit transaksi berjalan mencapai US$ 6,96 miliar, atau setara dengan 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit tersebut lebih dalam dari kuartal I-2018 sebesar US$ 5,19 miliar atau 2,01% dari PDB. Secara umum, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal I-2019 masih surplus sebesar US$ 2,4 miliar, jauh lebih baik ketimbang kuartal I-2018 yang defisit US$ 3,9 miliar.
Akibatnya, rupiah selama sepekan tertekan 0,49% pada level Rp 14.320/$AS kala penutupan pasar. Rupiah berada di peringkat 6 dibandingkan kinerja mata uang utama Asia lainnya, berikut datanya:
![]() |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Most Popular