
Newsletter
Wall Street Galau Nih, IHSG Bagaimana?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
26 April 2019 05:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mengalami koreksi pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah, nilai tukar rupiah terdepresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah naik.
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,16%. Bursa saham utama Asia pun mayoritas melemah, tetapi IHSG menjadi yang terlemah kedua setelah Shanghai Composite.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,64%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga menjadi mata uang terlemah kedua di Asia.
Lalu yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena maraknya aksi jual.
Ada beberapa hal yang menyebabkan lautan koreksi di pasar keuangan Benua Kuning. Pertama adalah rilis data Korea Selatan yang kurang oke. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan tercatat 1,8% year-on-year (YoY). Jauh di bawah ekspektasi pasar yaitu 2,5%, dan menjadi laju terlemah sejak kuartal III-2009 atau nyaris 10 tahun.
Selain itu, sepertinya pelaku pasar masih memilih santai dulu jelang dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Investor memilih wait and see, menunggu perkembangan terbaru sebelum kembali agresif. Kalau belum ada kepastian 'gong' dari dialog ini, yaitu kapan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan meneken perjanjian damai dagang, maka sepertinya belum terlalu menggerakkan pasar.
Kemudian, investor juga mencemaskan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Sementara dari dalam negeri, pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) tidak banyak membantu. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan suku bunga acuan bertahan di angka 6%, sama seperti ekspektasi pasar. Oleh karena itu, dampaknya sepertinya netral saja.
Well, memang sulit bagi BI untuk bermanuver dengan kebijakan suku bunga. Menaikkan jelas tidak mungkin, karena tren kebijakan moneter global yang sudah tidak lagi hawkish tahun ini. Bahkan The Federal Reserve/The Fed pun memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir tahun, dan BI meramal Federal Funds Rate bahkan tidak akan naik sampai tahun depan.
Sedangkan untuk menurunkan juga agak ngeri-ngeri sedap. Pasalnya, salah satu tujuan kebijakan suku bunga adalah mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account deficit) ke tingkat yang aman dan sehat. Nah, saat ini belum ada jaminan ke arah sana.
Pada kuartal I-2019, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan memang lebih kecil dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun defisit ini akan kembali melebar pada kuartal II-2019 seiring faktor musiman peningkatan impor (untuk antisipasi kenaikan konsumsi pada Ramadan-Idul Fitri) serta kebutuhan valas korporasi untuk pembayaran utang, dividen, dan sebagainya.
Oleh karena itu, BI perlu memastikan dulu bagaimana arah defisit transaksi berjalan. Jika terus membaik dan itu sudah ajeg (sustain), maka penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate mungkin bisa mulai dipertimbangkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,51%, S&P 500 terkoreksi tipis 0,04%, tetapi Nasdaq Composite naik 0,21%. Galau nih...
Laporan keuangan emiten-emiten industri manufaktur membuat DJIA terkoreksi paling dalam. Misalnya 3M, yang harga sahamnya amblas nyaris 13%, karena laba per saham (Earnings per Share/EPS) kuartal I-2019 yang sebesar US$ 2,23. Di bawah konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 2,5, dan turun 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penjualan pada kuartal I-2019 tercatat S$ 7,86 miliar, turun 5% dari tahun sebelumnya. Penyebabnya adalah penurunan penjualan di wilayah Asia Pasifik (-7,4%), Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (-9,4%), serta Amerika Latin dan Kanada (-6,5%).
Namun Nasdaq berhasil selamat karena laporan keuangan emiten teknologi yang ciamik. Harga saham Facebook melonjak 5,85% karena pada kuartal I-2019 membukukan EPS US$ 1,89. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan sebesar US$ 1,63 dan naik 11,83% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kemudian harga saham Microsoft naik 3,31%, gara-gara EPS kuartal I-2019 yang sebesar US$ 1,14. Lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 1.
"Sentimen berfluktuasi karena laporan keuangan yang memberi sinyal mixed. Sepertinya ke depan juga masih akan seperti ini," ujar Kristina Hooper, Chief Global Market Strategist di Invesco yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Rilis data yang positif sepertinya tidak banyak membantu. Pada Maret, pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) made in the USA naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan paling tajam sejak Agustus 2018.
Kemudian pemesanan barang modal inti (non-pertahanan dan pesawat) naik 1,3% month-on-month (MoM) menjadi US$ 70 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Pertumbuhannya juga menjadi yang terbaik sejak Juli 2018.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang variatif. Kegalauan di Wall Street bisa jadi menular ke Asia, sehingga perlu mendapat perhatian.
Sentimen kedua, investor sepertinya masih harus waspada dengan tren penguatan dolar AS. Data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus positif, sementara tidak demikian dengan negara-negara lainnya. Perkembangan ini memicu preferensi pasar untuk terus memihak kepada greenback.
Pada pukul 05:08 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,02%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,2%.
Meski kenaikannya sudah tinggi, tetapi kemungkinan belum akan berhenti apabila data-data ekonomi di negara selain AS masih lemah. Jika tidak ada sentimen domestik yang membantu, bisa-bisa rupiah akan kembali terjebak di zona merah.
Namun, rupiah bisa terbantu oleh sentimen ketiga yaitu harga minyak. Pada pukul 05:13 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,38% sementara light sweet amblas 1,17%.
Harga si emas hitam terkena ambil untung (profit taking) setelah naik cukup lama. Bahkan kemarin harga brent sempat menembus level US$ 75/barel, tertinggi dalam 6 bulan terakhir.
Koreksi harga minyak menjadi berkah bagi rupiah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak yang suka tidak suka harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Saat harga minyak turun, biaya importasi komoditas ini akan menjadi lebih murah. Tekanan di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan bisa diminimalkan, sehingga rupiah punya lebih banyak ruang untuk menguat.
Sentimen keempat adalah seputar dialog dagang AS-China. Mengutip Reuters, Trump mengungkapkan bahwa Xi akan mendatangi Gedung Putih dalam waktu dekat. Trump menyebutkan finalisasi kesepakatan tersebut akan dilakukan dalam pertemuan dengan Xi.
Kabar ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia, termasuk IHSG dkk. Damai dagang AS-China yang sudah di depan mata tentu sebuah kabar gembira, karena bisa membuat arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global kembali bergeliat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut sejumlah agenda yang terjadwal untuk hari ini:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Kemarin, IHSG ditutup anjlok 1,16%. Bursa saham utama Asia pun mayoritas melemah, tetapi IHSG menjadi yang terlemah kedua setelah Shanghai Composite.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah 0,64%. Seperti halnya IHSG, rupiah juga menjadi mata uang terlemah kedua di Asia.
Lalu yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 5,7 basis poin (bps). Kenaikan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang turun karena maraknya aksi jual.
Ada beberapa hal yang menyebabkan lautan koreksi di pasar keuangan Benua Kuning. Pertama adalah rilis data Korea Selatan yang kurang oke. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan tercatat 1,8% year-on-year (YoY). Jauh di bawah ekspektasi pasar yaitu 2,5%, dan menjadi laju terlemah sejak kuartal III-2009 atau nyaris 10 tahun.
Selain itu, sepertinya pelaku pasar masih memilih santai dulu jelang dialog dagang AS-China di Beijing pekan depan. Investor memilih wait and see, menunggu perkembangan terbaru sebelum kembali agresif. Kalau belum ada kepastian 'gong' dari dialog ini, yaitu kapan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan meneken perjanjian damai dagang, maka sepertinya belum terlalu menggerakkan pasar.
Kemudian, investor juga mencemaskan perkembangan di Eropa. Angka pembacaan awal indeks iklim bisnis Jerman untuk periode April adalah 99,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 99,7.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa. Jika Jerman lesu, maka seluruh Benua Biru bisa ikut lesu. Akibatnya mata uang euro dihantam aksi jual, dan aliran modal memihak kepada dolar AS.
Sementara dari dalam negeri, pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI) tidak banyak membantu. Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI memutuskan suku bunga acuan bertahan di angka 6%, sama seperti ekspektasi pasar. Oleh karena itu, dampaknya sepertinya netral saja.
Well, memang sulit bagi BI untuk bermanuver dengan kebijakan suku bunga. Menaikkan jelas tidak mungkin, karena tren kebijakan moneter global yang sudah tidak lagi hawkish tahun ini. Bahkan The Federal Reserve/The Fed pun memperkirakan tidak ada kenaikan suku bunga acuan sampai akhir tahun, dan BI meramal Federal Funds Rate bahkan tidak akan naik sampai tahun depan.
Sedangkan untuk menurunkan juga agak ngeri-ngeri sedap. Pasalnya, salah satu tujuan kebijakan suku bunga adalah mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account deficit) ke tingkat yang aman dan sehat. Nah, saat ini belum ada jaminan ke arah sana.
Pada kuartal I-2019, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan memang lebih kecil dibandingkan kuartal sebelumnya. Namun defisit ini akan kembali melebar pada kuartal II-2019 seiring faktor musiman peningkatan impor (untuk antisipasi kenaikan konsumsi pada Ramadan-Idul Fitri) serta kebutuhan valas korporasi untuk pembayaran utang, dividen, dan sebagainya.
Oleh karena itu, BI perlu memastikan dulu bagaimana arah defisit transaksi berjalan. Jika terus membaik dan itu sudah ajeg (sustain), maka penurunan BI 7 Day Reverse Repo Rate mungkin bisa mulai dipertimbangkan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,51%, S&P 500 terkoreksi tipis 0,04%, tetapi Nasdaq Composite naik 0,21%. Galau nih...
Laporan keuangan emiten-emiten industri manufaktur membuat DJIA terkoreksi paling dalam. Misalnya 3M, yang harga sahamnya amblas nyaris 13%, karena laba per saham (Earnings per Share/EPS) kuartal I-2019 yang sebesar US$ 2,23. Di bawah konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 2,5, dan turun 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penjualan pada kuartal I-2019 tercatat S$ 7,86 miliar, turun 5% dari tahun sebelumnya. Penyebabnya adalah penurunan penjualan di wilayah Asia Pasifik (-7,4%), Eropa, Timur Tengah, dan Afrika (-9,4%), serta Amerika Latin dan Kanada (-6,5%).
Namun Nasdaq berhasil selamat karena laporan keuangan emiten teknologi yang ciamik. Harga saham Facebook melonjak 5,85% karena pada kuartal I-2019 membukukan EPS US$ 1,89. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang memperkirakan sebesar US$ 1,63 dan naik 11,83% dibandingkan tahun sebelumnya.
Kemudian harga saham Microsoft naik 3,31%, gara-gara EPS kuartal I-2019 yang sebesar US$ 1,14. Lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan di US$ 1.
"Sentimen berfluktuasi karena laporan keuangan yang memberi sinyal mixed. Sepertinya ke depan juga masih akan seperti ini," ujar Kristina Hooper, Chief Global Market Strategist di Invesco yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Rilis data yang positif sepertinya tidak banyak membantu. Pada Maret, pemesanan barang-barang tahan lama (durable goods) made in the USA naik 2,7% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi kenaikan paling tajam sejak Agustus 2018.
Kemudian pemesanan barang modal inti (non-pertahanan dan pesawat) naik 1,3% month-on-month (MoM) menjadi US$ 70 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Pertumbuhannya juga menjadi yang terbaik sejak Juli 2018.
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang variatif. Kegalauan di Wall Street bisa jadi menular ke Asia, sehingga perlu mendapat perhatian.
Sentimen kedua, investor sepertinya masih harus waspada dengan tren penguatan dolar AS. Data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus positif, sementara tidak demikian dengan negara-negara lainnya. Perkembangan ini memicu preferensi pasar untuk terus memihak kepada greenback.
Pada pukul 05:08 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) masih menguat 0,02%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini sudah melesat 1,2%.
Meski kenaikannya sudah tinggi, tetapi kemungkinan belum akan berhenti apabila data-data ekonomi di negara selain AS masih lemah. Jika tidak ada sentimen domestik yang membantu, bisa-bisa rupiah akan kembali terjebak di zona merah.
Namun, rupiah bisa terbantu oleh sentimen ketiga yaitu harga minyak. Pada pukul 05:13 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,38% sementara light sweet amblas 1,17%.
Harga si emas hitam terkena ambil untung (profit taking) setelah naik cukup lama. Bahkan kemarin harga brent sempat menembus level US$ 75/barel, tertinggi dalam 6 bulan terakhir.
Koreksi harga minyak menjadi berkah bagi rupiah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak yang suka tidak suka harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Saat harga minyak turun, biaya importasi komoditas ini akan menjadi lebih murah. Tekanan di neraca perdagangan dan kemudian transaksi berjalan bisa diminimalkan, sehingga rupiah punya lebih banyak ruang untuk menguat.
Sentimen keempat adalah seputar dialog dagang AS-China. Mengutip Reuters, Trump mengungkapkan bahwa Xi akan mendatangi Gedung Putih dalam waktu dekat. Trump menyebutkan finalisasi kesepakatan tersebut akan dilakukan dalam pertemuan dengan Xi.
Kabar ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Asia, termasuk IHSG dkk. Damai dagang AS-China yang sudah di depan mata tentu sebuah kabar gembira, karena bisa membuat arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi global kembali bergeliat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut sejumlah agenda yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data tingkat pengangguran Jepang periode Maret (06:30 WIB).
- Rilis data output industrial Jepang periode Maret (06:50 WIB).
- Rilis data penjualan ritel Jepang periode Maret (06:50 WIB).
- Rilis data pembacaan pertama pertumbuhan ekonomi AS kuartal I-2019 (19:30 WIB).
- Rilis indeks sentimen konsumen AS periode April versi Universitas Michigan (21:00 WIB).
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (April 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Anies Restui Restoran Hingga Bioskop Buka! Cuan, Cuan, Cuan?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular