Newsletter
Menguji Jokowi Effect, Masih Berisi atau Sudah Basi?
Hidayat Setiaji & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 April 2019 05:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu memang singkat, hanya berisi 3 hari perdagangan. Namun meski hanya mendapat 'sudut sempit', pasar keuangan Indonesia berhasil membukukan shot on goal dan mencetak penguatan.
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,58%. Bursa saham utama Asia juga menguat, tetapi IHSG menjadi salah satu yang terbaik.
Indeks Nikkei 225 hanya naik 0,29%, Hang Seng menguat 0,18%, Kopsi malah turun 0,88%, dan Straits Times bertambah 0,46%. IHSG hanya kalah dari Shanghai Composite yang melejit nyaris 2%.
Sementara rupiah membukukan penguatan 0,35% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Tidak banyak mata uang utama Benua Kuning yang juga mampu menguat di hadapan dolar AS.
Selain rupiah, hanya ada yen Jepang (0,05%), yuan China (0,06%), dan dolar Taiwan (0,01%) yang bisa mencatatkan apresiasi. Penguatan rupiah pun menjadi yang terbaik di Asia.
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun selama pekan lalu turun 10,2 basis poin (bps) dan menyentuh titik terendah sejak 5 April. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Sentimen domestik menjadi kunci utama kekuatan IHSG dkk. Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik memberi kabar gembira.
Neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 540 juta pada Maret. Angka ini didapat dari ekspor yang terkontraksi alias minus 10,02% year-on-year (YoY) sementara impor juga turun 6,76% YoY.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatat suplus dalam 2 bulan beruntun. Pada Februari, surplus neraca perdagangan adalah US$ 330 juta.
Oleh karena itu, ada harapan transaksi berjalan (current account) akan mengalami perbaikan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan transaksi berjalan pada kuartal I-2019 masih akan defisit, tetapi lebih kecil ketimbang kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa yang masuk dan keluar dari ekspor-impor barang dan jasa, salah satu komponennya adalah neraca perdagangan. Saat ada perbaikan di transaksi berjalan, maka rupiah akan memiliki pijakan yang lebih kuat.
Kemudian pada 17 April rakyat Indonesia berpartisipasi dalam pesta demokrasi Pemilu 2019. Usai libur Pemilu, IHSG, rupiah, dan pasar obligasi Indonesia kembali menguat. Penyebabnya adalah pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin unggul di hitung cepat (quick count) sejumlah institusi, meninggalkan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Jalan Jokowi kembali ke Istana Negara untuk 5 tahun ke depan disambut positif oleh pelaku pasar, termasuk investor asing. Dengan terpilihnya Jokowi (meski masih harus menunggu hasil real count Komisi Pemilihan Umum/KPU), maka satu risiko sudah gugur yaitu ketidakpastian.
Kebijakan pemerintah yang ada saat ini kemungkinan akan diteruskan, tidak ada perubahan yang signifikan. Tidak ada ketidakpastian, investor tidak perlu menerka-nerka seperti apa arah kebijakan pemerintah ke depan. Harapan tersebut membuat pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat pada perdagangan sebelum libur Jumat Agung. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,42%, S&P 500 bertambah 0,16%, dan Nasdaq Composite terangkat tipis 0,02%.
Data-data ekonomi di Negeri Paman Sam yang positif berhasil menopang kinerja bursa saham New York. Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM.
Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
"Angka penjualan ritel ini sangat kuat. Sepertinya kekhawatiran terhadap resesi bisa dikesampingkan dulu," kata Jeffrey Schulze, Investment Strategist di ClearBridge Investments yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. ini merupakan klaim terendah sejak September 1969!
"Ekspektasi investor begitu rendah pada kuartal ini. Kejutan-kejutan kecil seperti ini tentu menyenangkan," ujar Matthew Keator, Managing Partner di Keator Group yang berbasis di Massachusetts, mengutip Reuters.
Tidak cuma data, perkembangan dialog dagang AS-China juga kembali mengembuskan angin segar. Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengungkapkan bahwa ada kemajuan baru dalam perundingan Washington-Beijing. Namun dia tidak memberi elaborasi lebih jauh.
Secara mingguan, Wall Street performa Wall Street bervariasi cenderung positif. DJIA naik 0,56%, S&P 500 terkoreksi tipis 0.08%, dan Nasdaq menguat 0,17%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah kinerja Wall Street yang lumayan oke pada akhir pekan, tetapi agak so-so secara mingguan. Kegalauan di New York bisa saja menular ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,42%.
Oleh karena itu, ada kemungkinan mata uang Negeri Adidaya akan mengalami koreksi teknikal hari ini. Dolar AS yang sudah menguat lumayan tajam bisa menggoda investor untuk mencairkan cuan. Tekanan jual akan membuat dolar AS terdepresiasi.
Ini sudah terlihat, Dollar Index melemah 0,1% pada pukul 01:45 WIB. Jika pelemahan ini berlanjut, maka rupiah bisa kembali melanjutkan tren penguatan seperti pekan lalu.
Namun investor juga perlu waspada karena dolar AS punya modal untuk menguat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, data penjualan ritel dan ketenagakerjaan AS cukup ciamik. Data ini menggambarkan bahwa daya beli dan konsumsi tetap kuat sehingga sepertinya akan sulit melihat laju inflasi melambat.
Ketika inflasi terakselerasi dan stabil di kisaran 2% seperti yang ditargetkan The Federal Reserve/The Fed, maka peluang penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil. Dolar AS tidak bisa lagi berharap Federal Funds Rate naik seperti tahun lalu, tidak turun saja sudah alhamdulillah.
Suku bunga acuan yang ditahan di kisaran 2,25-2,5% (median 2,375%) sudah cukup untuk menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Oleh karena itu, rupiah cs di Asia harus tetap waspada.
Apalagi dolar AS dapat tambahan tenaga dari pelemahan euro. Sepanjang pekan lalu, maka uang Benua Biru melemah 0,48% terhadap dolar AS.
Euro yang lesu disebabkan oleh aktivitas ekonomi juga loyo. Angka pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Jerman keluaran IHS Markit pada April adalah 44,5. Kalau angkanya di bawah 50, artinya dunia usaha tidak melakukan ekspansi malah bisa jadi ada penurunan output produksi.
"Dengan pemesanan yang terus turun, kami memperkirakan kontraksi yang dialami sektor manufaktur Jerman masih akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan," kata Chris Williamson, Ekonom Markit, mengutip siaran tertulis.
Pesan moralnya adalah rupiah tidak boleh lengah. Sebab dolar AS siap menerkam kapan saja.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah menarik untuk melihat sejauh mana Jokowi Effect mampu menopang pasar keuangan domestik. Pada akhir pekan lalu, sudah ada tanda-tanda bahwa Jokowi Effect mulai memudar.
Apalagi kemudian ternyata politik Pemilu masih gaduh. Prabowo beberapa kali mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan perhitungan internal.
Ini memastikan tensi masih akan tinggi sampai pengumuman real count oleh KPU yaitu pada 22 Mei. Selepas itu pun tidak ada jaminan kegaduhan mereda karena hampir pasti sengketa hasil Pemilu akan diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gaduh politik yang membuat telinga pengang ini berpotensi membuat investor kembali pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Sebab, ternyata yang namanya ketidakpastian belum sepenuhnya reda.
Namun untuk saat ini, Indonesia boleh lega karena rupiah masih diperdagangkan menguat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Artinya, ada harapan rupiah bisa kembali menguat di pasar spot hari ini.
Apakah penguatan rupiah bisa bertahan hingga jelang matahari terbenam? Apakah Jokowi Effect masih kuat untuk mendorong laju penguatan IHSG dan teman-teman? Kita tunggu saja...
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kemarin IHSG & Rupiah Ambruk Gegara PSBB DKI, Hari Ini?
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 1,58%. Bursa saham utama Asia juga menguat, tetapi IHSG menjadi salah satu yang terbaik.
Indeks Nikkei 225 hanya naik 0,29%, Hang Seng menguat 0,18%, Kopsi malah turun 0,88%, dan Straits Times bertambah 0,46%. IHSG hanya kalah dari Shanghai Composite yang melejit nyaris 2%.
Sementara rupiah membukukan penguatan 0,35% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di perdagangan pasar spot. Tidak banyak mata uang utama Benua Kuning yang juga mampu menguat di hadapan dolar AS.
Selain rupiah, hanya ada yen Jepang (0,05%), yuan China (0,06%), dan dolar Taiwan (0,01%) yang bisa mencatatkan apresiasi. Penguatan rupiah pun menjadi yang terbaik di Asia.
Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun selama pekan lalu turun 10,2 basis poin (bps) dan menyentuh titik terendah sejak 5 April. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Sentimen domestik menjadi kunci utama kekuatan IHSG dkk. Pada awal pekan, Badan Pusat Statistik memberi kabar gembira.
Neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 540 juta pada Maret. Angka ini didapat dari ekspor yang terkontraksi alias minus 10,02% year-on-year (YoY) sementara impor juga turun 6,76% YoY.
Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatat suplus dalam 2 bulan beruntun. Pada Februari, surplus neraca perdagangan adalah US$ 330 juta.
Oleh karena itu, ada harapan transaksi berjalan (current account) akan mengalami perbaikan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan transaksi berjalan pada kuartal I-2019 masih akan defisit, tetapi lebih kecil ketimbang kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan devisa yang masuk dan keluar dari ekspor-impor barang dan jasa, salah satu komponennya adalah neraca perdagangan. Saat ada perbaikan di transaksi berjalan, maka rupiah akan memiliki pijakan yang lebih kuat.
Kemudian pada 17 April rakyat Indonesia berpartisipasi dalam pesta demokrasi Pemilu 2019. Usai libur Pemilu, IHSG, rupiah, dan pasar obligasi Indonesia kembali menguat. Penyebabnya adalah pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin unggul di hitung cepat (quick count) sejumlah institusi, meninggalkan pasangan 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Jalan Jokowi kembali ke Istana Negara untuk 5 tahun ke depan disambut positif oleh pelaku pasar, termasuk investor asing. Dengan terpilihnya Jokowi (meski masih harus menunggu hasil real count Komisi Pemilihan Umum/KPU), maka satu risiko sudah gugur yaitu ketidakpastian.
Kebijakan pemerintah yang ada saat ini kemungkinan akan diteruskan, tidak ada perubahan yang signifikan. Tidak ada ketidakpastian, investor tidak perlu menerka-nerka seperti apa arah kebijakan pemerintah ke depan. Harapan tersebut membuat pelaku pasar berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Indonesia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup menguat pada perdagangan sebelum libur Jumat Agung. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,42%, S&P 500 bertambah 0,16%, dan Nasdaq Composite terangkat tipis 0,02%.
Data-data ekonomi di Negeri Paman Sam yang positif berhasil menopang kinerja bursa saham New York. Penjualan ritel di AS pada Maret naik 1,6% month-on-month (MoM), kenaikan tertinggi sejak September 2017. Jauh membaik dibandingkan Februari yang turun 0,2% MoM.
Sementara penjualan ritel inti naik 1% MoM, juga membaik ketimbang Februari yang minus 0,3%. Penjualan ritel inti mencerminkan konsumsi rumah tangga dalam komponen pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB).
"Angka penjualan ritel ini sangat kuat. Sepertinya kekhawatiran terhadap resesi bisa dikesampingkan dulu," kata Jeffrey Schulze, Investment Strategist di ClearBridge Investments yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Data lainnya adalah klaim tunjangan pengangguran pada pekan yang berakhir 13 April turun 5.000 dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 192.000. ini merupakan klaim terendah sejak September 1969!
"Ekspektasi investor begitu rendah pada kuartal ini. Kejutan-kejutan kecil seperti ini tentu menyenangkan," ujar Matthew Keator, Managing Partner di Keator Group yang berbasis di Massachusetts, mengutip Reuters.
Tidak cuma data, perkembangan dialog dagang AS-China juga kembali mengembuskan angin segar. Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengungkapkan bahwa ada kemajuan baru dalam perundingan Washington-Beijing. Namun dia tidak memberi elaborasi lebih jauh.
Secara mingguan, Wall Street performa Wall Street bervariasi cenderung positif. DJIA naik 0,56%, S&P 500 terkoreksi tipis 0.08%, dan Nasdaq menguat 0,17%.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu adalah kinerja Wall Street yang lumayan oke pada akhir pekan, tetapi agak so-so secara mingguan. Kegalauan di New York bisa saja menular ke pasar keuangan Asia, termasuk Indonesia.
Sentimen kedua adalah nilai tukar dolar AS. Sepanjang pekan lalu, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) naik 0,42%.
Oleh karena itu, ada kemungkinan mata uang Negeri Adidaya akan mengalami koreksi teknikal hari ini. Dolar AS yang sudah menguat lumayan tajam bisa menggoda investor untuk mencairkan cuan. Tekanan jual akan membuat dolar AS terdepresiasi.
Ini sudah terlihat, Dollar Index melemah 0,1% pada pukul 01:45 WIB. Jika pelemahan ini berlanjut, maka rupiah bisa kembali melanjutkan tren penguatan seperti pekan lalu.
Namun investor juga perlu waspada karena dolar AS punya modal untuk menguat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, data penjualan ritel dan ketenagakerjaan AS cukup ciamik. Data ini menggambarkan bahwa daya beli dan konsumsi tetap kuat sehingga sepertinya akan sulit melihat laju inflasi melambat.
Ketika inflasi terakselerasi dan stabil di kisaran 2% seperti yang ditargetkan The Federal Reserve/The Fed, maka peluang penurunan suku bunga acuan menjadi mengecil. Dolar AS tidak bisa lagi berharap Federal Funds Rate naik seperti tahun lalu, tidak turun saja sudah alhamdulillah.
Suku bunga acuan yang ditahan di kisaran 2,25-2,5% (median 2,375%) sudah cukup untuk menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Oleh karena itu, rupiah cs di Asia harus tetap waspada.
Apalagi dolar AS dapat tambahan tenaga dari pelemahan euro. Sepanjang pekan lalu, maka uang Benua Biru melemah 0,48% terhadap dolar AS.
Euro yang lesu disebabkan oleh aktivitas ekonomi juga loyo. Angka pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Jerman keluaran IHS Markit pada April adalah 44,5. Kalau angkanya di bawah 50, artinya dunia usaha tidak melakukan ekspansi malah bisa jadi ada penurunan output produksi.
"Dengan pemesanan yang terus turun, kami memperkirakan kontraksi yang dialami sektor manufaktur Jerman masih akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan," kata Chris Williamson, Ekonom Markit, mengutip siaran tertulis.
Pesan moralnya adalah rupiah tidak boleh lengah. Sebab dolar AS siap menerkam kapan saja.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah menarik untuk melihat sejauh mana Jokowi Effect mampu menopang pasar keuangan domestik. Pada akhir pekan lalu, sudah ada tanda-tanda bahwa Jokowi Effect mulai memudar.
Apalagi kemudian ternyata politik Pemilu masih gaduh. Prabowo beberapa kali mendeklarasikan kemenangannya berdasarkan perhitungan internal.
Ini memastikan tensi masih akan tinggi sampai pengumuman real count oleh KPU yaitu pada 22 Mei. Selepas itu pun tidak ada jaminan kegaduhan mereda karena hampir pasti sengketa hasil Pemilu akan diperkarakan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Gaduh politik yang membuat telinga pengang ini berpotensi membuat investor kembali pikir-pikir untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. Sebab, ternyata yang namanya ketidakpastian belum sepenuhnya reda.
Namun untuk saat ini, Indonesia boleh lega karena rupiah masih diperdagangkan menguat di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF). Artinya, ada harapan rupiah bisa kembali menguat di pasar spot hari ini.
Periode | Kurs 18 April (15:58 WIB) | Kurs 22 April (01:34 WIB) |
1 Pekan | Rp 14.061,5 | Rp 14.050 |
1 Bulan | Rp 14.113 | Rp 14.095 |
2 Bulan | Rp 14.175,5 | Rp 14.160,5 |
3 Bulan | Rp 14.233 | Rp 14.220 |
6 Bulan | Rp 14.418 | Rp 14.403 |
9 Bulan | Rp 14.583 | Rp 14.575 |
1 Tahun | Rp 14.768 | Rp 14.749 |
2 Tahun | Rp 15.463,6 | Rp 15.455 |
Apakah penguatan rupiah bisa bertahan hingga jelang matahari terbenam? Apakah Jokowi Effect masih kuat untuk mendorong laju penguatan IHSG dan teman-teman? Kita tunggu saja...
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data penjualan rumah bukan baru Amerika Serikat (AS) periode Maret (22:00 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Kemarin IHSG & Rupiah Ambruk Gegara PSBB DKI, Hari Ini?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular