Kemarin, pasar keuangan Indonesia libur karena rakyat berpartisipasi dalam pesta demokrasi Pemilu 2019. Agak disayangkan, karena pasar keuangan Asia sedang diliputi kebahagiaan.
Bursa saham Asia merekah pada perdagangan kemarin. Indeks Nikkei 225 naik 0,25%, Shanghai Composite menguat 0,29%, Kospi bertambah 0,12%, dan Straits TImes terangkat 0,5%.
Sementara mata uang utama Asia juga berlomba-lomba menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Yuan China menguat 0,36%, rupee India terapresiasi 0,14%, yen Jepang menguat 0,03%, won Korea Selatan menguat 0,01%, dan dolar Taiwan menguat 0,02%.
Faktor utama yang menyebabkan pasar keuangan Asia bergairah adalah rilis data ekonomi terbaru dari China. Pada kuartal I-2019, ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh 6,4%
(YoY).
Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 6,3%. Meski menjadi laju paling lambat sejak 2009, tetapi setidaknya pertumbuhan ekonomi China batal menjadi yang terlemah sejak 1990.
, meski memang ada perlambatan. Sepertinya gelontoran stimulus dari pemerintah dan Bank Sentral China (PBoC) bisa menjaga performa ekonomi Negeri Tirai Bambu.
China berstatus sebagai perekonomian terbesar di Asia sehingga geliat ekonomi di sanatentu akan berdampak kepada negara lain. Permintaan di China yang masih tumbuh akan membuat perdagangan di Asia tetap semarak.
Namun pasar keuangan Indonesia belum bisa menikmati sentimen ini. Semoga dampaknya masih terasa hari ini sehingga Indonesia bisa ikut merasakan.
Apalagi sekarang adalah perdagangan terakhir pada pekan ini, karena besok pasar kembali tutup memperingati Jumat Agung. Alangkah baiknya jika pasar keuangan Indonesia mengakhiri pekan di zona hijau.
Dari Wall Street, tiga indeks utama menutup perdagangan dengan koreksi tipis. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,01%, S&P 500 melemah 0,23%, dan Nasdaq Composite berkurang 0,05%.
Sektor kesehatan menjadi pemberat langkah Wall Street, di mana indeks sektor ini di S&P 500 anjlok sampai 2,9%. Investor khawatir karena perusahaan-perusahaan kesehatan sepertinya menentang program Medicare for All yang digagas legislator dari Partai Demokrat (yang di AS ya, bukan di Indonesia).
Dalam program ini, Demokrat mengusulkan penghapusan asuransi kesehatan swasta dan digantikan oleh asuransi dari negara yang berlaku secara universal (Medicare). Harapannya adalah menghapus inefisiensi dalam sistem jaminan kesehatan.
Perusahaan-perusahaan kesehatan pun ramai-ramai menolak usulan ini. David Wichmann, CEO UnitedHealth Group, menegaskan bahwa Medicare for All bisa membuat sistem jaminan kesehatan menjadi tidak stabil.
"(Medicare for All) tentu akan mengacaukan hubungan pasien dengan dokter dan membatasi tenaga kesehatan untuk mengleuarkan kemampuan terbaiknya. Dampaknya bisa ke seluruh sendi perekonomian dan mengancam pembukaan lapangan kerja," tegas Wichmann, mengutip CNBC International.
Panasnya isu ini membuat investor mundur teratur dari emiten-emiten jasa kesehatan. Harga saham UnitedHealth Group turun 1,86%, Pfizer amblas 2,54%, dan Abbott Laboratories anjlok 4,48%.
"Perusahaan-perusahaan kesehatan mencemaskan proposal Medicare for All dan para CEO menentangnya. Investor tentu lebih suka menanamkan modal di sektor yang tidak terlalu kontroversial," ujar Jim Bell, Presiden Bell Investment Advisors yang berbasis di Oakland, mengutip Reuters.
Namun koreksi di bursa saham New York sedikit teredam oleh laporan keuangan emiten yang lumayan oke. Harga saham Morgan Stanley naik 2,64% karena perseroan melaporkan laba bersih pada kuartal I-2019 sebesar US$ 2,34 miliar sehingga laba per saham (
Earnings Per Share/EPS) menjadi US$ 1,39. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu EPS di US$ 1,17.
Kemudian harga saham Pepsi melesat 3,76% setelah melaporkan pendapatan bersih sebesar US$ 12,88 miliar sehingga EPS menjadi US$ 97 sen. Lebih tinggi dibandingkan konsensus yang memperkirakan EPS di US$ 92 sen.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu Wall Street yang finis di jalur merah. Pada saat Harpitnas seperti ini, melihat Wall Street yang merah bisa membuat investor kurang bersemangat.
Sentimen kedua adalah diharapkan efek rilis data pertumbuhan ekonomi China masih terasa. Selain data pertumbuhan ekonomi, penjualan ritel di Negeri Panda juga memuaskan dengan mencatat pertumbuhan 8,7% YoY pada Maret. Lebih baik ketimbang bulan sebelumnya yang tumbuh 8,2%.
Kemudian investasi properti di China pada Maret naik 12% YoY, laju tercepat sejak Juli 2018. Sementara sepanjang kuartal I-2019, investasi properti tumbuh 11,8% YoY, terbaik sejak kuartal I-2014.
Lalu investasi aset tetap pada kuartal I-2019 tumbuh 6,3% YoY. Berbagai proyek infrastruktur seperti jalan, rel kereta api, dan pelabuhan mendongrak pertumbuhan investasi aset tetap.
Rentetan data positif dari China tersebut diharapkan masih laku dan menjadi suntikan moral bagi pelaku pasar di Indonesia. Sebab sayang sekali Indonesia tidak bisa merasakan manisnya dampak rilis data dari China kemarin, semoga hari ini belum
expired.
Namun, pelaku pasar harus waspada dengan sentimen ketiga. Mengutip Reuters, Uni Eropa telah merilis sejumlah produk Amerika Serikat (AS) yang berpotensi dikenakan bea masuk. Nilainya mencapai US$ 20 miliar. Produk-produk AS yang bisa terkena bea masuk di antaranya adalah pesawat terbang, helikopter, produk kimia, ikan beku, jeruk sitrus, saus sambal, tembakau, koper, traktor, hingga konsol
video game.
Langkah ini merupakan balasan atas ancaman AS yang berencana memberlakukan bea masuk untuk impor produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Aksi saling gertak ini bermula dari sengketa AS dan Uni Eropa seputar subsidi kepada perusahaan produsen pesawat terbang masing-masing, Boeing di sisi AS dan Airbus dari Eropa.
Apabila Uni Eropa dan AS sampai benar-benar mengenakan bea masuk, maka perang dagang Trans-Atlantik bisa meletus. Saat perang dagang AS-China kemungkinan bisa berakhir dalam waktu dekat, kini dunia harus bersiap dengan perang dagang berikutnya.
Sentimen perang dagang berpotensi membuat pelaku pasar bermain aman, enggan menyentuh aset-aset berisiko. Ini tentu akan menjadi kabar yang kurang enak buat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan obligasi pemerintah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah bagaimana investor merespons Pemilu kemarin. Berdasarkan hitung cepat (
quick count) sejumlah institusi, pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin diunggulkan atas rivalnya yaitu capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Untuk mendapatkan informasi seputar hasil
quick count, silakan klik di
sini.
Kemarin, pasar spot valas Indonesia memang libur. Namun rupiah masih diperdagangkan di pasar Non-Deliverable Forwards (NDF) di luar negeri. Di pasar ini, penguatan rupiah terlihat lumayan signifikan.
Selain karena efek data pertumbuhan ekonomi China, investor di luar negeri sepertinya bereaksi atas hasil
quick count Pemilu 2019. Harus diakui, investor sepertinya memang lebih condong kepada pasangan 01.
Sebab jika Jokowi kembali menjadi presiden, maka kemungkinan besar tidak ada perubahan mendasar dari posisi dan pola kebijakan pemerintah untuk 5 tahun ke depan. Ini tentunya lebih melegakan buat investor, karena yang namanya ketidakpastian adalah musuh terbesar bagi pasar.
Oleh karena itu, menarik untuk melihat bagaimana IHSG dkk merepons hasil quick count Pemilu 2019.
This is the moment of truth, ke mana pasar bersandar akan terlihat hari ini. Jika memang 'jagoan' pasar adalah Jokowi, maka IHSG cs sepertinya harus bersiap-siap menerima arus modal dalam jumlah besar sehingga berada di zona hijau bukan sebuah tantangan yang sulit.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data Purchasing Managers Indeks Rilis (PMI) manufaktur Jepang versi Nikkei periode April (07:30 WIB).
- Rilis Indeks Harga Produsen (Producer Price Index/PPI) Jerman periode Maret (13:00 WIB).
- Rilis PMI manufaktur Jerman versi Markit periode April (14:30 WIB).
- Rilis PMI manufaktur Zona Euro versi Markit periode April (15:00 WIB).
- Rilis data klaim tunjangan pengangguran AS untuk minggu yang berakhir pada 13 April (19:30 WIB).
- Rilis data penjualan ritel AS periode Maret (19:30 WIB).
- Rilis Indeks Bisnis The Fed Philadephia periode April (19:30 WIB).
- Rilis Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur AS versi Markit periode April (20:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (Maret 2019 YoY) | 2,48% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2019) | -1,84% PDB |
Transaksi berjalan (2018) | -2,98% PDB |
Neraca pembayaran (2018) | -US$ 7,13 miliar |
Cadangan devisa (Maret 2019) | US$ 124,54 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di
sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA