Newsletter

Ada Mitos Investor Mundur Dulu Jelang Pemilu, Benarkah?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
16 April 2019 05:37
Ada Mitos Investor Mundur Dulu Jelang Pemilu, Benarkah?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia mencatatkan kinerja positif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan harga obligasi pemerintah seluruhnya menguat. 

Kemarin, IHSG ditutup naik 0,46%. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif. Indeks yang melemah adalah Hang Seng (-0,33%), Shanghai Composite (-0.34%), atau Straits Times (-0,13%) sedangkan yang menguat di antaranya Nikkei 225 (1,37%) dan Kospi (0,42%). 


Di kamar sebelah, rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,25% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah berhasil menguat 3 hari beruntun dan menjadi mata uang dengan apresiasi terbaik di Asia. 


Kemudian di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 2 basis poin. Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan. 

Faktor pendorong IHSG dkk adalah rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus US$ 540 juta pada Maret. Angka ini didapat dari ekspor yang terkontraksi alias minus 10,02% year-on-year (YoY) sementara impor juga turun 6,76% YoY. 

Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatat suplus dalam 2 bulan beruntun. Pada Februari, surplus neraca perdagangan adalah US$ 330 juta. 


Artinya, ada harapan transaksi berjalan (current account) pada kuartal I-2019 akan membaik. Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberi bocoran bahwa transaksi berjalan pada kuartal I-2019 masih defisit US$ 6,7 miliar. Meski defisit, tetapi lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai minus US$ 9,15 miliar. 

Perbaikan di transaksi berjalan akan membuat rupiah punya pijakan yang lebih stabil. Stabilitas rupiah akan membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi menarik, karena volatilitasnya terjaga. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Beralih ke Tanah Kebebasan, tiga indeks utama di Wall Street ditutup melemah tipis. Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Nasdaq Composite melemah 0,1%, sedangkan S&P 500 terkoreksi 0,06%. 

Pekan lalu kinerja Wall Street cukup meyakinkan hingga mengundang aksi ambil untung (profit taking). Kebetulan ada 'pelatuk' yang memicu aksi tersebut, yaitu laporan keuangan emiten yang kurang memuaskan. 

Pada kuartal I-2019, Goldman Sachs mencatatkan pendapatan US$ 8,81 miliar. Pencapaian tersebut di bawah konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu US$ 8,99 miliar. 

Sementara laba per saham (Earnings Per Share/EPS) Goldman Sachs berada di US$ 5,71. Turun lumayan jauh dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu US$ 6,95. Kinerja Goldman Sachs yang lesu ini membuat harga sahamnya amblas 3,81%. 

"Kita sudah mengalami pekan yang kuat. Jadi kalau ada berita yang kurang sedap seperti dari Goldman Sachs, akan menciptakan momentum koreksi," kata Joseph Sroka, Chief Investment Officer di NovaPoint yang berbasis di Atlanta, mengutip Reuters. 

Apalagi konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan rata-rata laba emiten di indeks S&P 500 pada kuartal I-2019 turun 2,1% YoY. Penyebabnya adalah dampak stimulus pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang membuat laba emiten melesat tajam tahun lalu, sehingga menciptakan basis yang terlalu tinggi untuk dikejar pada tahun ini. Penurunan rata-rata laba emiten ini menjadi yang pertama sejak 2016. 

Namun koreksi di Wall Street dibatasi oleh sentimen positif dari dialog dagang AS-China. Mengutip Reuters, dua orang sumber mengungkapkan bahwa Washington melunak dan bersedia mengurangi tuntutannya kepada Beijing. 

AS melunak dalam hal kebijakan subsidi China kepada perusahaan milik negara. Sepertinya AS tidak akan banyak protes soal kebijakan ini, dan memilih fokus ke bidang lain yaitu penghapusan kewajiban alih teknologi bagi perusahaan asing, perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, dan perluasan akses AS ke pasar domestik China. 

"Kesepakatan yang membuat Presiden Xi (Jinping, Presiden China) lemah tentu tidak baik bagi China. Namun apa pun nanti kesepakatannya, ini akan lebih baik dari apa yang ada sekarang. Mungkin tidak akan memuaskan semua orang, tetapi itu lah politik," kata seorang sumber. 

Sikap AS yang melunak ini membuat pintu damai dagang dengan China menjadi semakin terbuka. Sepertinya jalan menuju ke sana masih relatif lancar, belum ada hambatan yang berarti. 

Kala dua perekonomian terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat, maka arus perdagangan dan rantai pasok global akan kembali menggeliat. Investor kini boleh berharap pertumbuhan ekonomi global yang lebih baik. 

Secara umum, perdagangan di Wall Street berlangsung kurang semarak. Volume perdagangan 'hanya' melibatkan 5,75 miliar unit saham, cukup jauh di bawah rata-rata 20 hari perdagangan terakhir yang mencapai 6,91 miliar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama sudah pasti performa Wall Street yang kurang ciamik. Dikhawatirkan angka-angka merah di Wall Street bisa membuat mood pelaku pasar di Asia sudah rusak duluan sebelum memulai perdagangan. 

Sentimen kedua adalah masih dari dinamika perundingan dagang AS-China. Kabar baik kembali datang, kali ini dari Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin. 

"Saya berharap kami semakin dekat ke putaran final menuju kesepakatan. Kami membuat kemajuan, tetapi saya ingin hati-hati karena ini bukan negosiasi publik. Ini adalah perjanjian yang sangat-sangat detil, mencakup hal yang belum pernah dibahas sebelumnya," papar Mnuchin, mengutip Reuters. 

Namun Mnuchin memberi bocoran bahwa kesepakatan damai dagang AS-China akan berisi 7 bab. "Ini akan menjadi perubahan paling signifikan dalam hubungan AS-China selama 40 tahun terakhir," tegasnya. 

Asa damai dagang AS-China yang semakin nyata tentu berpotensi membuat risk appetite investor membuncah. Arus modal bisa kembali membanjiri aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kalau ini terjadi, tentu sebuah kabar baik buat IHSG, rupiah, dan Surat Berharga Negara (SBN). 

Sampai saat ini risk appetite masih terjaga, terlihat dari dolar AS yang masih mengalami pelemahan. Pada pukul 04:38 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,04%. Apabila tren koreksi dolar AS berlanjut, maka rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini akan mendapat durian runtuh. 

Namun rupiah masih harus waspada karena dolar AS bisa bangkit kapan saja. Perlu diingat bahwa koreksi  Dollar Index begitu tipis, dia bisa berbalik menguat sewaktu-waktu. 

Apalagi ada sentimen positif yaitu rilis data New York Empire State Manufacturing Index yang tercatat 10,1 pada April. Jauh melampaui bulan sebelumnya yaitu 3,7. 

Data ini menandakan kebangkitan aktivitas manufaktur di Negeri Paman Sam. Artinya walau  ekonomi mungkin melambat, tetapi masih ada geliat. Ini berpotensi membuat laju inflasi tidak terlalu lambat, sehingga The Federal Reserve/The Fed masih harus berpikir ulang untuk menurunkan suku bunga acuan. 

Sekarang kalau bicara suku bunga bukan lagi naik atau tidak naik, tapi turun atau tidak turun. Sebab kemungkinan untuk turun lebih besar ketimbang naik. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas suku bunga acuan AS bertahan di 2,25-2,5% pada akhir 2019 adalah 60,4%. Sementara kemungkinan untuk turun menjadi 2-2,25% adalah 32,5%. 

Berapa besar peluang Federal Funds Rate untuk naik? Nol persen. 

Jadi sekarang suku bunga tidak naik saja sudah harus disyukuri oleh dolar AS, sehingga menjadi sentimen positif. Oleh karena itu, rilis data NY Empire State Manufacturing Index perlu diwaspadai oleh rupiah karena bisa menjadi peluit yang membangunkan dolar AS. 

Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah pelaksaan Pemilu yang semakin dekat. Besok, rakyat Indonesia akan memilih anggota legislatif dan Presiden-Wakil Presiden periode 2019-2024. Segala hiruk-pikuk dan kegaduhan yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir akan memuncak esok hari. The moment of truth

Well, legenda menyatakan bahwa investor cenderung wait and see jelang Pemilu. Sebab investor ingin melihat ke mana angin berhembus, apakah akan ada perubahan signifikan atau tidak.  

Sesuatu yang sangat masuk akal, karena musuh terbesar pasar adalah ketidakpastian. Kalau semua sudah pasti, seluruh risiko sudah bisa dihitung, baru investor bisa tenang memasuki gelanggang. 

Tanda-tanda legenda itu benar adanya sudah terlihat kemarin. Meski IHSG ditutup menguat, tetapi investor asing melakukan jual bersih Rp 344,8 miliar. Sepertinya investor (terutama asing) mundur dulu untuk melihat dan mencerna ke mana arah Indonesia usai Pemilu. 

Apakah legenda itu lagi-lagi akan menjadi kenyataan pada hari ini? Kita lihat saja nanti... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data produksi industrial AS periode Maret (20:15 WIB).
  • Rilis Indeks Sentimen Ekonomi ZEW Jerman periode April (16:00 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Maret 2019 YoY)2,48%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Maret 2019)US$ 124,54 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular