
Newsletter
Senin yang Sibuk: Ada Dialog Dagang, Brexit, dan Inflasi
Hidayat Setiaji & Dwi Ayuningtyas & M Taufan Adharsyah & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 April 2019 05:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia menjalani periode yang cukup berat pada pekan lalu. Semua karena hembusan isu resesi di Amerika Serikat (AS).
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,87% secara point-to-point. IHSG harus rela kembali ke level 6.400 setelah pekan lalu berhasil menembus kisaran 6.500.
Sementara rupiah melemah 0,53% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam kembali nyaman di kisaran Rp 14.200.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,8 basis poin (bps). Yield instrumen ini menyentuh titik tertinggi sejak 20 Maret.
Pekan lalu, sentimen yang mendominasi pasar keuangan adalah ancaman resesi di AS. Penyebabnya adalah inversi yield 3 bulan dan 10 tahun, di mana yang jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Artinya, investor melihat risiko dalam waktu dekat lebih besar. Inilah mengapa resesi kerap kali bermula dari inversi yield di dua tenor tersebut.
Dilatarbelakangi kekhawatiran resesi AS, pelaku pasar memilih bermain aman. Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia.
Sentimen ini terbukti mampu menutup kabar baik dari Beijing. Pada Kamis-Jumat pekan lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer berada di Beijing untuk melakukan dialog dagang dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. Pekan ini giliran Liu yang bertandang ke Washington.
"Kami sudah menyelesaikan pembicaraan yang konstruktif di Beijing. Saya menantikan dan bersiap menyambut Wakil PM Liu He untuk melanjutkan diskusi penting di Washington pekan depan," cuit Mnuchin di Twitter, akhir pekan lalu.
[Gambas:Twitter]
Namun kabar ini kalah pamor dengan ancaman resesi AS. Ternyata aura damai dagang AS-China tidak mampu menghalau kegalauan investor akibat risiko resesi di Negeri Adidaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Sepanjang pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,87% secara point-to-point. IHSG harus rela kembali ke level 6.400 setelah pekan lalu berhasil menembus kisaran 6.500.
Sementara rupiah melemah 0,53% di hadapan dolar AS. Mata uang Negeri Paman Sam kembali nyaman di kisaran Rp 14.200.
Kemudian imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 6,8 basis poin (bps). Yield instrumen ini menyentuh titik tertinggi sejak 20 Maret.
Pekan lalu, sentimen yang mendominasi pasar keuangan adalah ancaman resesi di AS. Penyebabnya adalah inversi yield 3 bulan dan 10 tahun, di mana yang jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Artinya, investor melihat risiko dalam waktu dekat lebih besar. Inilah mengapa resesi kerap kali bermula dari inversi yield di dua tenor tersebut.
Dilatarbelakangi kekhawatiran resesi AS, pelaku pasar memilih bermain aman. Akibatnya aset-aset berisiko di negara berkembang mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia.
Sentimen ini terbukti mampu menutup kabar baik dari Beijing. Pada Kamis-Jumat pekan lalu, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer berada di Beijing untuk melakukan dialog dagang dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. Pekan ini giliran Liu yang bertandang ke Washington.
"Kami sudah menyelesaikan pembicaraan yang konstruktif di Beijing. Saya menantikan dan bersiap menyambut Wakil PM Liu He untuk melanjutkan diskusi penting di Washington pekan depan," cuit Mnuchin di Twitter, akhir pekan lalu.
[Gambas:Twitter]
Namun kabar ini kalah pamor dengan ancaman resesi AS. Ternyata aura damai dagang AS-China tidak mampu menghalau kegalauan investor akibat risiko resesi di Negeri Adidaya.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Ciamik!
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular