Newsletter

Wall Street Hijau, Penjualan Ritel Tokcer, Kurang Apa Lagi?

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
12 March 2019 06:13
Wall Street Hijau, Penjualan Ritel Tokcer, Kurang Apa Lagi?
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia berakhir variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi sementara nilai tukar rupiah berhasil menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,26%. Padahal indeks saham utama Asia kebanyakan menguat seperti Nikkei 225 (0,47%), Hang Seng (0,97%), Shanghai Composite (1,92%), dan  Kospi (0,03%). 


Sementara rupiah terapresiasi 0,14% terhadap dolar AS. Mayoritas mata uang utama Asia juga menguat, tetapi penguatan rupiah menjadi yang terbaik di Benua Kuning. 


Rupiah berhasil menguat lumayan tajam karena sebelumnya telah melemah cukup dalam. Sepekan kemarin, rupiah melemah 1,38% terhadap dolar AS dan menjadi mata uang terlemah di Asia. Sejak akhir Februari, depresiasi rupiah mencapai 1,6%. 

Pelemahan yang sudah cukup dalam ini membuka peluang terjadinya technical rebound. Rupiah yang sudah murah menjadi menarik di mata investor dan terjadilah aksi borong. 

Kemudian, masih dari dalam negeri, penguatan rupiah sepertinya juga tidak lepas dari campur tangan Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, mengatakan bank sentral terus menjaga likuiditas sehingga tidak terjadi keketatan di pasar. 


Sementara koreksi IHSG justru menyisakan kisah yang bekebalikan dengan rupiah. IHSG malah terhempas akibat aksi ambil untung. 

Sejak awal tahun, IHSG masih perkasa dengan penguatan 2,78%. Valuasi IHSG juga masih lumayan tinggi yaitu 15,73 kali. Lebih tinggi ketimbang indeks saham utama Asia seperti Hang Seng (11,19 kali), Shanghai Composite (12,55 kali), Kospi (12,1 kali), sampai Straits Times (12,31 kali). 

Penguatan dan valuasi IHSG yang tinggi tersebut membuatnya rawan terkoreksi. Investor tentu ada yang tergoda untuk mencairkan keuntungan, dan itu sepertinya terjadi kemarin di mana investor asing membukukan jual bersih Rp 558,6 miliar. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama mencatat penguatan yang lumayan tajam. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,79%, S&P 500 melonjak 1,47%, dan Nasdaq Composite meroket 2,02%. 

Saham-saham teknologi, khususnya telekomunikasi, menjadi pendorong Wall Street. Pantas saja Nasdaq melesat sangat signifikan. 

Apple menjadi penggerak bursa saham New York dengan penguatan mencapai 3,46%. Apple adalah perusahaan yang oleh dibilang 'sistemik' sehingga penguatannya ikut mempengaruhi saham-saham lain. 

Lonjakan saham Apple terjadi setelah Bank of America Merrill Lynch merekomendasikan 'beli' untuk saham perusahaan yang berbasis di Cupertino (California) tersebut. Seorang sumber, mengutip Reuters, mengungkapkan bahwa Apple akan meluncurkan layanan baru yaitu layanan saluran televisi berbayar pada bulan depan. 

Investor sepertinya mengabaikan saham Boeing yang anjlok 5,33%. Padahal Boeing adalah saham dengan bobot terbesar di DJIA, mencapai 11,26%. 

Saham Boeing terjun bebas setelah jatuhnya pesawat jenis 737 Max 8 milik Ethiopian Airlines. Pesawat sejenis milik Lion Air juga jatuh tahun lalu. 

Akibat tragedi ini, otoritas transportasi di sejumlah negara seperti China dan Indonesia 'mengandangkan' Boeing 737 Max 8 untuk sementara. Negara lain seperti Korea Selatan memulai penyelidikan khusus terhadap pesawat ini. 

Namun ternyata amblasnya saham Boeing tidak banyak mempengaruhi Wall Street. Mengapa demikian? 

Pelaku pasar sepertinya tergiur karena harga aset di Wall Street sudah murah. Maklum, pekan lalu DJIA dan S&P anjlok 2,2% sementara Nasdaq amblas 2,5%. Harga aset yang sudah 'terbanting' ini tentu menjadi sangat menarik sehingga terjadilah aksi borong. 

"Setelah pelemahan yang terjadi pekan lalu, sepertinya aset-aset sudah mengalami jenuh jual. Apa yang terjadi hari ini sangat impresif, apalagi melihat bagaimana saham Boeing," kata Michael James, Managing Director di Wedbush Securities yang berbasis di Los Angeles, mengutip Reuters. 

Gairah investor kian membuncah melihat rilis data penjualan ritel AS. Pada Januari 2019, penjualan ritel naik 0,2% secara month-on-month (MoM), jauh membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang terkontraksi alias minus 1,6% MoM. 

Data ini menunjukkan konsumsi masyarakat Negeri Paman Sam masih kuat. Konsumsi adalah penyumbang terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) AS dengan kontribusi mendekati 70%. Oleh karena itu, konsumsi yang sehat menjamin pertumbuhan ekonomi yang kuat.                     


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dari Wall Street yang menampilkan performa mengesankan. Semoga mood investor di pasar keuangan Asia langsung ceria begitu melihat hijaunya Wall Street. 

Sentimen kedua, pelaku pasar rasanya perlu memantau dinamika seputar Brexit. Hari ini, parlemen Inggris akan menggelar voting untuk menentukan apakah menerima atau menolak proposal Brexit yang diusulkan Perdana Menteri Theresa May.  

Jika proposal ini kembali ditolak seperti pendahulunya, maka Inggris akan menghadapi konsekuensi berat. Brexit ditunda, Inggris tidak mendapat apa-apa dari perceraian dengan Uni Eropa (No Deal Brexit), pemilihan umum yang dipercepat, atau jajak pendapat ulang apakah kali ini rakyat Inggris mau berpisah dengan Brussel atau tidak. 

PM May memutuskan untuk terbang ke Strasbourg (Prancis) untuk menemui Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker. Belum jelas apa agenda pertemuan tersebut, tetapi pasti membahas hal penting terkait nasib Inggris. 

"Dengan May, kami seperti dua langkah maju dan satu langkah mundur. Namun untuk apa dia buru-buru datang ke Strasbourg (kalau tidak membahas kesepakatan Brexit)?" ujar seorang pejabat Uni Eropa kepada Reuters. 

"Tolong, jangan melihat pertemuan ini akan menghasilkan kesepakatan. Pertemuan ini menjadi basis bahwa ke depan ada peluang untuk berdiskusi," tutur seorang pejabat Inggris yang turut dalam rombongan PM May, seperti dikutip dari Reuters. 

Jadwal pelaksaan Brexit tinggal menghitung hari, tepatnya pada 29 Maret. Sampai saat ini nasib Inggris belum jelas mau ke mana, karena belum selesai dengan perdebatan dan polemik di dalam negeri sendiri. 

Kalau sampai terjadi No Deal Brexit, maka akan menjadi bencana besar buat Negeri John Bull. Inggris akan kesulitan berdagang dengan Eropa Daratan karena produk-produk made in the UK kena bea masuk. Padahal Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Inggris. Bank Sentral Inggris (BoE) sampai mengingatkan bahwa Inggris bisa mengalami kontraksi ekonomi alias tumbuh negatif jika terjadi No Deal Brexit


Tidak cuma bagi Inggris, No Deal Brexit juga akan menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. Ada sebuah ketidakpastian dan risiko besar, yang membuat investor tentunya memilih bermain aman. Tentunya bukan berita bagus untuk IHSG dan rupiah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan melemah hari ini. pada pukul 05:22 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enm mata uang utama dunia) melemah 0,37%. 

Mungkin dolar AS sedang memasuki fase koreksi karena penguatannya sudah lumayan tajam. Sejak awal tahun, Dollar Index menguat 0,8% dan selama setahun terakhir melonjak 7,6%. 

Selain itu, sepertinya data penjualan ritel tidak banyak mempengaruhi dolar AS. Investor menilai bahwa penjualan ritel yang naik pada Januari belum bisa menutup rasa kecewa akibat kontraksi yang terjadi pada akhir 2018. Sebab Desember adalah puncak konsumsi di Negeri Adidaya seiring perayaan Thanksgiving, Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan. 

Oleh karena itu, peluang The Federal Reserves/The Fed untuk kenaikan suku bunga acuan masih sangat kecil, setidaknya dalam waktu dekat. Rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) terdekat adalah pada 20 Maret. Mengutip CME Fedwatch, peluang Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk mempertahankan Federal Funds Rate di kisaran 2,25-2,5% mencapai 98,7%. 

Bahkan pada rapat FOMC berikutnya yaitu pada 1 Mei peluang untuk mempertahankan suku bunga acuan juga tetap tinggi, yaitu 97,7%. Lalu pada rapat 19 Juni, probabilitas untuk mempertahankan suku bunga acuan masih sangat besar yaitu 94,5%. 

Jadi, sepertinya dolar AS tidak akan menjadi bintang pada hari ini. Situasi yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah dan mata uang Asia lainnya untuk kembali mencatat apresiasi. 

Namun rupiah mesti waspada karena ada sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:32 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masign-masing 1,52% dan 1,5%. 

Penyebab kenaikan harga minyak masih seputar pengurangan produksi oleh kartel Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). OPEC dan negara kaya minyak lainnya seperti Rusia menetapkan pemotongan produksi 1,2 juta barel/hari untuk mendongrak harga si emas hitam. Kebijakan ini setidaknya akan dipertahankan setidaknya sampai pertemuan OPEC di Wina (Austra) pada tengah tahun.   

"Kami akan melihat situasi pasar pada Juni dan kemudian mungkin melakukan penyesuaian jika dibutuhkan," kata Khalid Al Falih, Menteri Perminyakan Arab Saudi, mengutip Reuters. 

Kendala pasokan ini menyebabkan harga minyak bergerak ke utara alias menguat. Sayangnya, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. 

Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar.

Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan pasokan barang dan jasa dari ekspor-impor. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi. 

Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah.  

Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Januari 2019 tumbuh meyakinkan yaitu 7,2% year-on-year (YoY). Jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu -1,8% YoY.

 
Inflasi yang pada Januari cukup rendah yaitu 2,82% YoY menjadi penyebab terjaganya daya beli dan penjualan ritel. Dengan inflasi yang lebih rendah pada Februari, yaitu 2,57% YoY, maka peluang untuk kenaikan penjualan ritel masih tinggi.  

BI memperkirakan penjualan ritel pada Februari bisa tumbuh mencapai 10,9% YoY. Penyumbang utamanya adalah kelompok sandang, dengan pertumbuhan penjualan yang diperkirakan mencapai 38,8% YoY. 

Data ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Indonesia. Penjualan ritel yang tumbuh pesat pada Januari (dan kemungkinan Februari) menjadi indikasi bahwa konsumsi masyarakat masih kuat.

Konsumsi rumah tangga adalah komponen utama dalam pembentukan PDB nasional dengan sumbangan hampir 60%. Dengan konsumsi rumah tangga yang kuat ini, maka prospek pertumbuhan ekonomi kuartal I-2010 sepertinya akan cerah. Ini tentu sebuah kabar yang bisa menyulut aksi beli di pasar keuangan Indonesia, sehingga ada peluang IHSG dan rupiah untuk menguat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini: 
  • Presiden Joko Widodo dan sejumlah pejabat negara menghadiri acara Rakornas Investasi di Tangerang Selatan (08:30 WIB).
  • Rilis data inflasi AS periode Februari 2019 (19:30 WIB).

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional: 

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Februari 2019 YoY)2,57%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Februari 2019)US$ 123,27 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular