
Newsletter
Wall Street Hijau, Penjualan Ritel Tokcer, Kurang Apa Lagi?
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
12 March 2019 06:13

Sentimen ketiga adalah nilai tukar dolar AS, yang kemungkinan melemah hari ini. pada pukul 05:22 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enm mata uang utama dunia) melemah 0,37%.
Mungkin dolar AS sedang memasuki fase koreksi karena penguatannya sudah lumayan tajam. Sejak awal tahun, Dollar Index menguat 0,8% dan selama setahun terakhir melonjak 7,6%.
Selain itu, sepertinya data penjualan ritel tidak banyak mempengaruhi dolar AS. Investor menilai bahwa penjualan ritel yang naik pada Januari belum bisa menutup rasa kecewa akibat kontraksi yang terjadi pada akhir 2018. Sebab Desember adalah puncak konsumsi di Negeri Adidaya seiring perayaan Thanksgiving, Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan.
Oleh karena itu, peluang The Federal Reserves/The Fed untuk kenaikan suku bunga acuan masih sangat kecil, setidaknya dalam waktu dekat. Rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) terdekat adalah pada 20 Maret. Mengutip CME Fedwatch, peluang Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk mempertahankan Federal Funds Rate di kisaran 2,25-2,5% mencapai 98,7%.
Bahkan pada rapat FOMC berikutnya yaitu pada 1 Mei peluang untuk mempertahankan suku bunga acuan juga tetap tinggi, yaitu 97,7%. Lalu pada rapat 19 Juni, probabilitas untuk mempertahankan suku bunga acuan masih sangat besar yaitu 94,5%.
Jadi, sepertinya dolar AS tidak akan menjadi bintang pada hari ini. Situasi yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah dan mata uang Asia lainnya untuk kembali mencatat apresiasi.
Namun rupiah mesti waspada karena ada sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:32 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masign-masing 1,52% dan 1,5%.
Penyebab kenaikan harga minyak masih seputar pengurangan produksi oleh kartel Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). OPEC dan negara kaya minyak lainnya seperti Rusia menetapkan pemotongan produksi 1,2 juta barel/hari untuk mendongrak harga si emas hitam. Kebijakan ini setidaknya akan dipertahankan setidaknya sampai pertemuan OPEC di Wina (Austra) pada tengah tahun.
"Kami akan melihat situasi pasar pada Juni dan kemudian mungkin melakukan penyesuaian jika dibutuhkan," kata Khalid Al Falih, Menteri Perminyakan Arab Saudi, mengutip Reuters.
Kendala pasokan ini menyebabkan harga minyak bergerak ke utara alias menguat. Sayangnya, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah.
Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar.
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan pasokan barang dan jasa dari ekspor-impor. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Januari 2019 tumbuh meyakinkan yaitu 7,2% year-on-year (YoY). Jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu -1,8% YoY.
Inflasi yang pada Januari cukup rendah yaitu 2,82% YoY menjadi penyebab terjaganya daya beli dan penjualan ritel. Dengan inflasi yang lebih rendah pada Februari, yaitu 2,57% YoY, maka peluang untuk kenaikan penjualan ritel masih tinggi.
BI memperkirakan penjualan ritel pada Februari bisa tumbuh mencapai 10,9% YoY. Penyumbang utamanya adalah kelompok sandang, dengan pertumbuhan penjualan yang diperkirakan mencapai 38,8% YoY.
Data ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Indonesia. Penjualan ritel yang tumbuh pesat pada Januari (dan kemungkinan Februari) menjadi indikasi bahwa konsumsi masyarakat masih kuat.
Konsumsi rumah tangga adalah komponen utama dalam pembentukan PDB nasional dengan sumbangan hampir 60%. Dengan konsumsi rumah tangga yang kuat ini, maka prospek pertumbuhan ekonomi kuartal I-2010 sepertinya akan cerah. Ini tentu sebuah kabar yang bisa menyulut aksi beli di pasar keuangan Indonesia, sehingga ada peluang IHSG dan rupiah untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Mungkin dolar AS sedang memasuki fase koreksi karena penguatannya sudah lumayan tajam. Sejak awal tahun, Dollar Index menguat 0,8% dan selama setahun terakhir melonjak 7,6%.
Selain itu, sepertinya data penjualan ritel tidak banyak mempengaruhi dolar AS. Investor menilai bahwa penjualan ritel yang naik pada Januari belum bisa menutup rasa kecewa akibat kontraksi yang terjadi pada akhir 2018. Sebab Desember adalah puncak konsumsi di Negeri Adidaya seiring perayaan Thanksgiving, Hari Natal, Tahun Baru, dan musim liburan.
Oleh karena itu, peluang The Federal Reserves/The Fed untuk kenaikan suku bunga acuan masih sangat kecil, setidaknya dalam waktu dekat. Rapat komite pengambil kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC) terdekat adalah pada 20 Maret. Mengutip CME Fedwatch, peluang Jerome 'Jay' Powell dan sejawat untuk mempertahankan Federal Funds Rate di kisaran 2,25-2,5% mencapai 98,7%.
Bahkan pada rapat FOMC berikutnya yaitu pada 1 Mei peluang untuk mempertahankan suku bunga acuan juga tetap tinggi, yaitu 97,7%. Lalu pada rapat 19 Juni, probabilitas untuk mempertahankan suku bunga acuan masih sangat besar yaitu 94,5%.
Jadi, sepertinya dolar AS tidak akan menjadi bintang pada hari ini. Situasi yang bisa dimanfaatkan oleh rupiah dan mata uang Asia lainnya untuk kembali mencatat apresiasi.
Namun rupiah mesti waspada karena ada sentimen keempat yaitu kenaikan harga minyak. Pada pukul 05:32 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melonjak masign-masing 1,52% dan 1,5%.
Penyebab kenaikan harga minyak masih seputar pengurangan produksi oleh kartel Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). OPEC dan negara kaya minyak lainnya seperti Rusia menetapkan pemotongan produksi 1,2 juta barel/hari untuk mendongrak harga si emas hitam. Kebijakan ini setidaknya akan dipertahankan setidaknya sampai pertemuan OPEC di Wina (Austra) pada tengah tahun.
"Kami akan melihat situasi pasar pada Juni dan kemudian mungkin melakukan penyesuaian jika dibutuhkan," kata Khalid Al Falih, Menteri Perminyakan Arab Saudi, mengutip Reuters.
Kendala pasokan ini menyebabkan harga minyak bergerak ke utara alias menguat. Sayangnya, kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah.
Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar.
Padahal transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar, karena mencerminkan pasokan barang dan jasa dari ekspor-impor. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data penjualan ritel. Bank Indonesia (BI) melaporkan penjualan ritel pada Januari 2019 tumbuh meyakinkan yaitu 7,2% year-on-year (YoY). Jauh lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yaitu -1,8% YoY.
Inflasi yang pada Januari cukup rendah yaitu 2,82% YoY menjadi penyebab terjaganya daya beli dan penjualan ritel. Dengan inflasi yang lebih rendah pada Februari, yaitu 2,57% YoY, maka peluang untuk kenaikan penjualan ritel masih tinggi.
BI memperkirakan penjualan ritel pada Februari bisa tumbuh mencapai 10,9% YoY. Penyumbang utamanya adalah kelompok sandang, dengan pertumbuhan penjualan yang diperkirakan mencapai 38,8% YoY.
Data ini bisa menjadi sentimen positif bagi pasar keuangan Indonesia. Penjualan ritel yang tumbuh pesat pada Januari (dan kemungkinan Februari) menjadi indikasi bahwa konsumsi masyarakat masih kuat.
Konsumsi rumah tangga adalah komponen utama dalam pembentukan PDB nasional dengan sumbangan hampir 60%. Dengan konsumsi rumah tangga yang kuat ini, maka prospek pertumbuhan ekonomi kuartal I-2010 sepertinya akan cerah. Ini tentu sebuah kabar yang bisa menyulut aksi beli di pasar keuangan Indonesia, sehingga ada peluang IHSG dan rupiah untuk menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular