Newsletter

Awas, Damai Dagang AS-China Ternyata Masih Bisa Batal!

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 February 2019 05:41
Awas, Damai Dagang AS-China Ternyata Masih Bisa Batal!
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi menjadi tema di pasar keuangan Indonesia pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah menutup perdagangan di zona merah.  

Kemarin, IHSG finis dengan pelemahan 0,23%. Bursa saham Asia ditutup variatif, di mana yang melemah seperti IHSG di antaranya adalah Hang Seng (-0,05%), KLCI (-0,32%), PSEI (-1,24%), dan Straits Times (-0,36%). Sementara yang menguat antara lain Nikkei 225 (0,5%), Shanghai Composite (0,42%), dan Kospi (0,37%). 


Sedangkan rupiah menutup perdagangan pasar spot dengan depresiasi 0,26% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah membuka hari di zona hijau, tetapi kemudian melemah dan tidak bisa bangkit hingga penutupan pasar. 


Ambil untung menjadi penyebab utama koreksi IHSG dan rupiah. Sebelumnya, IHSG sudah menguat 2 hari beruntun dan rupiah bahkan 3 hari berturut-turut. 

Hal tersebut membuat IHSG dan rupiah rentan terserang koreksi teknikal. Sebab investor tentu tergoda mencairkan keuntungan setelah terjadi penguatan yang lumayan tajam. 

Apalagi memang ada alasan untuk melakukan ambil untung. Setelah 2 hari menjadi penopang penguatan pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia), sentimen damai dagang mulai pudar pada perdagangan kemarin. Memang belum ada kabar terbaru dari hubungan AS-China sehingga investor memilih untuk mengambil nafas terlebih dulu. 


Ditambah lagi muncul ketegangan hubungan antara India dan Pakistan. Bermula dari serangan bom mobil di Kashmir yang menewaskan setidaknya 40 personel militer India pada 14 Februari lalu, hubungan kedua tetangga ini menjadi panas. 

India menuding kelompok Jaish-e-Mohammed (JeM) yang berbasis di Pakistan bertanggung jawab atas serangan di Kashmir. Kemarin, India melakukan serangan ke wilayah Pakistan yang diyakini menjadi basis latihan JeM. Serangan ini dibalas oleh Islamabad, yang menembak jatuh dua pesawat tempur India. 


Ketegangan ini membuat pelaku pasar menahan diri untuk masuk ke pasar keuangan Benua Kuning. Oleh karena itu, koreksi pun bertebaran di pasar keuangan sejumlah negara meski relatif terbatas. 

Kemudian, kenaikan harga minyak juga menjadi momok bagi pasar keuangan Indonesia. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak bukan sebuah kabar gembira. Sebab biaya impor minyak akan membengkak kala harganya naik.


Padahal Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus ada impor untuk memenuhi kebutuhan karena produksi dalam negeri yang tidak memadai.
 Ini akan membuat pasokan devisa terkuras dan rupiah tidak punya modal untuk menguat. Fondasi rupiah menjadi rapuh sehingga rentan terdepresiasi.  

Aset-aset berbasis mata uang ini kemudian cenderung mengalami tekanan jual. Sebab, investor mana yang mau memegang aset yang nilainya berisiko turun? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,28%, S&P 500 melemah 0,05%, tetapi Nasdaq Composite masih bisa naik tipis 0,07%. 

Investor agak gamang setelah mendengar paparan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di hadapan Komite Perpajakan House of Representatives (House Ways and Means Committee). Pimpinan delegasi AS dalam dialog dagang dengan China di Beijing dan Washington tersebut menyatakan bahwa sebuah negosiasi tidak akan begitu saja mengubah hubungan dagang AS-China. 

"Kenyataannya adalah ini menjadi tantangan yang berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Saya tidak cukup bodoh untuk percaya satu negosiasi bisa mengubahnya," kata Lighthizer, mengutip Reuters. 

Apabila AS-China sampai batal mencapai kesepakatan damai dagang, lanjut Lighthizer, maka dirinya tidak akan segan untuk kembali menaikkan bea masuk. Sebab bea masuk adalah satu-satunya alat untuk menekan China agar melakukan reformasi struktural.

"Jika ada ketidaksepakatan, maka AS akan bertindak proporsional," tegasnya. 

Reformasi struktural di China, menurut Lighthizer, bukan soal Negeri Tirai Bambu membeli lebih banyak produk made in USA. Beberapa hal yang harus diselesaikan adalah penghentian pemaksaan transfer teknologi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di China atau manipulasi kurs untuk mendongrak kinerja ekspor. 

"Saya tidak yakin kalau ini (China membeli lebih banyak produk AS) akan menyelesaikan masalah. Kami akan menuntaskan ini (hubungan dengan China) dengan satu mata yang mengarah ke masa depan," kata Lighthizer. 

Namun, Lighthizer juga mengeluarkan pernyataan yang melegakan. Dia mengungkapkan bahwa tidak lama lagi pemerintah akan merilis aturan resmi tentang penundaan kenaikan bea masuk untuk importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar, seperti janji Presiden Donald Trump.

"Dalam beberapa hari ke depan akan  ada regulasi federal yang secara formal mengatur penundaan kenaikan tarif (bea masuk) untuk produk-produk China. Ini akan dikecualikan," ungkap Lighthizer. 

Kemudian, investor juga memantau paparan Gubernur The Federal Reserves/The Fed Jerome 'Jay' Powell di hadapan Komite Jasa Keuangan House of Representatives. Powell mengungkapkan bahwa The Fed akan mengakhiri proses normalisasi neraca pada akhir tahun ini. 

Sejak krisis 2008, The Fed rajin membeli surat-surat berharga di pasar. Dengan begitu, bank sentral melakukan injeksi likuiditas ke sistem perekonomian. Stimulus seperti ini disebut quantitative easing

Pembelian surat-surat berharga tersebut membuat neraca The Fed menjadi sangat gemuk, mencapai US$ 4 triliun. Dengan kondisi ekonomi AS yang membaik, maka The Fed memutuskan untuk lebih 'merampingkan' neracanya dengan melepas kepemilikan surat-surat berharga.  

Artinya, The Fed menyerap likuiditas dari sistem perekonomian. Pada akhirnya, dampak dari kebijakan ini sama seperti menaikkan suku bunga acuan yaitu mengetatkan likuiditas di pasar. 

"Kami sedang mengusahakan sebuah kerangka kerja, yang saya harap bisa diumumkan segera, untuk menyelesaikan normalisasi neraca. Kami mungkin akan mengakhirinya pada akhir tahun," ungkap Powell, mengutip Reuters. 

Kekhawatiran soal hubungan AS-China, kelegaan terkait penundaan kenaikan bea masuk, sampai sambutan positif bahwa The Fed akan menghentikan normalisasi neraca menjadi sentimen yang campur aduk di pasar. Hasilnya adalah Wall Street bergerak galau, melemah dan menguat dalam kisaran terbatas. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu perkembangan di Wall Street yang penuh kegamangan. Bisa jadi situasi yang sama akan menghinggapi pasar keuangan Asia. 

Sentimen kedua adalah perkembangan hubungan dagang AS-China. Meski sepertinya damai dagang sudah begitu dekat, tetapi sebaiknya pelaku pasar bersiap untuk skenario terburuk, seperti yang disebutkan Lighthizer. Sebelum ada hitam di atas putih, damai dagang masih bisa batal. 

"Pernyataan Lighthizer bahwa kesepakatan dagang AS-China bukanlah sesuatu yang hampir pasti terjadi sudah cukup untuk menyebabkan terjadinya sell-off (aksi jual massal)," tegas Michael Antonelli, Direktur Pelaksana di Robert W Baird yang berbasis di Milwaukee, mengutip Reuters. 

Oleh karena itu, pelaku pasar perlu waspada. Sebab bisa saja ada pernyataan Lighthizer menyulut reaksi pasar yang lebay di Asia. Semoga tidak terjadi sell-off seperti yang dikhawatirkan Antonelli. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS, yang ada kemungkinan menguat. Pada pukul 05:00 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,15%. 

Sepertinya pernyataan Lighthizer mulai memunculkan reaksi. Pelaku pasar melihat masih ada risiko yang bisa menggagalkan damai dagang AS-China. Oleh karena itu, permintaan dolar AS meningkat karena statusnya sebagai aset aman (safe haven). 

"Pasar valas agak khawatir. Sepertinya yang terlihat adalah AS-China semakin dekat menuju damai dagang, tetapi mungkin itu hanya di permukaan," tutur Mazen Issa, Senior FX Strategist di TD Securities yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Selain itu, data ekonomi terbaru di Negeri Paman Sam juga bisa menjadi modal penguatan dolar AS. Pemesanan produk manufaktur AS pada Desember 2018 naik 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Meski hanya naik tipis, tetapi jauh membaik dibandingkan penurunan 0,5% pada November 2018. 

Data ini bisa menjadi pertimbangan bagi The Fed untuk melihat bahwa denyut aktivitas ekonomi masih lumayan kencang. Tentu akan menjadi masukan jika kemudian The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan, meski mungkin tidak dalam waktu dekat. 

Oleh karena itu, rupiah harus terus waspada karena dolar AS masih perkasa. Jika rupiah sampai melemah lagi, maka akan menjadi beban buat IHSG dan aset-aset berbasis rupiah lainnya. Sebab, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, siapa yang mau mengoleksi aset yang nilainya turun? 

Sentimen keempat, yang juga mesti diwaspadai rupiah, adalah harga minyak. Pada pukul 05:12 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,58% dan light sweet melonjak 2,68%. 

Penyebabnya adalah stok minyak AS pada pekan lalu turun 8,6 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya. Jauh dibandingkan ekspektasi pasar yang memperkirakan ada kenaikan 2,8 juta barel. 

Kemudian, pasar juga bereaksi terhadap respons Menteri Energi Arab Saudi Khalid Al Falih atas cuitan Trump di Twitter beberapa waktu lalu. Trump menyebut Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak harus lebih santai karena harga minyak sudah terlalu tinggi. 


"Kami melakukan langkah yang perlahan dan terukur. Kami mengutamakan stabilitas di pasar," kata Al Falih, seperti dilaporkan CNBC International. 

Pernyataan Al Falih bisa diartikan bahwa OPEC tetap berpegang teguh kepada program pemotongan produksi, meski Trump tidak terlalu merestui. Pasokan minyak di pasar dunia tidak akan berlebih sehingga harga si emas hitam terangkat. 

Seperti yang sudah disebut sebelumnya, kenaikan harga minyak bukan sahabat rupiah. Kenaikan harga minyak akan membuat impor migas membengkak dan mengancam transaksi berjalan (current account), sebuah fondasi penting bagi rupiah. 

Ketika defisit transaksi berjalan semakin dalam gara-gara kenaikan impor minyak, maka fondasi penopang rupiah menjadi rapuh. Mata uang Tanah Air pun sangat berisiko untuk melemah. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis pembacaan awal produksi industri Jepang periode Januari 2019 (06:50 WIB).
  • Rilis angka penjualan eceran Jepang periode Januari 2019 (06:50 WIB).
  • Rilis Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur China periode Februari 2019 (08:00 WIB).
  • Rilis pembacaan kedua angka pertumbuhan ekonomi AS AS kuartal IV-2018 (20:30 WIB).
  • Rilis jumlah klaim pengangguran AS untuk minggu yang berakhir 23 Februari 2019 (20:30 WIB).
  • Rilis pembacaan awal tingkat inflasi Jerman periode Februari 2019 (20:00 WIB).  

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu: 

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP)RUPSLB10:00 WIB
PT Central Omega Resources Tbk (DKFT)RUPSLB14:00 WIB
PT Skybee Tbk (SKYB)RUPSLB14:00 WIB
PT Kapuas Prima Coal Tbk (ZINC)RUPSLB14:00 WIB
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (2018 YoY)5,17%
Inflasi (Januari 2019 YoY)2,82%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Februari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (2018)-2,98% PDB
Neraca pembayaran (2018)-US$ 7,13 miliar
Cadangan devisa (Januari 2019)US$ 120,07 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular