Newsletter

Damai Dagang Masih Jauh, Eropa Muram, Venezuela Panas

Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & M Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 January 2019 06:03
Damai Dagang Masih Jauh, Eropa Muram, Venezuela Panas
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Performa pasar keuangan Indonesia cukup memuaskan pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mampu membukukan penguatan. 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 0,24%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang menguat. Indeks Shanghai Composite naik 0,41%, Hang Seng bertambah 0,42%, Straits Times menguat 0,62%, dan Kospi terangkat 0,81%. 


Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,11% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Meski apresiasinya terlihat biasa saja, tetapi rupiah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat. 


Sejatinya investor di pasar keuangan Benua Kuning masih berhati-hati. Sebab ada rilis data yang kurang mengesankan di Asia Timur. 

Angka pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Jepang versi Nikkei pada Januari 2018 berada di 50. Masih optimistis karena angkanya pas di 50, tetapi optimisme dunia usaha di Negeri Matahari Terbit menurun dibandingkan bulan sebelumnya di mana PMI tercatat 52,6. Penurunan PMI di Jepang juga menjadi yang pertama sejak Agustus 2016. 

Data ini sejalan dengan rilis kemarin, yaitu perlambatan ekspor Jepang. Pada Desember 2018, ekspor Jepang terkontraksi alias minus 3,8% year-on-year (YoY). Ini menjadi kontraksi terdalam sejak Oktober 2016. 

Melihat perkembangan di Jepang, wajar jika pelaku pasar menjadi ketar-ketir. Apalagi sebelumnya sudah ada perkiraan bahwa Jepang terancam resesi. 


Data lain yang membuat pelaku pasar enggan mengambil risiko adalah suku bunga acuan di Korea Selatan. Bank Sentral Negeri Ginseng (BoK) mempertahankan suku bunga acuan di 1,75%. 

BoK juga memberi sinyal-sinyal negatif. BoK memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Korea Selatan untuk 2019 dari 2,7% menjadi 2,6%. Laju inflasi yang sedianya diperkirakan 1,7% juga melambat menjadi 1,4%. 

"Pertumbuhan ekonomi akan bergerak di bawah proyeksi, tetapi tidak signifikan. Pasar tenaga kerja masih menunjukkan adanya perlambatan," sebut Lee Ju Yeol, Gubernur BoK, mengutip Reuters. 

Dua sentimen tersebut mampu membuat pelaku pasar cenderung konservatif, masih ada keraguan. Sebab, sinyal-sinyal perlambatan ekonomi di Asia sudah semakin terasa. 

Namun masih ada sentimen positif yang menjaga bursa saham Asia tetap menghijau, yaitu hubungan AS-China yang semakin membaik. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, dirinya optimistis perundingan dagang dengan China akan membuahkan hasil. Jadwal terdekat adalah kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He ke Washington pada 30-31 Januari. 

"Saya sangat optimistis bahwa kami akan mampu menjamu beliau dengan baik dan kami akan mendapatkan hasil yang positif," katanya saat berbicara di ajang World Economic Forum di Davos (Swiss) melalui sambungan video. 

Kemesraan Washington-Beijing membuat pelaku pasar masih berani untuk masuk ke pasar keuangan Asia. Namun dengan rilis data yang kurang ciamik di Jepang dan Korea Selatan, arus modal yang masuk tidak terlalu deras. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dari Wall Street, tiga indeks utama ditutup variatif dalam rentang terbatas. Dow Jones Industrial Average (DJIA) turun 0,09%, S&P 500 menguat 0,14%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,68%. 

Faktor penopang bursa saham New York masih datang dari rilis laporan keuangan emiten. Misalnya Texas Instruments, perusahaan produsen perangkat keras elektronik, yang melaporkan pendapatan bersih melesat menjadi US$ 1,24 miliar pada kuartal IV-2018 dari US$ 344 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya. 

Laba per saham (Earnings per Share/EPS) Texas Instruments pada kuartal IV-2018 adalah US$ 1,27. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters uaitu US$ 1,24. Akibatnya, harga saham emiten ini menguat hampir 7%. 

Namun penguatan Wall Street menjadi terbatas (bahkan DJIA minus) karena berita teranyar mengenai prospek damai dagang AS-China. Meski hubungan kedua negara terus membaik, Menteri Perdagangan AS Wilbur Ross menegaskan masih sangat jauh untuk sampai ke damai dagang. 

"Banyak pekerjaan yang sudah diselesaikan, tetapi kami masih bermil-mil jauhnya dari sebuah kesepakatan. Itu tidak terlalu mengejutkan, karena perdagangan adalah isu yang sangat rumit. Namun ada peluang kami bisa mencapai kesepakatan," kata Ross dalam wawancara dengan CNBC International. 

Optimisme pelaku pasar yang sudah membumbung tinggi dipaksa harus turun ke bumi. Pernyataan Ross membuat investor menyadari bahwa sampai saat ini memang belum ada kesepakatan formal untuk mengakhiri perang dagang AS vs China, dan untuk ke arah sana masih membutuhkan dialog panjang. 

"Apa yang kita lihat sekarang adalah kinerja keuangan emiten yang kuat tetapi dibayangi oleh risiko politik. Tetap ada harapan, tetapi pernyataan Menteri Perdagangan tentunya menutupi hal-hal positif yang sudah dicapai," kata Oliver Pursche, Chief Market Strategist di Bruderman Aset Management yang berbasis di New York, mengutip Reuters. 

Kembali ke realitas yang pahit, pelaku pasar tidak lagi agresif. Ada sedikit aura bermain aman sehingga gerak Wall Street relatif terbatas. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu yang sangat mempengaruhi Wall Street yaitu suramnya mood jelang dialog dagang As-China di Washington pada 30-31 Januari mendatang. 

Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, mencoba menenangkan pasar dengan menyatakan pembicaraan dengan Liu akan membawa hasil positif. "Saya rasa dialog dengan Liu He akan masuk ke hal-hal yang menentukan," ujarnya dalam wawancara dengan Fox News, dikutip dari Reuters. 

Semoga komentar Kudlow yang menjadi acuan pelaku pasar di Asia. Sebab jika merujuk kepada Ross, maka bisa jadi pasar keuangan Asia akan senasib dengan Wall Street. ada keraguan, ada kegalauan. 

Sentimen kedua datang dari hasil rapat Bank Sentral Uni Eropa (ECB). Seperti perkiraan, Mario Draghi dan kolega mempertahankan suku bunga acuan refinancing rate di angka 0% dan deposit rate di -0,4%. Namun ada hawa negatif dari hasil rapat ini. 

"Risiko yang membayangi Eropa membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi bergerak turun. Sepertinya momentum pertumbuhan ekonomi dalam waktu dekat akan lebih lemah dari perkiraan sebelumnya. Kami akan berdiskusi lagi dan akan mengumumkan proyeksi (pertumbuhan ekonomi) baru pada rapat Maret," kata Draghi dalam konferensi pers usai rapat, mengutip Reuters. 

Soal kebijakan suku bunga, Draghi masih berpegang pada proyeksi awal yaitu dipertahankan sampai setidaknya musim panas (tengah tahun) ini. Namun dengan risiko yang menghantui perekonomian Benua Biru, pelaku pasar memperkirakan kenaikan suku bunga baru akan dieksekusi paling cepat awal tahun depan. 

"Saat pelaku pasar memperkirakan kenaikan suku bunga terjadi pada 2020, mereka menggunakan skenario cadangan dari arah kebijakan kami. Itu menunjukkan pelaku pasar memiliki pemahaman bagaimana fungsi bank sentral," tambah Draghi. 

Aura negatif dari Eropa bisa membawa pelaku pasar ke arah bermain aman. Pasalnya, perlambatan ekonomi global menjadi risiko yang semakin nyata. Ditambah risiko masih jauhnya damai dagang AS-China, investor bisa semakin ragu-ragu dan enggan bermain dengan aset di negara berkembang Asia.   


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga, investor perlu mewaspadai perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:30 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat sampai 0,45%. 

Penguatan dolar AS utamanya datang akibat pelemahan euro. Pada pukul 05:31 WIB, euro masih melemah 0,05% di hadapan greenback. Penyebabnya adalah hasil rapat ECB yang sudah disinggung sebelumnya. 

Selain itu, ada sentimen positif yang menyokong dolar AS yaitu rilis data Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur. Untuk periode Januari 2019, pembacaan awal PMI manufaktur AS versi IHS Markit berada di 54,9, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 53,8. 

Data ini menunjukkan bahwa ekonomi Negeri Paman Sam tidak jelek-jelek amat, masih ada harapan untuk tumbuh. Oleh karena itu, ada pula harapan The Federal Reserves/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini, dan itu positif bagi dolar AS. 

Apabila keperkasaan dolar AS di level global terus bertahan, maka akan menjadi alamat buruk buat mata uang Asia, termasuk rupiah. Kejadian kemarin bisa kembali terulang, di mana dolar AS menyapu bersih seluruh mata uang utama Benua Kuning kecuali rupiah. 

Sentimen keempat adalah investor patut memantau pergerakan harga minyak. Sampai kemarin, harga minyak masih terkoreksi sehingga mampu menopang penguatan rupiah. 

Namun hari ini semua bisa berubah. Pada pukul 05:39 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,07% sementara light sweet melonjak 1,06%. 

Penyebabnya adalah sanksi terbaru AS kepada Venezuela. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump tidak lagi mengakui Nicolas Maduro sebagai presiden, tetapi melihat Juan Guaido sang pemimpin oposisi sebagai kepala negara. Bahkan AS mencap pemerintahan Maduro ilegal. 

Hubungan Washington-Caracas pun menegang. Sebagai respons atas langkah AS, Maduro memutus hubungan diplomatik dengan Washington dan meminta personel kedutaan besar AS untuk meninggalkan Venezuela dalam 72 jam ke depan. AS tidak terima, karena menilai pemerintahan Maduro ilegal dan tidak punya hak. 

Ketegangan ini kemudian mempengaruhi harga minyak dunia, karena dikhawatirkan mengganggu produksi dan ekspor Venezuela. Maklum, Venezuela adalah salah satu produsen minyak terbesar dunia dengan produksi mencapai sekitar 1,4 juta barel/hari. Bahkan Venezuela menguasai cadangan minyak terbesar di dunia, mencapai 302,81 miliar barel. 

Gangguan produksi dan pengiriman minyak dari Venezuela akan mebuat pasokan di pasar global menipis. Akibatnya harga si emas hitam terkerek. 

Kenaikan harga minyak bukan berita positif buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan semakin membuat biaya impor melejit dan membebani transaksi berjalan (current acccount). Defisit transaksi berjalan terancam membengkak, dan rupiah sulit menguat.

Sepertinya harga minyak sulit diharapkan untuk menjadi juru selamat bagi rupiah hari ini.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data Pesanan Pembuatan Barang Tahan lama Amerika Serikat periode Desember 2018 (20:30 WIB).
  • Rilis data Penjualan Rumah Baru Amerika Serikat periode Desember 2018 (22:00 WIB).
  • Rilis Indeks Harga Konsumen (CPI) Kota Tokyo periode Januari (06:30 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR)RUPS Tahunan10:00
PT Verena Multi Finance Tbk (VRNA)RUPSLB10:00
PT Armidian Karyatama Tbk (ARMY)RUPSLB14:00

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (Desember 2018 YoY)3,13%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2019)6%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (Desember 2018)US$ 120,7 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular