
Newsletter
Kemarin Wall Street Bikin Gara-gara, Hari Ini Lain Ceritanya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 December 2018 06:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak melemah pada perdagangan perdana setelah libur Hari Natal. Ketidakpastian ekonomi global menjadi biang kerok lemahnya kinerja pasar keuangan domestik.
Pada perdagangan kemarin, Rabu (26/12/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,58%. Hanya bursa saham Jepang yang mampu menguat, di mana indeks Nikkei 225 naik 09,89% sedangkan bursa saham Asia lainnya juga mengakhiri hari di zona merah.
Indeks Hang Seng melemah 0,4%, Shanghai Composite minus 0,26%, KLCI (Malaysia) turun 0,67%, sementara Kospi dan Straits Times ditutup anjlok dengan koreksi yang sama yaitu 1,31%.
Nilai tukar rupiah juga melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Kemarin, rupiah menutup perdagangan dengan depresiasi 0,14%.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah, seperti rupee India (-0,04%), yen Jepang (-0,64%), won Korea Selatan (-0.03%), dolar Singapura (-0,02%), dan dolar Taiwan (-0,06%). Pelemahan rupiah menjadi yang terdalam kedua, hanya lebih baik dari yen.
Pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) tertular virus aksi jual massal alias sell-off yang terjadi di Wall Street jelang libur Hari Natal. Pada perdagangan awal pekan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,91%, S&P 500 anjlok 2,71%, dan Nasdaq terperosok 5,14%.
Hawa perlambatan ekonomi global kian terasa jelang akhir 2018. Sepertinya 2019 bukan tahun yang mudah, dan perlambatan ekonomi menjadi tren di berbagai belahan dunia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Belum lagi ada kekhawatiran mengenai penutupan sementara (shutdown) pemerintahan AS. Presiden AS Donald Trump dan Kongres belum sepakat soal anggaran tahun fiskal 2019, karena Trump masih ngotot ingin memasukkan dana pengamanan perbatasan (termasuk pembangunan tembok di di perbatasan AS-Meksiko) senilai US$ 5 miliar.
Hingga kemarin, belum ada solusi atas masalah ini. Bahkan Trump sendiri tidak tahu kapan pemerintahannya akan kembali berfungsi normal.
"Saya tidak bisa bilang kapan pemerintahan dibuka kembali. Namun saya bisa katakan, (pemerintahan) tidak akan dibuka sampai kita punya tembok atau apa pun namanya. Kalau itu tidak ada, maka kami tidak akan buka lagi," tegas Trump, mengutip Reuters.
Tingginya risiko di perekonomian dunia membuat investor resah dan gelisah. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun dilepas, dan arus modal mengarah ke instrumen yang dianggap aman.
Salah satunya adalah ke komoditas emas. Akibat tingginya permintaan, harga si logam mulia mencapai US$ 1.270,35/troy ons pada perdagangan kemarin. Ini merupakan titik tertinggi sejak Juni.
Selain emas, mata uang franc Swiss juga menjadi 'bunker' pelindung bagi pelaku pasar. Kemarin, franc menguat 1,05% di hadapan dolar AS.
Pada perdagangan kemarin, Rabu (26/12/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,58%. Hanya bursa saham Jepang yang mampu menguat, di mana indeks Nikkei 225 naik 09,89% sedangkan bursa saham Asia lainnya juga mengakhiri hari di zona merah.
Indeks Hang Seng melemah 0,4%, Shanghai Composite minus 0,26%, KLCI (Malaysia) turun 0,67%, sementara Kospi dan Straits Times ditutup anjlok dengan koreksi yang sama yaitu 1,31%.
Nilai tukar rupiah juga melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar spot. Kemarin, rupiah menutup perdagangan dengan depresiasi 0,14%.
Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Benua Kuning juga melemah, seperti rupee India (-0,04%), yen Jepang (-0,64%), won Korea Selatan (-0.03%), dolar Singapura (-0,02%), dan dolar Taiwan (-0,06%). Pelemahan rupiah menjadi yang terdalam kedua, hanya lebih baik dari yen.
Pasar keuangan Asia (termasuk Indonesia) tertular virus aksi jual massal alias sell-off yang terjadi di Wall Street jelang libur Hari Natal. Pada perdagangan awal pekan, Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 2,91%, S&P 500 anjlok 2,71%, dan Nasdaq terperosok 5,14%.
Hawa perlambatan ekonomi global kian terasa jelang akhir 2018. Sepertinya 2019 bukan tahun yang mudah, dan perlambatan ekonomi menjadi tren di berbagai belahan dunia.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019.
Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%.
Belum lagi ada kekhawatiran mengenai penutupan sementara (shutdown) pemerintahan AS. Presiden AS Donald Trump dan Kongres belum sepakat soal anggaran tahun fiskal 2019, karena Trump masih ngotot ingin memasukkan dana pengamanan perbatasan (termasuk pembangunan tembok di di perbatasan AS-Meksiko) senilai US$ 5 miliar.
Hingga kemarin, belum ada solusi atas masalah ini. Bahkan Trump sendiri tidak tahu kapan pemerintahannya akan kembali berfungsi normal.
"Saya tidak bisa bilang kapan pemerintahan dibuka kembali. Namun saya bisa katakan, (pemerintahan) tidak akan dibuka sampai kita punya tembok atau apa pun namanya. Kalau itu tidak ada, maka kami tidak akan buka lagi," tegas Trump, mengutip Reuters.
Tingginya risiko di perekonomian dunia membuat investor resah dan gelisah. Aset-aset berisiko di negara berkembang pun dilepas, dan arus modal mengarah ke instrumen yang dianggap aman.
Salah satunya adalah ke komoditas emas. Akibat tingginya permintaan, harga si logam mulia mencapai US$ 1.270,35/troy ons pada perdagangan kemarin. Ini merupakan titik tertinggi sejak Juni.
Selain emas, mata uang franc Swiss juga menjadi 'bunker' pelindung bagi pelaku pasar. Kemarin, franc menguat 1,05% di hadapan dolar AS.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Wall Street Bangkit!
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular