
Newsletter
Waspadai 'Kado' Natal dari Wall Street
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
26 December 2018 06:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pekan lalu, sebelum libur Hari Natal. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan pasar obligasi pemerintah masih mampu menguat, tetapi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah tipis.
Selama pekan lalu, rupiah menguat 0,2% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot secara point-to-point. Dalam periode yang sama, sejumlah mata uang Asia juga mencetak apresiasi melawan greenback.
Dari Asia Tenggara, ringgit Malaysia menguat 0,09%. Sementara dolar Singapura menguat 0,15%, baht Thailand menguat 0,55%, dan peso Filipina menguat 0,26%.
Kemudian dari Asia Timur, yen Jepang melesat dengan penguatan 1,9%. Sedangkan yuan China bisa dibilang stagnan karena hanya menguat 0,003%, won Korea Selatan menguat 0,32%, dan dolar Taiwan menguat 0,23%.
Lalu dari Asia Selatan, rupee India meroket dengan apresiasi 2,47%. Mata uang Negeri Bollywood sukses menjadi raja Asia.
Sementara penguatan di pasar obligasi tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Selama pekan lalu, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 8,8 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Akan tetapi, nasib IHSG tidak terlalu beruntung. Selama minggu kemarin, IHSG terkoreksi tipis 0,1%.
Meski minus, IHSG masih lebih baik ketimbang bursa saham Benua Kuning yang berguguran. Indeks Nikkei 225 amblas 6,81%, Hang Seng anjlok 1,31%, Shanghai Composite ambrol 2,99%, Kospi turun 0,38%, dan Straits Times jatuh 1,01%.
Pekan lalu, sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan global (termasuk Asia dan Indonesia) adalah pudarnya kekuatan dolar AS sebagai aset aman alias safe haven. Pertama, dolar AS sepertinya tidak akan lagi mendapat beking dari The Federal Reserve/The Fed.
Pada 20 Desember dini hari waktu Indonesia, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Memang benar suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik, tetapi kenaikan keempat selama 2018 ini sudah diperkirakan oleh pelaku pasar. Sudah masuk hitungan, sudah terkalkulasi, sudah priced-in.
Oleh karena itu, investor memilih untuk memasang mode forward looking yaitu meneropong kemungkinan kebijakan moneter AS pada 2019. Untuk akhir 2019, The Fed memasang target median suku bunga acuan di 2,8%, turun dari target sebelumnya yaitu 3,1%.
Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada 2019 tidak akan seagresif 2018 yang mencapai empat kali. Sepertinya kenaikan dua kali sudah cukup untuk membawa suku bunga acuan sesuai dengan target. Ini membuat dolar AS menjadi kurang menarik lagi.
Kedua, investor juga semakin khawatir dengan risiko resesi di AS yang terlihat dari perkembangan di pasar obligasi. Pada akhir pekan lalu, yield obligasi AS tenor 2 tahun berada di 2,681% atau berselisih 12,55 bps dengan tenor 10 tahun. Pada 19 Desember, selisih yield dua instrumen ini sempat lebih tipis lagi di 12,2 bps.
Padahal dalam kondisi normal, jarak antara keduanya begitu lebar. Misalnya pada 20 Juni, selisih yield ada di 36,6 bps. Perbandingan yield tenor 2 dan 10 tahun kerap kali menjadi indikator untuk melihat pertanda awal terjadinya resesi.
Jika yield tenor 2 tahun mempersempit jarak dengan yang 10 tahun, apalagi kalau berhasil melampaui, maka itu disebut inverted. Inverted yield merupakan tanda-tanda awal dari resesi, yang biasanya terjadi sekitar setahun sesudahnya. Sebab, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang, sehingga meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek.
Dua faktor tersebut membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ada pameo cash is king. Memegang uang tunai adalah langkah paling bijak.
Namun untuk saat ini, mata uang yang diinginkan investor adalah semuanya kecuali dolar AS. Akibatnya, mata uang Asia (termasuk rupiah) menjadi incaran sehingga nilainya menguat.
Pilihan berikutnya adalah ke pasar obligasi yang menjanjikan fluktuasi minimal. Apalagi Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kebijakan moneter 2019 tetap diarahkan kepada stabilitas.
Memang BI 7 Day Reverse Repo Rate pada bulan ini ditahan ke 6%, tetapi dengan posisi (stance) kebijakan moneter yang menekankan kepada stabilitas, maka kemungkinan kenaikan pada 2019 sangat terbuka.
Ini membuat imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapata tetap seperti obligasi, akan naik. Dilandasi pencarian cuan, investor kembali memburu obligasi pemerintah.
Sementara saham, yang berstatus sebagai investasi penuh risiko, bukan menjadi pilihan investor. Dalam situasi penuh gejolak, bermain api dengan masuk ke ke instrumen berisiko memang wajar untuk dihindari. Hasilnya jelas, IHSG cs di Asia berjatuhan.
DJIA mengalami koreksi mingguan terparah sejak Oktober 2008. Sedangkan koreksi S&P 500 menjadi yang terdalam sejak Agustus 2011, dan Nasdaq terburuk sejak November 2008.
'Kebakaran' di Wall Street masih berlanjut. Pada perdagangan awal pekan sebelum libur Hari Natal, DJIA amblas 2,91%, S&P 500 minus 2,71%, dan Nasdaq terperosok 5,14%. Wow...
Berbagai sentimen negatif memang menghantam bursa saham New York sehingga masih saja jatuh. Pertama, pemerintahan AS mengalami penutupan sementara (government shutdown) akibat anggaran tahun fiskal 2019 yang tidak mendapat persetujuan di legislatif.
Legislatif memutuskan tidak dapat memenuhi permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan anggaran US$5 miliar untuk pengamanan di wilayah perbatasan, termasuk pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Sebenarnya legislatif sudah menyetujui anggaran sementara untuk mencegah shutdown, sembari anggaran tetap dibahas lebih lanjut. Namun Trump menolak ide tersebut dan memilih tidak menandatangani anggaran sementara sehingga pemerintah AS pun resmi ditutup sebagian karena tidak adanya pagu anggaran.
Bahkan Trump menegaskan tidak tahu kapan pemerintahan akan dibuka kembali. Mengutip Reuters, eks pembawa acara reality show The Apprentice tersebut masih ngotot mempertahankan kemauannya membangun The Wall.
"Saya tidak bisa bilang kapan pemerintahan dibuka kembali. Namun saya bisa katakan, (pemerintahan) tidak akan dibuka sampai kita punya tembok atau apa pun namanya. Kalau itu tidak ada, maka kami tidak akan buka lagi," tegas Trump dalam video conference di hadapan para tentara AS yang sedang berdinas di luar negeri.
Mick Mulvaney, Kepala Staf Kepresidenan AS, mengungkapkan kemungkinan setidaknya shutdown akan bertahan hingga 3 Januari 2018. Sebab, saat itu Partai Demokrat akan resmi menjadi kelompok mayoritas di House of Representatives berdasarkan hasil pemilihan sela beberapa waktu lalu.
"Sangat mungkin shutdown akan berlanjut melewati 28 Desember dan kemudian masuk ke komposisi Kongres (Senat dan House) yang baru. Saya rasa semuanya tidak akan berjalan cepat dalam beberapa hari ke depan karena libur Hari Natal," tutur Mulvaney, mengutip Reuters.
Sentimen kedua adalah pernyataan Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, yang menyebutkan telah berbicara kepada pimpinan enam bank terbesar di Negeri Adidaya. Mnuchin mengatakan bahwa keenam bank itu masih memiliki likuiditas yang cukup dan akan terus menyalurkan kredit. Oleh karena itu, investor tidak perlu terlampau risau dengan yang namanya perlambatan apalagi resesi ekonomi.
"Saya sudah berbicara dengan dengan masing-masing CEO dari enam bank terbesar. Para CEO tersebut memberi konfirmasi bahwa mereka memiliki likuiditas yang cukup untuk penyaluran pinjaman," ungkap Mnuchin, mengutip Reuters.
Mungkin Mnuchin bermaksud baik dengan memberikan garansi bahwa geliat ekonomi ke depan akan tetap ada karena kredit perbankan tetap lancar. Namun dalam situasi yang agak chaos, langkah Mnuchin bisa menimbulkan misinterpretasi.
"Walau maksudnya mungkin baik, tetapi sulit mengatakan bahwa hasilnya positif. Sepertinya pelaku pasar malah jadi berpikir, apakah memang sedang ada masalah yang lebih besar yang tidak kami ketahui?" kata JJ Kinahan, Chief Market Strategist di TD Ameritrade yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Sentimen ketiga yang memperkeruh situasi adalah serangan Trump kepada The Fed. Pernyataan mahapenting ini lagi-lagi disampaikan melalui cuitan di Twitter.
"Satu-satunya masalah dalam ekonomi kita adalah The Fed. Mereka tidak merasakan (keinginan) pasar, mereka tidak mengerti pentingnya perang dagang atau begitu kuatnya dolar AS atau shutdown karena perbatasan. The Fed seperti pemain golf yang kuat tetapi tidak bisa mencetak angka, sebab dia tidak punya sentuhan!" cuit akun @realDonaldTrump.
Kadar ancaman Trump kali ini meningkat. Berdasarkan keterangan dari dua orang sumber, suami Melania Trump ini dikabarkan sudah berdiskusi mengenai cara melengserkan Powell dari kursi The Fed-1.
Namun, mengutip Reuters, kedua sumber tersebut tidak yakin Trump bisa melakukannya karena independensi bank sentral. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
"Saya rasa tidak (bisa memecat Powell). Ini adalah mandat selama 4 tahun," ujar Powell, mengutip Washington Post.
Friksi Trump vs The Fed yang terus bergulir, apalagi sampai ke ranah pemecatan, tentu membuat pelaku pasar khawatir. Situasi yang sedang rumit bertambah runyam gara-gara konflik ini.
Ketiga sentimen tersebut sukses merontokkan Wall Street. Dikhawatirkan dampaknya akan sampai ke Asia pagi ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dampak 'kebakaran' di Wall Street yang masih berkobar.
Bisa jadi jilatan 'api' dari Wall Street melebar ke Asia, termasuk Indonesia. Jika terjadi, maka bukan kado Natal yang diterima IHSG cs tetapi malapetaka.
Sentimen kedua adalah harga minyak dunia yang kembali anjlok. Pada pukul 02:43 WIB, harga minyak jenis brent amblas 6,07% dan light sweet ambrol 6,97%.
Hantu perlambatan ekonomi masih menjadi momok bagi si emas hitam. Tidak hanya di AS, perekonomian global pada 2019 diperkirakan melandai.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,5%. Melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,7%.
Perlambatan ekonomi berarti permintaan energi akan ikut berkurang. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Koreksi harga minyak bisa berdampak buruk bagi IHSG. Saham-saham energi dan pertambangan menjadi kehilangan pesona dan kemudian membebani IHSG secara keseluruhan.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita gembira. Sebab, penurunan harga minyak akan ikut menurunkan biaya impor minyak, penyebab utama defisit transaksi berjalan (current account).
Impor minyak adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal III-2018, neraca minyak mencatat defisit US$5,12 miliar. Sumbangsihnya sangat terasa bagi defisit transaksi berjalan yang sebesar US$8,85 miliar.
Jika harga minyak turun, maka beban impor minyak akan berkurang. Defisit transaksi berjalan akan lebih sedikit, dan tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Namun rupiah akan mendapat tantangan dari sentimen ketiga, yaitu penguatan dolar AS. Pada pukul 03:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat lumayan meyakinkan di 0,35%.
Sepertinya penguatan dolar AS ini lebih karena technical rebound karena mata uang ini sudah tertekan cukup lama. Sejak awal Desember, Dollar Index terkoreksi 0,39% dan dalam sepekan terakhir masih minus 0,24%.
Jika penguatan ini bisa bertahan cukup lama, maka rupiah akan mendapatkan hadangan yang berat untuk menguat hari ini. Namun dalam jangka menengah-panjang, sebenarnya dolar AS masih berpotensi melemah.
Pembacaan akhir data pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2018 menunjukkan angka 3,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih lambat dibandingkan pembacaan sebelumnya yaitu 3,5%.
Lebih lanjut, pendapatan masyarakat AS tercatat hanya tumbuh 0,2% month-to-month (MtM) pada November, di bawah ekspektasi yaitu tumbuh 0,3% MtM. Kemudian, pemesanan barang modal inti (mengeluarkan komponen pesawat terbang dan keperluan militer) turun 0,6% MtM pada November, performa negatif ketiga dalam 4 bulan terakhir.
Artinya, sinyal perlambatan ekonomi AS semakin ada dan tampak nyata. Oleh karena itu, alasan The Fed untuk menurunkan laju kenaikan suku bunga menjadi semakin kuat. Ini akan membuat dolar AS menjadi kurang atraktif dibandingkan tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Selama pekan lalu, rupiah menguat 0,2% terhadap dolar AS di perdagangan pasar spot secara point-to-point. Dalam periode yang sama, sejumlah mata uang Asia juga mencetak apresiasi melawan greenback.
Dari Asia Tenggara, ringgit Malaysia menguat 0,09%. Sementara dolar Singapura menguat 0,15%, baht Thailand menguat 0,55%, dan peso Filipina menguat 0,26%.
Kemudian dari Asia Timur, yen Jepang melesat dengan penguatan 1,9%. Sedangkan yuan China bisa dibilang stagnan karena hanya menguat 0,003%, won Korea Selatan menguat 0,32%, dan dolar Taiwan menguat 0,23%.
Lalu dari Asia Selatan, rupee India meroket dengan apresiasi 2,47%. Mata uang Negeri Bollywood sukses menjadi raja Asia.
Sementara penguatan di pasar obligasi tercermin dari penurunan imbal hasil (yield). Selama pekan lalu, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 8,8 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga instrumen ini sedang naik akibat tingginya permintaan.
Akan tetapi, nasib IHSG tidak terlalu beruntung. Selama minggu kemarin, IHSG terkoreksi tipis 0,1%.
Meski minus, IHSG masih lebih baik ketimbang bursa saham Benua Kuning yang berguguran. Indeks Nikkei 225 amblas 6,81%, Hang Seng anjlok 1,31%, Shanghai Composite ambrol 2,99%, Kospi turun 0,38%, dan Straits Times jatuh 1,01%.
Pekan lalu, sentimen utama yang mewarnai pasar keuangan global (termasuk Asia dan Indonesia) adalah pudarnya kekuatan dolar AS sebagai aset aman alias safe haven. Pertama, dolar AS sepertinya tidak akan lagi mendapat beking dari The Federal Reserve/The Fed.
Pada 20 Desember dini hari waktu Indonesia, Jerome 'Jay' Powell dan kolega memutuskan untuk menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% atau median 2,375%. Memang benar suku bunga acuan Negeri Paman Sam naik, tetapi kenaikan keempat selama 2018 ini sudah diperkirakan oleh pelaku pasar. Sudah masuk hitungan, sudah terkalkulasi, sudah priced-in.
Oleh karena itu, investor memilih untuk memasang mode forward looking yaitu meneropong kemungkinan kebijakan moneter AS pada 2019. Untuk akhir 2019, The Fed memasang target median suku bunga acuan di 2,8%, turun dari target sebelumnya yaitu 3,1%.
Artinya, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan pada 2019 tidak akan seagresif 2018 yang mencapai empat kali. Sepertinya kenaikan dua kali sudah cukup untuk membawa suku bunga acuan sesuai dengan target. Ini membuat dolar AS menjadi kurang menarik lagi.
Kedua, investor juga semakin khawatir dengan risiko resesi di AS yang terlihat dari perkembangan di pasar obligasi. Pada akhir pekan lalu, yield obligasi AS tenor 2 tahun berada di 2,681% atau berselisih 12,55 bps dengan tenor 10 tahun. Pada 19 Desember, selisih yield dua instrumen ini sempat lebih tipis lagi di 12,2 bps.
Padahal dalam kondisi normal, jarak antara keduanya begitu lebar. Misalnya pada 20 Juni, selisih yield ada di 36,6 bps. Perbandingan yield tenor 2 dan 10 tahun kerap kali menjadi indikator untuk melihat pertanda awal terjadinya resesi.
Jika yield tenor 2 tahun mempersempit jarak dengan yang 10 tahun, apalagi kalau berhasil melampaui, maka itu disebut inverted. Inverted yield merupakan tanda-tanda awal dari resesi, yang biasanya terjadi sekitar setahun sesudahnya. Sebab, investor melihat risiko jangka pendek lebih besar ketimbang jangka panjang, sehingga meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk tenor jangka pendek.
Dua faktor tersebut membuat pelaku pasar memilih bermain aman. Dalam situasi penuh ketidakpastian, ada pameo cash is king. Memegang uang tunai adalah langkah paling bijak.
Namun untuk saat ini, mata uang yang diinginkan investor adalah semuanya kecuali dolar AS. Akibatnya, mata uang Asia (termasuk rupiah) menjadi incaran sehingga nilainya menguat.
Pilihan berikutnya adalah ke pasar obligasi yang menjanjikan fluktuasi minimal. Apalagi Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa kebijakan moneter 2019 tetap diarahkan kepada stabilitas.
Memang BI 7 Day Reverse Repo Rate pada bulan ini ditahan ke 6%, tetapi dengan posisi (stance) kebijakan moneter yang menekankan kepada stabilitas, maka kemungkinan kenaikan pada 2019 sangat terbuka.
Ini membuat imbalan investasi di Indonesia, khususnya di instrumen berpendapata tetap seperti obligasi, akan naik. Dilandasi pencarian cuan, investor kembali memburu obligasi pemerintah.
Sementara saham, yang berstatus sebagai investasi penuh risiko, bukan menjadi pilihan investor. Dalam situasi penuh gejolak, bermain api dengan masuk ke ke instrumen berisiko memang wajar untuk dihindari. Hasilnya jelas, IHSG cs di Asia berjatuhan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Bursa saham Asia tidak sendirian, karena Wall Street juga mengalami koreksi yang sangat dalam. Sepanjang pekan lalu, Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh 6,87%, S&P 500 ambrol 7,05%, dan Nasdaq Composite hancur 8,36%. DJIA mengalami koreksi mingguan terparah sejak Oktober 2008. Sedangkan koreksi S&P 500 menjadi yang terdalam sejak Agustus 2011, dan Nasdaq terburuk sejak November 2008.
'Kebakaran' di Wall Street masih berlanjut. Pada perdagangan awal pekan sebelum libur Hari Natal, DJIA amblas 2,91%, S&P 500 minus 2,71%, dan Nasdaq terperosok 5,14%. Wow...
Berbagai sentimen negatif memang menghantam bursa saham New York sehingga masih saja jatuh. Pertama, pemerintahan AS mengalami penutupan sementara (government shutdown) akibat anggaran tahun fiskal 2019 yang tidak mendapat persetujuan di legislatif.
Legislatif memutuskan tidak dapat memenuhi permintaan Presiden AS Donald Trump yang menginginkan anggaran US$5 miliar untuk pengamanan di wilayah perbatasan, termasuk pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko.
Sebenarnya legislatif sudah menyetujui anggaran sementara untuk mencegah shutdown, sembari anggaran tetap dibahas lebih lanjut. Namun Trump menolak ide tersebut dan memilih tidak menandatangani anggaran sementara sehingga pemerintah AS pun resmi ditutup sebagian karena tidak adanya pagu anggaran.
Bahkan Trump menegaskan tidak tahu kapan pemerintahan akan dibuka kembali. Mengutip Reuters, eks pembawa acara reality show The Apprentice tersebut masih ngotot mempertahankan kemauannya membangun The Wall.
"Saya tidak bisa bilang kapan pemerintahan dibuka kembali. Namun saya bisa katakan, (pemerintahan) tidak akan dibuka sampai kita punya tembok atau apa pun namanya. Kalau itu tidak ada, maka kami tidak akan buka lagi," tegas Trump dalam video conference di hadapan para tentara AS yang sedang berdinas di luar negeri.
Mick Mulvaney, Kepala Staf Kepresidenan AS, mengungkapkan kemungkinan setidaknya shutdown akan bertahan hingga 3 Januari 2018. Sebab, saat itu Partai Demokrat akan resmi menjadi kelompok mayoritas di House of Representatives berdasarkan hasil pemilihan sela beberapa waktu lalu.
"Sangat mungkin shutdown akan berlanjut melewati 28 Desember dan kemudian masuk ke komposisi Kongres (Senat dan House) yang baru. Saya rasa semuanya tidak akan berjalan cepat dalam beberapa hari ke depan karena libur Hari Natal," tutur Mulvaney, mengutip Reuters.
Sentimen kedua adalah pernyataan Steven Mnuchin, Menteri Keuangan AS, yang menyebutkan telah berbicara kepada pimpinan enam bank terbesar di Negeri Adidaya. Mnuchin mengatakan bahwa keenam bank itu masih memiliki likuiditas yang cukup dan akan terus menyalurkan kredit. Oleh karena itu, investor tidak perlu terlampau risau dengan yang namanya perlambatan apalagi resesi ekonomi.
"Saya sudah berbicara dengan dengan masing-masing CEO dari enam bank terbesar. Para CEO tersebut memberi konfirmasi bahwa mereka memiliki likuiditas yang cukup untuk penyaluran pinjaman," ungkap Mnuchin, mengutip Reuters.
Mungkin Mnuchin bermaksud baik dengan memberikan garansi bahwa geliat ekonomi ke depan akan tetap ada karena kredit perbankan tetap lancar. Namun dalam situasi yang agak chaos, langkah Mnuchin bisa menimbulkan misinterpretasi.
"Walau maksudnya mungkin baik, tetapi sulit mengatakan bahwa hasilnya positif. Sepertinya pelaku pasar malah jadi berpikir, apakah memang sedang ada masalah yang lebih besar yang tidak kami ketahui?" kata JJ Kinahan, Chief Market Strategist di TD Ameritrade yang berbasis di Chicago, mengutip Reuters.
Sentimen ketiga yang memperkeruh situasi adalah serangan Trump kepada The Fed. Pernyataan mahapenting ini lagi-lagi disampaikan melalui cuitan di Twitter.
"Satu-satunya masalah dalam ekonomi kita adalah The Fed. Mereka tidak merasakan (keinginan) pasar, mereka tidak mengerti pentingnya perang dagang atau begitu kuatnya dolar AS atau shutdown karena perbatasan. The Fed seperti pemain golf yang kuat tetapi tidak bisa mencetak angka, sebab dia tidak punya sentuhan!" cuit akun @realDonaldTrump.
Kadar ancaman Trump kali ini meningkat. Berdasarkan keterangan dari dua orang sumber, suami Melania Trump ini dikabarkan sudah berdiskusi mengenai cara melengserkan Powell dari kursi The Fed-1.
Namun, mengutip Reuters, kedua sumber tersebut tidak yakin Trump bisa melakukannya karena independensi bank sentral. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih.
"Saya rasa tidak (bisa memecat Powell). Ini adalah mandat selama 4 tahun," ujar Powell, mengutip Washington Post.
Friksi Trump vs The Fed yang terus bergulir, apalagi sampai ke ranah pemecatan, tentu membuat pelaku pasar khawatir. Situasi yang sedang rumit bertambah runyam gara-gara konflik ini.
Ketiga sentimen tersebut sukses merontokkan Wall Street. Dikhawatirkan dampaknya akan sampai ke Asia pagi ini...
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu dampak 'kebakaran' di Wall Street yang masih berkobar.
Bisa jadi jilatan 'api' dari Wall Street melebar ke Asia, termasuk Indonesia. Jika terjadi, maka bukan kado Natal yang diterima IHSG cs tetapi malapetaka.
Sentimen kedua adalah harga minyak dunia yang kembali anjlok. Pada pukul 02:43 WIB, harga minyak jenis brent amblas 6,07% dan light sweet ambrol 6,97%.
Hantu perlambatan ekonomi masih menjadi momok bagi si emas hitam. Tidak hanya di AS, perekonomian global pada 2019 diperkirakan melandai.
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,5%. Melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,7%.
Perlambatan ekonomi berarti permintaan energi akan ikut berkurang. Akibatnya, harga minyak pun bergerak turun, dan mungkin bertahan dalam waktu yang tidak sebentar.
Koreksi harga minyak bisa berdampak buruk bagi IHSG. Saham-saham energi dan pertambangan menjadi kehilangan pesona dan kemudian membebani IHSG secara keseluruhan.
Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita gembira. Sebab, penurunan harga minyak akan ikut menurunkan biaya impor minyak, penyebab utama defisit transaksi berjalan (current account).
Impor minyak adalah biang kerok dari defisit transaksi berjalan. Pada kuartal III-2018, neraca minyak mencatat defisit US$5,12 miliar. Sumbangsihnya sangat terasa bagi defisit transaksi berjalan yang sebesar US$8,85 miliar.
Jika harga minyak turun, maka beban impor minyak akan berkurang. Defisit transaksi berjalan akan lebih sedikit, dan tentu menjadi sentimen positif bagi rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Namun rupiah akan mendapat tantangan dari sentimen ketiga, yaitu penguatan dolar AS. Pada pukul 03:02 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat lumayan meyakinkan di 0,35%.
Sepertinya penguatan dolar AS ini lebih karena technical rebound karena mata uang ini sudah tertekan cukup lama. Sejak awal Desember, Dollar Index terkoreksi 0,39% dan dalam sepekan terakhir masih minus 0,24%.
Jika penguatan ini bisa bertahan cukup lama, maka rupiah akan mendapatkan hadangan yang berat untuk menguat hari ini. Namun dalam jangka menengah-panjang, sebenarnya dolar AS masih berpotensi melemah.
Pembacaan akhir data pertumbuhan ekonomi AS kuartal III-2018 menunjukkan angka 3,4% secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized). Lebih lambat dibandingkan pembacaan sebelumnya yaitu 3,5%.
Lebih lanjut, pendapatan masyarakat AS tercatat hanya tumbuh 0,2% month-to-month (MtM) pada November, di bawah ekspektasi yaitu tumbuh 0,3% MtM. Kemudian, pemesanan barang modal inti (mengeluarkan komponen pesawat terbang dan keperluan militer) turun 0,6% MtM pada November, performa negatif ketiga dalam 4 bulan terakhir.
Artinya, sinyal perlambatan ekonomi AS semakin ada dan tampak nyata. Oleh karena itu, alasan The Fed untuk menurunkan laju kenaikan suku bunga menjadi semakin kuat. Ini akan membuat dolar AS menjadi kurang atraktif dibandingkan tahun ini.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis notulensi rapat (minutes of meeting) Bank Sentral Jepang edisi Desember (06:50 WIB).
- Rilis data indeks manufaktur AS versi The Fed Richmond AS periode Desember (10.00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda korporasi yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu (WIB) |
PT Phapros Tbk (PEHA) | IPO | 09:00 |
PT Merck Sharp Dohme Pharma Tbk (SCPI) | RUPSLB | 10:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (November 2018 YoY) | 3,23% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Desember 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (November 2018) | US$ 117,21 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Ekonomi AS Tumbuh Perkasa, Pesta Pasar Keuangan RI Bisa Berlanjut
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular