Newsletter

Awas Terpeleset Minyak!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 December 2018 05:24
Awas Terpeleset Minyak!
Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia lagi-lagi bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi, tetapi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru menguat. 

Kemarin, IHSG ditutup melemah 0,12%. IHSG terus melemah sepanjang hari, tidak pernah menyentuh zona hijau. 

Namun positifnya, koreksi IHSG sangat terbatas kala penutupan perdagangan Sesi II. IHSG berhasil menipiskan pelemahan yang sempat menyentuh kisaran 1% menjadi hanya terkoreksi tipis. 


Nasib IHSG jauh lebih baik ketimbang indeks saham utama Asia yang jatuh cukup parah. Indeks Nikkei 225 anjlok 1,82%, Hang Seng amblas 1,05%, Shanghai Composite melemah 0,82%, Kospi minus 0,44%, dan Straits Times ambrol 2,21%. 

Sementara rupiah mengakhiri perdagangan pasar spot dengan penguatan 0,51% di hadapan dolar AS. Berlawanan dengan IHSG, rupiah konsisten berada di jalur hijau sepanjang hari. Penguatan rupiah bahkan terus bertambah sejak pembukaan pasar. 


Sentimen yang beredar kemarin memang agak mixed. Namun ada awan mendung yang menggelayuti pasar keuangan Benua Kuning.

Pasar keuangan Asia terbeban karena sebelumnya Wall Street ditutup amblas di kisaran 2%.
 Ada kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi global semakin ada dan tampak nyata.


Pembacaan awal untuk data PMI manufaktur zona Eropa versi Markit periode Desember diumumkan sebesar 51,4. Lebih rendah dari konsensus yang sebesar 51,9. 

Kemudian, akhir pekan lalu Biro Statistik Nasional China mengumumkan produksi industri hanya tumbuh 5,4% year-on-year (YoY) pada November, yang merupakan laju terlambat dalam hampir 3 tahun terakhir. Pertumbuhan bulan lalu juga lebih lambat daripada konsensus Reuters sebesar 5,9%. 

Penjualan ritel di China juga 'hanya' naik 8,1% YoY pada November, lebih lambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 8,6% sekaligus masih di bawah ekspektasi pasar sebesar 8,8%. Secara historis, capaian itu juga menjadi yang terlambat sejak Mei 2003. 

Persepsi perlambatan ekonomi global memicu aksi jual massal (sell off) di Wall Street, dan berlanjut ke bursa saham Asia. Dalam situasi yang tidak menentu, investor sebisa mungkin melepas aset-aset berisiko seperti saham. 

Lalu ke mana arus investasi mengalir? Ingat, ada pepatah bahwa dalam kondisi yang tidak pasti, uang adalah raja. Cash is King. Memegang uang tunai mungkin jauh lebih aman ketimbang mengoleksi saham. 


Namun uniknya, mata uang yang digemari pelaku pasar bukan lagi dolar AS. Sebab sepertinya The Federal Reserve/The Fed tidak akan terlalu agresif pada 2019, tidak seperti tahun ini yang kemungkinan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. 

Ada keumungkinan perekonomian AS melambat pada 2019. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi AS tumbuh 2,9% tahun ini dan melambat menjadi 2,5% tahun depan.  

Oleh karena itu, sebenarnya tujuan pengetatan moneter sudah tercapai yaitu mengerem laju ekonomi untuk menghindari overheating. Kebutuhan untuk menaikkan suku bunga acuan secara agresif sudah semakin mengecil.  

Akibatnya,  dolar AS akan kurang menarik untuk dikoleksi dalam jangka menengah-panjang. Sentimen ini ampuh untuk membuat mata uang Asia, termasuk rupiah, mampu ramai-ramai menguat di hadapan dolar AS.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Setelah kemarin terjatuh, Wall Street mencoba bangkit hari ini meski belum mampu berdiri tegak. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,35%, S&P 500 menguat 0,21%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,45%. 

Awalnya, pelaku pasar di bursa saham New York sempat panik mendengar kabar pemerintahan AS terancam tutup untuk sementara (government partial shutdown). Pemimpin Mayoritas di Senat AS Mitch McConnell menyatakan Partai Demokrat telah menolak usulan anggaran negara sehingga pemerintah berpotensi tidak beroperasi. 

Mengutip Reuters, McConnell akan berkonsultasi dengan Gedung Putih untuk menentukan langkah selanjutnya. Roy Blunt, Senator asal Missouri dari Partai Republik, menyatakan solusi yang bisa ditempuh untuk menghindari shutdown adalah pembentukan anggaran sementara yang sifatnya jangka pendek. 

Chuck Schumer, Pimpinan Partai Demokrat di Senat AS, menegaskan pihak keberatan dengan anggaran US$ 1 miliar yang diusulkan Presiden Donald Trump untuk kebijakan imigrasi dan perbatasan. Schumer menyatakan anggaran tersebut tidak akan lolos di Senat maupun House of Representatives. 

Namun Schumer sepakat dengan ide Blunt. Partai Demokrat akan mempertimbangkan dengan serius jika pemerintah datang dengan usulan anggaran sementara. 

Gaduh politik anggaran AS ini membuat pelaku pasar cemas, karena risiko shutdown tentu tidak bisa dikesampingkan. Akibatnya, Wall Street sempat mengalami tekanan yang cukup berat. 


Tekanan di Wall Street semakin berat karena koreksi harga minyak yang semakin parah. Pada pukul 04:14 WIB, harga minyak jenis brent anjlok 5,57% dan light sweet ambrol 7,34%. 

Saham-saham energi pun berguguran, Exxon Mobil jatuh 2,75% dan Chevron amblas 2,39%. Indeks sektor energi di DJIA anjlok 2,62%, terdalam di antara sektor lainnya. 


Akan tetapi, Wall Street bangkit jelang akhir perdagangan. Penyebabnya adalah kebangkitan sejumlah saham unggulan yang mendongkrak Wall Street secara keseluruhan.

Saham Goldman Sachs melesat 2,08% setelah melemah 9 hari beruntun karena terseret kasus megakorupsi 1MDB. Pemerintah Malaysia resmi mengajukan tuntutan hukum terhadap Goldmans Sachs karena dinilai terliat dalam kasus yang menjerat mantan Perdana Menteri Najib Razak tersebut. 


Kemudian saham Boeing 'terbang' 3,77% setelah 3 hari terkoreksi. Saham Johnson & Johnson juga menguat 0,99% setelah sempat terkoreksi sampai 13% dalam 2 hari karena ditengarai ada kandungan asbestos dalam produk bedak bayi keluaran perusahaan ini. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kabar dari Wall Street. Keberhasilan Wall Street finis di jalur hijau bisa menjadi pelecut semangat bursa saham Asia untuk mencapai hal serupa. 

Sentimen kedua yang perlu diperhatikan adalah harga minyak. Kali ini sepertinya koreksi harga minyak sudah semakin serius karena anjlok sampai 7%. 

Persepsi kelebihan pasokan (oversupply) menjadi hantu bagi si emas hitam. Mengutip Reuters, produksi minyak di Rusia menembus rekor baru di 11,42 juta barel/hari. Sementara total produksi minyak AS tahun ini diperkirakan mencapai 11,7 juta barel/hari, nomor 1 di dunia mengalahkan Rusia dan Arab Saudi. 

Melimpahnya produksi minyak terjadi kala ekonomi global melambat. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini di kisaran 3,7%, dan tahun depan melambat menjadi 3,5%. 

Sedangkan ekonomi AS tahun ini diramal tumbuh 2,9% sebelum melambat ke 2,7% tahun depan. Kemudian pertumbuhan ekonomi Uni Eropa pada 2018 diperkirakan sebesar 1,9% dan melambat ke 1,8% pada 2019. 

Lalu ekonomi China tahun ini diproyeksikan tumbuh 6,6% sebelum melambat ke 6,3% tahun depan. Sementara ekonomi Indonesia tahun depan diperkirakan stagnan, sama dengan tahun ini yaitu tumbuh 5,2%. 

Artinya, aktivitas ekonomi akan kurang bergairah sehingga permintaan energi terbatas. Padahal produksi sedang tinggi-tingginya, sehingga yang terjadi adalah oversupply yang membuat harga turun signifikan. 

Bagi IHSG, koreksi harga minyak bisa menjadi sentimen negatif. Seperti di Wall Street, saham-saham energi dan pertambangan akan tertekan karena kurang mendapat apresiasi dari pelaku pasar. IHSG bisa terpeleset gara-gara minyak.

Namun bagi rupiah, penurunan harga minyak adalah berita bahagia. Patut diingat bahwa impor minyak adalah kontributor signifikan dari defisit neraca perdagangan dan transaksi berjalan.  


Jika harga minyak turun, maka nilai impor minyak bisa berkurang dan sangat membantu meringankan derita di neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Rupiah pun akan punya lebih banyak ruang untuk menguat, karena berkurangnya devisa yang 'terbuang' untuk impor minyak. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 4)


Sentimen ketiga, yang juga akan menguntungkan rupiah, adalah perkembangan nilai tukar dolar AS yang masih melemah. Pada pukul 04:41 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,07%. 

Seperti kemarin, investor masih menantikan rapat The Fed yang semakin dekat. Akan tetapi, sepertinya semakin dekat ke pelaksanaan rapat yang ada malah kemungkinan kenaikan suku bunga jadi semakin tipis. 

Mengutip CME Fedwatch, kini probabilitas Jerome 'Jay' Powell dan sejawat menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2,25-2,5% adalah 68,9%. Kemarin, posisinya masih di 72,3% dan sepekan lalu ada di 75,8%. 

Proyeksi perlambatan ekonomi AS dan dunia membuat pelaku pasar mulai mengubah taruhannya. Kemungkinan The Fed menahan suku bunga kini menjadi semakin besar. Ada peluang The Fed sudah mulai dovish pada bulan ini, lebih awal dari perkiraan sebelumnya yaitu tahun depan. 


Dampaknya, dolar AS masih akan dijauhi oleh pelaku pasar. Apalagi dolar AS juga kehilangan kemolekannya karena imbal hasil (yield) obligasi AS yang semakin menurun. Pada pukul 04:52 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun 3,6 bps. 

Yield di pasar sekunder akan menjadi patokan dalam penentuan kupon di lelang pasar perdana. Ketika yield turun, maka kupon tentu menjadi rendah dan kurang menarik. Pasar obligasi AS yang kurang atraktif ini membuat permintaan terhadap greenback ikut turun sehingga nilainya melemah. 

Rupiah bisa memanfaatkan situasi ini dengan kembali mencatat penguatan. Jika rupiah kembali menguat hari ini, maka akan menjadi apresiasi selama 3 hari beruntun. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 5)


Berikut sejumlah agenda untuk hari ini: 
  • Rilis data perdagangan internasional Jepang (06:50 WIB).
  • Rilis data inflasi Inggris (16:30 WIB).
  • Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas kebijakan pangan (17:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda korporasi sebagai berikut: 

PerusahaanAgendaPukul (WIB)
PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX)RUPSLB09:00
PT Multi Prima Sejahtera Tbk (LPIN)RUPST09:00
PT Zebra Nusantara Tbk (ZBRA)RUPSLB09:30
PT Siantar Top Tbk (STTP)RUPSLB10:00
PT Onix Capital Tbk (OCAP)RUPST10:00
PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA)RUPSLB14:00
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY)5,17%
Inflasi (November 2018 YoY)3,23%
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018)6%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2,19% PDB
Transaksi berjalan (Q III-2018)-3,37% PDB
Neraca pembayaran (Q III-2018)-US$ 4,39 miliar
Cadangan devisa (November 2018)US$ 117,21 miliar
 
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Geopolitik Panaskan Global, Persepsi Konsumen Jadi Harapan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular