
Newsletter
Dalam Situasi yang Tidak Pasti, Cash is King
Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 December 2018 04:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih mampu perkasa, tetapi harga obligasi pemerintah mampu menguat dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) justru melemah.
Sepanjang pekan kemarin, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membanggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point.
Sentimen global pekan lalu bisa dibilang seimbang, ada positif dan negatif. Berita baiknya adalah China dan AS semakin mesra setelah pembicaraan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan ini. Keduanya sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama 90 hari, tidak ada kenaikan atau pengenaan bea masuk baru.
China dikabarkan sudah mulai mengimpor kedelai dari AS. Negeri Tirai Bambu juga akan mengurangi tarif bea masuk impor mobil made in USA dari 40% menjadi 15%.
Washington tersentuh atas komitmen Beijing. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Trump bisa saja memperpanjang masa gencatan senjata.
"Proses dialog dengan China sangat menjanjikan. Bapak Presiden mengindikasikan bahwa ada perkembangan yang baik, positif, dan aksi konkret. Beliau mungkin saja, mungkin, berkenan untuk memperpanjang (masa gencatan senjata). Kita lihat saja," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Namun di sisi lain, ada dua berita buruk. Pertama adalah sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Kedua, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
Investor di bursa saham New York tidak hanya mencemaskan soal potensi resesi di AS, tetapi juga risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul.
Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003.
Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY.
Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014.
Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Fundamental ekonomi AS yang solid tertutup oleh risiko perlambatan ekonomi global. Dampaknya terasa hingga ke Wall Street," kata Phil Blancato, Chief Executive di Ladenburg Thalman Asset Management yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS.
Selama sepekan kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96% secara point-to-pont. Dollar Index pun menyentuh angka 97.443, tertinggi sejak 12 November. Dolar AS kembali menjadi darling-nya investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah koreksi yang lumayan dalam di Wall Street akhir pekan lalu. Dikhawatirkan dampak kejatuhan Wall Street masih terasa dan membuat investor di pasar keuangan Asia ketar-ketir.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat seiring tingginya risiko perekonomian global. Potensi resesi di AS serta perlambatan ekonomi di China dan Eropa membuat investor lebih memilih bermain aman ketimbang uang mereka 'hangus'.
Pilihan paling masuk akal adalah mengoleksi uang tunai. Dalam kondisi penuh gejolak dan ketidakpastian, cash is king. Tidak ada yang lebih menjanjikan keamanan dari uang tunai.
Uang mana yang jadi pilihan utama investor? Sudah pasti dolar AS. Sebab selain aman, greenback juga menjanjikan cuan yang menarik.
Pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia, The Federal Reserve/The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan. Berdasarkan CME Fedwatch, probabilitas Jerome 'Jay' Powell dan rekan menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% adalah 76,6%. Naik dibandingkan posisi seminggu sebelumnya yaitu 72,3%.
Kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi di Negeri Adidaya. Ini tentu menguntungkan buat dolar AS, karena nilainya relatif terlindungi dari ancaman inflasi.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga akan ikut mengerek imbalan investasi di AS utamanya di instrumen berpendapatan tetap. Saat permintaan terhadap instrumen ini naik, maka permintaan dolar AS tentu otomatis akan terdongkrak. Saat permintaan terhadap mata uang naik, nilainya akan menguat.
Oleh karena itu, rupiah patut waspada. Bila preferensi investor masih mengarah ke dolar AS, maka rupiah harus siap menerima pelemahan seperti pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah hubungan AS-China yang semakin mengarah ke damai dagang. Akhir pekan lalu, Kementerian Perdagangan China memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk untuk impor produk otomotif dan suku cadang dari AS.
Saat ini tarif bea masuk yang diterapkan China untuk mobil dan suku cadang asal AS adalah 15%. Sedianya China akan menambah tarif bea masuk menjadi 40% pada 1 Januari. Namun keputusan ini ditunda, seiring gencatan senjata yang disepakati Trump dan Xi.
"China ingin membuat kesepakatan yang komprehensif. Itu bisa terjadi, dan mungkin segera!" cuit Trump di Twitter.
Perdamaian AS-China adalah sesuatu yang sudah lama dinantikan oleh pelaku pasar. Saat keduanya terlibat perang dagang, perekonomian dunia akan terluka karena AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di planet ini.
Ketika AS-China mesra, maka dunia akan ikut merasakannya. Arus perdagangan, rantai pasok, dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih menggeliat. Ini tentu menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) periode November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Jadi sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Mayday, Mayday! Hantu Resesi AS Buat IHSG Kritis: Ada Peluang Rebound?
Sepanjang pekan kemarin, IHSG menguat 0,71% secara point-to-point. Sementara bursa saham utama Asia bergerak variatif di mana indeks Nikkei 225 menguat 0,24%, Hang Seng bertambah 0,12%, Shanghai Composite minus 0,47%, Kospi berkurang 0,31%, Straits Times anjlok 1,09%, dan KLCI (Malaysia) amblas 1,1%.
Oleh karena itu, IHSG bisa dibilang menjadi yang terbaik di Asia pada pekan lalu. Performa yang cukup membanggakan.
Sementara imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik tipis 2,3 basis poin (bps). Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang terkoreksi karena sepinya permintaan atau malah terjadi tekanan jual.
Seperti harga obligasi, rupiah juga mengalami koreksi. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,79% terhadap dolar AS secara point-to-point.
Sentimen global pekan lalu bisa dibilang seimbang, ada positif dan negatif. Berita baiknya adalah China dan AS semakin mesra setelah pembicaraan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di Argentina awal bulan ini. Keduanya sepakat untuk mengadakan gencatan senjata selama 90 hari, tidak ada kenaikan atau pengenaan bea masuk baru.
China dikabarkan sudah mulai mengimpor kedelai dari AS. Negeri Tirai Bambu juga akan mengurangi tarif bea masuk impor mobil made in USA dari 40% menjadi 15%.
Washington tersentuh atas komitmen Beijing. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Trump bisa saja memperpanjang masa gencatan senjata.
"Proses dialog dengan China sangat menjanjikan. Bapak Presiden mengindikasikan bahwa ada perkembangan yang baik, positif, dan aksi konkret. Beliau mungkin saja, mungkin, berkenan untuk memperpanjang (masa gencatan senjata). Kita lihat saja," ungkap Kudlow, mengutip Reuters.
Namun di sisi lain, ada dua berita buruk. Pertama adalah sepertinya pelaku pasar menilai risiko resesi di perekonomian AS semakin nyata. Risiko ini terlihat di pasar obligasi pemerintah Negeri Paman Sam.
Akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7372%. Lebih tinggi ketimbang tenor 3 tahun yang sebesar 2,7262% dan 5 tahun yaitu 2,734%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted. Terjadinya inverted yield merupakan pertanda awal datangnya resesi, karena investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi dalam jangka pendek. Artinya, risiko dalam jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Jajak pendapat yang digelar Reuters menghasilkan bahwa yield obligasi pemerintah AS masih akan mengalami inversi pada tahun depan. Resesi kemungkinan akan datang setahun setelah itu yaitu 2020.
Kedua, proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit) yang semakin runyam. Perdana Menteri Inggris Theresa May memutuskan untuk menunda voting proposal Brexit di parlemen Negeri Ratu Elizabeth dari 11 Desember menjadi paling lambat 21 Januari 2019, karena khawatir mayoritas anggota legislatif menolak proposal tersebut.
May pun 'bergerilya' dengan menemui para pemimpin negara-negara Eropa untuk membahas kemungkinan renegosiasi proposal Brexit. Namun sepertinya Brussel kadung kecewa dan menutup pintu negosiasi ulang.
Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutarakan kekecewaannya karena Inggris datang dengan tangan hampa. Inggris tidak membawa ide apa pun, dan menyerahkan ke Uni Eropa untuk mengubah proposal Brexit.
"Saya merasa tidak nyaman ketika ada kesan bahwa Inggris datang dan meminta Uni Eropa untuk mengusulkan solusi. Ini adalah soal Inggris yang akan berpisah dengan Uni Eropa, seharusnya (ide solusi) lebih ke pemerintah Inggris," tegas Juncker, mengutip Reuters.
Apabila tidak ada solusi dalam waktu dekat, maka Inggris berisiko memperoleh No Deal Brexit alias tidak mendapatkan kompensasi apa pun. Ini tentu akan sangat berat bagi Inggris.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dari Wall Street, tiga indeks utama jatuh pada akhir pekan lalu. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok 2,02%, S&P 500 amblas 1,91%, dan Nasdaq Composite ambrol 2,26%. Sementara secara mingguan, DJIA melemah 1,2%, S&P 500 terkoreksi 1,25%, dan Nasdaq berkurang 0,84%. Investor di bursa saham New York tidak hanya mencemaskan soal potensi resesi di AS, tetapi juga risiko perlambatan ekonomi global. Data-data ekonomi di China dan Eropa yang mengecewakan membuat persepsi itu muncul.
Di China, penjualan ritel pada November tumbuh 8,1% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 8,6% YoY. Pencapaian November juga menjadi yang terendah sejak Mei 2003.
Kemudian pertumbuhan produksi industri Negeri Panda pada November tercatat 5,4% YoY. Juga melambat dibandingkan Oktober yang tumbuh 5,9% YoY.
Sementara di Eropa, suasana suram semakin terasa saat rilis data Purchasing Manager's Index (PMI) November versi IHS Markit yang sebesar 51,3. Angka ini menjadi yang paling rendah sejak November 2014.
Sebelumnya Bank Sentral Uni Eropa (ECB) juga menyebarkan aura negatif dengan merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi Benua Biru. Tahun ini, ekonomi Eropa diperkirakan tumbuh 1,9%, di mana perkiraan sebelumnya adalah 2%. Kemudian untuk 2019, proyeksi pertumbuhan ekonomi direvisi dari 1,8% menjadi 1,7%.
"Fundamental ekonomi AS yang solid tertutup oleh risiko perlambatan ekonomi global. Dampaknya terasa hingga ke Wall Street," kata Phil Blancato, Chief Executive di Ladenburg Thalman Asset Management yang berbasis di New York, dikutip dari Reuters.
Perkembangan-perkembangan tersebut membuat investor tentu memlih bermain aman. Instrumen berisiko seperti saham ditinggalkan, dan aliran modal mengarah ke instrumen aman (safe haven) dalam hal ini adalah dolar AS.
Selama sepekan kemarin, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,96% secara point-to-pont. Dollar Index pun menyentuh angka 97.443, tertinggi sejak 12 November. Dolar AS kembali menjadi darling-nya investor.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Untuk perdagangan hari ini, investor patut mencermati sejumlah sentimen. Pertama adalah koreksi yang lumayan dalam di Wall Street akhir pekan lalu. Dikhawatirkan dampak kejatuhan Wall Street masih terasa dan membuat investor di pasar keuangan Asia ketar-ketir.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS yang berpotensi menguat seiring tingginya risiko perekonomian global. Potensi resesi di AS serta perlambatan ekonomi di China dan Eropa membuat investor lebih memilih bermain aman ketimbang uang mereka 'hangus'.
Pilihan paling masuk akal adalah mengoleksi uang tunai. Dalam kondisi penuh gejolak dan ketidakpastian, cash is king. Tidak ada yang lebih menjanjikan keamanan dari uang tunai.
Uang mana yang jadi pilihan utama investor? Sudah pasti dolar AS. Sebab selain aman, greenback juga menjanjikan cuan yang menarik.
Pada 19 Desember waktu setempat atau 20 Desember dini hari waktu Indonesia, The Federal Reserve/The Fed akan menggelar rapat untuk menentukan suku bunga acuan. Berdasarkan CME Fedwatch, probabilitas Jerome 'Jay' Powell dan rekan menaikkan Federal Funds Rate sebesar 25 bps ke 2,25-2,5% adalah 76,6%. Naik dibandingkan posisi seminggu sebelumnya yaitu 72,3%.
Kenaikan suku bunga acuan akan menjangkar ekspektasi inflasi di Negeri Adidaya. Ini tentu menguntungkan buat dolar AS, karena nilainya relatif terlindungi dari ancaman inflasi.
Selain itu, kenaikan suku bunga acuan juga akan ikut mengerek imbalan investasi di AS utamanya di instrumen berpendapatan tetap. Saat permintaan terhadap instrumen ini naik, maka permintaan dolar AS tentu otomatis akan terdongkrak. Saat permintaan terhadap mata uang naik, nilainya akan menguat.
Oleh karena itu, rupiah patut waspada. Bila preferensi investor masih mengarah ke dolar AS, maka rupiah harus siap menerima pelemahan seperti pekan lalu.
(BERLANJUT KE HALAMAN 4)
Sentimen ketiga adalah hubungan AS-China yang semakin mengarah ke damai dagang. Akhir pekan lalu, Kementerian Perdagangan China memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk untuk impor produk otomotif dan suku cadang dari AS.
Saat ini tarif bea masuk yang diterapkan China untuk mobil dan suku cadang asal AS adalah 15%. Sedianya China akan menambah tarif bea masuk menjadi 40% pada 1 Januari. Namun keputusan ini ditunda, seiring gencatan senjata yang disepakati Trump dan Xi.
"China ingin membuat kesepakatan yang komprehensif. Itu bisa terjadi, dan mungkin segera!" cuit Trump di Twitter.
Perdamaian AS-China adalah sesuatu yang sudah lama dinantikan oleh pelaku pasar. Saat keduanya terlibat perang dagang, perekonomian dunia akan terluka karena AS dan China adalah kekuatan ekonomi terbesar di planet ini.
Ketika AS-China mesra, maka dunia akan ikut merasakannya. Arus perdagangan, rantai pasok, dan pertumbuhan ekonomi dunia bisa lebih menggeliat. Ini tentu menjadi sentimen positif bagi pelaku pasar.
Sentimen keempat, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS) periode November. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 2,6% YoY dan impor tumbuh lebih kencang yaitu 8,5% YoY. Sementara neraca perdagangan diramal defisit US$ 990 juta.
Sebagai informasi, pertumbuhan ekspor pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018 adalah 3,59% YoY dan impor melesat 23,66% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,82 miliar.
Bila neraca perdagangan November benar-benar defisit, maka nasib transaksi berjalan (current account) pada kuartal IV-2018 akan di ujung tanduk. Bisa saja transaksi berjalan kembali mengalami defisit seperti kuartal sebelumnya, yang mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kala transaksi berjalan terancam, maka rupiah pun akan ikut tertekan. Pasalnya, rupiah jadi tidak memiliki modal untuk menguat karena minimnya pasokan valas dari ekspor barang dan jasa. Jadi sepertinya data perdagangan bisa menjadi sentimen yang memberatkan rupiah.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Rilis data perdagangan internasional Indonesia periode November 2018 (11:00 WIB).
- Rilis data pembacaan akhir inflasi zona Eropa periode November 2018 (17:00 WIB).
- Rilis data indeks manufaktur Empire State AS periode Desember 2018 (20:30 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q III-2018 YoY) | 5,17% |
Inflasi (November 2018 YoY) | 3,23% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (November 2018) | 6% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2,19% PDB |
Transaksi berjalan (Q III-2018) | -3,37% PDB |
Neraca pembayaran (Q III-2018) | -US$ 4,39 miliar |
Cadangan devisa (November 2018) | US$ 117,21 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Mayday, Mayday! Hantu Resesi AS Buat IHSG Kritis: Ada Peluang Rebound?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular