
Newsletter
Awas, Trump Ngambek dan Ancam Tutup Pemerintahan!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 December 2018 04:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup melemah pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi, dan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah terdongkrak yang menandakan harga sedang turun.
Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan pelemahan 0,57%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga ditutup di zona merah, seperti Nikkei 225 (-0,34%), Kospi (-0,04%), atau Straits Times (-0,43%).
Sedangkan rupiah ditutup melemah 0,31% di hadapan greenback. Sebagian besar mata mata uang utama Benua Kuning mampu menguat, dan rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia.
Kemudian yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melonjak 17,1 basis poin (bps). Yield instrumen ini menyentuh titik tertinggi sejak 6 November.
Faktor eksternal dan domestik memang tidak memihak pasar keuangan Tanah Air. Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor kian menebal karena yield obligasi pemerintah AS masih bergerak anomali.
Pada pukul 16:42 WIB kemarin, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7415% sementara untuk tenor 3 tahun adalah 2,7514%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7344%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted yield. Bagi pelaku pasar, inverted yield (apalagi jika bertahan cukup lama) adalah prediktor bagi terjadinya resesi. Sebab, pelaku pasar menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang.
Sementara dari dalam negeri, rilis data penjualan ritel menjadi pemberat IHSG cs. Bank Indonesia (BI) merilis penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 2,9% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,8% YoY. Penjualan ritel sudah melambat selama 2 bulan beruntun.
Ini bisa diartikan bahwa masih ada masalah dalam konsumsi dan daya beli rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi niscaya akan ikut terseret.
Kemudian, risiko ambil untung (profit taking) juga masih menjadi momok. Dalam sebulan terakhir rupiah masih menguat 1,45% di hadapan dolar AS dan IHSG juga melesat 5,18%.
Bagi sebagian investor (terutama asing), angka ini sudah cukup menarik untuk mencairkan cuan. Akibatnya pasar keuangan Indonesia menjadi rawan terkena aksi jual sehingga risiko pelemahan masih tetap membayangi.
Kemarin, IHSG mengakhiri hari dengan pelemahan 0,57%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga ditutup di zona merah, seperti Nikkei 225 (-0,34%), Kospi (-0,04%), atau Straits Times (-0,43%).
Sedangkan rupiah ditutup melemah 0,31% di hadapan greenback. Sebagian besar mata mata uang utama Benua Kuning mampu menguat, dan rupiah menjadi mata uang terlemah di Asia.
Kemudian yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun melonjak 17,1 basis poin (bps). Yield instrumen ini menyentuh titik tertinggi sejak 6 November.
Faktor eksternal dan domestik memang tidak memihak pasar keuangan Tanah Air. Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor kian menebal karena yield obligasi pemerintah AS masih bergerak anomali.
Pada pukul 16:42 WIB kemarin, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun berada di 2,7415% sementara untuk tenor 3 tahun adalah 2,7514%. Lebih tinggi dibandingkan tenor 5 tahun yaitu 2,7344%.
Yield tenor pendek yang lebih tinggi ketimbang tenor panjang sering disebut inverted yield. Bagi pelaku pasar, inverted yield (apalagi jika bertahan cukup lama) adalah prediktor bagi terjadinya resesi. Sebab, pelaku pasar menilai risiko dalam jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang.
Sementara dari dalam negeri, rilis data penjualan ritel menjadi pemberat IHSG cs. Bank Indonesia (BI) merilis penjualan ritel pada Oktober hanya tumbuh 2,9% year-on-year (YoY). Melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 4,8% YoY. Penjualan ritel sudah melambat selama 2 bulan beruntun.
Ini bisa diartikan bahwa masih ada masalah dalam konsumsi dan daya beli rumah tangga. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari separuh dalam pembetukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Ketika konsumsi melambat, maka pertumbuhan ekonomi niscaya akan ikut terseret.
Kemudian, risiko ambil untung (profit taking) juga masih menjadi momok. Dalam sebulan terakhir rupiah masih menguat 1,45% di hadapan dolar AS dan IHSG juga melesat 5,18%.
Bagi sebagian investor (terutama asing), angka ini sudah cukup menarik untuk mencairkan cuan. Akibatnya pasar keuangan Indonesia menjadi rawan terkena aksi jual sehingga risiko pelemahan masih tetap membayangi.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular