
Newsletter
Awas, Trump Ngambek dan Ancam Tutup Pemerintahan!
Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
12 December 2018 04:45

Namun ada sentimen ketiga yang beraroma negatif datang dari AS. Presiden Donald Trump mengancam bakal menonaktifkan pemerintahan (government shutdown) apabila permintaannya membangun tembok perbatasan Meksiko tidak dipenuhi oleh legislatif. Mengutip Reuters, Trump terlibat perdebatan sengit dengan Pimpinan Partai Demokrat di Senat Chuck Schumer dan Pimpinan Partai Demokrat di House of Representative Nancy Pelosi. Perdebatan itu terjadi di Oval Office, ruang kerja presiden di Gedung Putih, dan disaksikan oleh para jurnalis.
"Apabila kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan, apakah itu melalui Anda, militer, atau apa pun, saya akan menutup pemerintahan. Saya bangga menutup pemerintahan demi keamanan, Chuck. Rakyat di negara ini tidak ingin para kriminal, orang-orang bermasalah, dan narkotika membludak," tegas Trump dengan nada tinggi.
Wakil Presiden AS yang duduk di samping Trump hanya terdiam dengan menunjukkan wajah kaku. Tidak lama setelah adu mulut sengit itu, wartawan pun diminta meninggalkan Oval Office.
"Itu adalah sebuah dialog yang konstruktif. Bapak Presiden berterima kasih karena kamera menangkap beliau berjuang demi keamanan di perbatasan," sebut Juru Bicara Gedung Putih Sarah Sanders dalam pernyataan tertulis.
Tahun anggaran AS akan berakhir pada 21 Desember, dan Trump harus mengamankan suara Senat dan House of Representative (yang membentuk Kongres AS) untuk meloloskan program-programnya. Salah satunya adalah pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko. Trump meminta anggaran US$ 5 miliar untuk pengamanan perbatasan sementara Schumer dan Pelosi hanya merestui US$ 1,3 miliar.
Schumer menilai Trump hanya sedang ngambek (tantrum). Namun dia menyebut Trump bersedia untuk mempertimbangkan besaran anggaran yang diusulkan Partai Demokrat.
Apabila isu ini belum terselesaikan hingga 21 Desember, maka pemerintahan AS resmi ditutup sementara. Pekerja di sektor pemerintahan tidak akan mendapatkan bayaran, kecuali yang bertugas di bidang-bidang vital.
Risiko politik di AS ini berpotensi membuat nyali pelaku pasar ciut. Akibatnya, tidak ada lagi istilah mengambil risiko, yang ada adalah bermain aman.
Situasi seperti ini menciptakan perilaku flight to quality, arus modal mengarah ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan berkualitas. Artinya, aset-aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia akan ditanggalkan sehingga IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah terancam.
Sentimen kempat adalah ketidakpastian proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Setelah Perdana Menteri Inggris Theresa May membatalkan voting di parlemen yang seyogianya digelar 11 Desember, situasi menjadi bertambah runyam.
Tidak lama setelah membatalkan voting, May langsung bertolak ke Den Haag untuk bertemu dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Kemudian berlanjut dengan pertemuan bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin, sebelum beranjak ke Brussel.
Hasil lawatan tersebut adalah negara-negara Uni Eropa siap membantu Inggris untuk memberi penjelasan dan jaminan mengenai hak-hak Negeri Ratu Elizabeth saat sudah resmi bercerai pada 29 Maret 2019. Namun pintu renegosiasi sudah tertutup.
"Tidak ada ruang atau apa pun untuk renegosiasi. Namun tentu ada ruang untuk memberikan klarifikasi dan interpretasi tanpa membuka kembali kesepakatan yang ada. Kesepakatan yang sudah dicapai adalah yang terbaik, satu-satunya opsi yang tersedia," tegas Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutip Reuters.
Voting di parlemen Inggris dijadwalkan ulang sebelum 21 Januari 2019. Dalam waktu sebulan lebih sedikit tersebut, May harus mampu meyakinkan publik dan parlemen Inggris mengenai proposal yang sudah disepakati dengan Uni Eropa bulan lalu.
Proses Brexit yang runyam dan berliku ini bisa membuat investor cemas. Kecemasan ini bisa berujung pada pelarian ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti dolar AS. Apabila ini yang terjadi, maka pasar keuangan Indonesia bisa kembali tertekan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
"Apabila kami tidak bisa mendapatkan apa yang kami inginkan, apakah itu melalui Anda, militer, atau apa pun, saya akan menutup pemerintahan. Saya bangga menutup pemerintahan demi keamanan, Chuck. Rakyat di negara ini tidak ingin para kriminal, orang-orang bermasalah, dan narkotika membludak," tegas Trump dengan nada tinggi.
Wakil Presiden AS yang duduk di samping Trump hanya terdiam dengan menunjukkan wajah kaku. Tidak lama setelah adu mulut sengit itu, wartawan pun diminta meninggalkan Oval Office.
"Itu adalah sebuah dialog yang konstruktif. Bapak Presiden berterima kasih karena kamera menangkap beliau berjuang demi keamanan di perbatasan," sebut Juru Bicara Gedung Putih Sarah Sanders dalam pernyataan tertulis.
Tahun anggaran AS akan berakhir pada 21 Desember, dan Trump harus mengamankan suara Senat dan House of Representative (yang membentuk Kongres AS) untuk meloloskan program-programnya. Salah satunya adalah pembangunan tembok di perbatasan AS-Meksiko. Trump meminta anggaran US$ 5 miliar untuk pengamanan perbatasan sementara Schumer dan Pelosi hanya merestui US$ 1,3 miliar.
Schumer menilai Trump hanya sedang ngambek (tantrum). Namun dia menyebut Trump bersedia untuk mempertimbangkan besaran anggaran yang diusulkan Partai Demokrat.
Apabila isu ini belum terselesaikan hingga 21 Desember, maka pemerintahan AS resmi ditutup sementara. Pekerja di sektor pemerintahan tidak akan mendapatkan bayaran, kecuali yang bertugas di bidang-bidang vital.
Risiko politik di AS ini berpotensi membuat nyali pelaku pasar ciut. Akibatnya, tidak ada lagi istilah mengambil risiko, yang ada adalah bermain aman.
Situasi seperti ini menciptakan perilaku flight to quality, arus modal mengarah ke aset-aset yang dinilai lebih aman dan berkualitas. Artinya, aset-aset berisiko di negara berkembang seperti Indonesia akan ditanggalkan sehingga IHSG, rupiah, dan obligasi pemerintah terancam.
Sentimen kempat adalah ketidakpastian proses perceraian Inggris dengan Uni Eropa (Brexit). Setelah Perdana Menteri Inggris Theresa May membatalkan voting di parlemen yang seyogianya digelar 11 Desember, situasi menjadi bertambah runyam.
Tidak lama setelah membatalkan voting, May langsung bertolak ke Den Haag untuk bertemu dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Kemudian berlanjut dengan pertemuan bersama Kanselir Jerman Angela Merkel di Berlin, sebelum beranjak ke Brussel.
Hasil lawatan tersebut adalah negara-negara Uni Eropa siap membantu Inggris untuk memberi penjelasan dan jaminan mengenai hak-hak Negeri Ratu Elizabeth saat sudah resmi bercerai pada 29 Maret 2019. Namun pintu renegosiasi sudah tertutup.
"Tidak ada ruang atau apa pun untuk renegosiasi. Namun tentu ada ruang untuk memberikan klarifikasi dan interpretasi tanpa membuka kembali kesepakatan yang ada. Kesepakatan yang sudah dicapai adalah yang terbaik, satu-satunya opsi yang tersedia," tegas Jean-Claude Juncker, Presiden Uni Eropa, mengutip Reuters.
Voting di parlemen Inggris dijadwalkan ulang sebelum 21 Januari 2019. Dalam waktu sebulan lebih sedikit tersebut, May harus mampu meyakinkan publik dan parlemen Inggris mengenai proposal yang sudah disepakati dengan Uni Eropa bulan lalu.
Proses Brexit yang runyam dan berliku ini bisa membuat investor cemas. Kecemasan ini bisa berujung pada pelarian ke aset-aset yang dianggap aman (safe haven) seperti dolar AS. Apabila ini yang terjadi, maka pasar keuangan Indonesia bisa kembali tertekan.
(BERLANJUT KE HALAMAN 5)
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular