Newsletter

The Fed Lagi, The Fed Lagi...

Hidayat Setiaji & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
18 October 2018 05:34
The Fed Lagi, The Fed Lagi...
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar sama-sama menguat pada penutupan perdagangan kemarin. Penguatan IHSG senada dengan bursa saham utama Asia, tetapi rupiah menguat di tengah pelemahan mayoritas mata uang Benua Kuning. 

Kemarin, IHSG ditutup melesat 1,17%. IHSG bergerak searah dengan bursa utama Asia yang juga menguat seperti Nikkei 225 (+1,29%), Hang Seng (+0,07%), Kospi (+1,04%), atau Straits Times (+1,2%). 


Tidak ada sentimen khusus yang mendongrak bursa saham Asia. Sepertinya arus modal yang mengalir deras ke Benua Kuning disebabkan oleh koreksi yang sudah lumayan dalam. 

Setelah menguat kemarin, indeks Hang Seng masih jeblok 8,37% sejak awal Oktober. Sementara Kospi masih anjlok 7,39%, Straits Times minus 5,71%, dan IHSG defisit 1,81%. 

Artinya harga aset di bursa saham Asia memang sudah semakin murah. Hal ini tentu menarik minat investor (termasuk asing) untuk melakukan aksi borong. 

Di pasar keuangan Indonesia, ternyata tidak hanya saham yang laris manis. Pelaku pasar juga menyemut di pasar obligasi pemerintah. Tingginya permintaan membuat harga naik dan imbal hasil (yield) tertekan.

Pada penutupan perdagangan kemarin, yield obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun cukup drastis yaitu 11,5 basis poin (bps) ke 8,738%. Koreksi ini terasa wajar karena yield sudah menanjak 71,2 bps sejak awal Oktober dan sempat menyentuh level tertinggi sejak Januari 2015. Harga instrumen ini memang sudah 'terbanting' habis-habisan sehingga menarik minat pelaku pasar. 


Derasnya arus modal di pasar saham dan obligasi negara membuat rupiah mampu mengakhiri hari dengan penguatan 0,3% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah menjadi mata uang dengan apresiasi tertinggi di Asia. Penguatan ini terasa istimewa karena mayoritas mata uang Asia melemah dan dolar AS sedang berjaya di dunia. 



Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif dalam rentang terbatas. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) melemah 0,36%, S&P 500 minus 0,02%, tetapi Nasdaq Composite menguat tipis 0,03%. 

Wall Street yang cenderung merah ini disebabkan oleh rilis notulensi rapat (minutes of meeting) The Federal Reserve/The Fed edisi September 2018. Dalam notulensi tersebut, semakin terang-benderang bahwa Jerome 'Jay' Powell dan kolega akan terus menaikkan suku bunga secara bertahap. 

Para pengambil kebijakan di The Fed yaitu Federal Open Market Committee (FOMC) mayoritas menilai bahwa kenaikan suku bunga secara gradual kemungkinan besar akan berjalan secara konsisten. Hal ini seiring ekspansi ekonomi yang terus berlanjut, pasar tenaga kerja yang solid, dan risiko percepatan laju inflasi. 

"Pendekatan (kenaikan suku bunga acuan) secara bertahap akan menyeimbangkan risiko akibat pengetatan moneter yang terlalu cepat yang bisa menyebabkan perlambatan ekonomi dan inflasi di bawah target Komite. Namun bila (kenaikan suku bunga acuan) dilakukan terlalu lambat, maka akan menyebabkan inflasi bergerak di atas target dan menyebabkan ketidakseimbangan di sistem keuangan," tulis notulensi rapat tersebut. 

Kompaknya para anggota FOMC membuat pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan seebsar 25 bps pada rapat 19 Desember adalah 81,4%, naik dibandingkan kemarin yaitu 78,5%. 

The Fed bergeming meski mendapat banyak kritik termasuk dari orang nomor satu di Negeri Adidaya, Presiden Donald Trump. Bukan hanya sekali Trump menyerang keputusan The Fed yang dianggapnya terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga. 

"Saya membayar bunga tinggi karena The Fed, Saya ingin The Fed tidak terlalu agresif karena menurut saya mereka melakukan kesalahan besar. The Fed sudah loco (gila) dan tidak ada alasan mereka melakukan itu, saya tidak senang," tegas Trump beberapa waktu lalu, mengutip Reuters. 

The Fed sudah menaikkan suku bunga sejak 2015, dan sejak kenaikan bulan lalu mereka sudah lagi menggunakan kata 'akomodatif'. Hampir seluruh seluruh anggota FOMC sepakat untuk menghilangkan kata tersebut. Artinya suku bunga acuan memang sudah tidak lagi menjadi alat untuk merangsang pertumbuhan ekonomi. 

Saat ini suku bunga acuan AS berada di median 2,125%. FOMC menargetkan suku bunga akan naik menjadi median 3,1% pada akhir 2019 dan 3,4 pada akhir 2020. Dalam jangka panjang, suku bunga baru berangsur turun ke arah 3%. 

Terkonfirmasi, The Fed tetap dan masih akan hawkish setidaknya sampai 2020. Tren kenaikan suku bunga di Negeri Paman Sam tidak bisa dihindari lagi, ucapkan selamat tinggal kepada era suku bunga rendah. 

Saham bukanlah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga tinggi, karena menggambarkan situasi yang konservatif dan penuh kehati-hatian. Saham adalah instrumen yang mengandalkan keberanian dan aksi ambil risiko. 

Selain itu, kenaikan suku bunga akan membuat biaya dan beban emiten yang tercatat di bursa saham meningkat. Lonjakan biaya dan beban tentu akan menggerus laba, sehingga membebani harga saham. 

Akibatnya, bursa saham New York cenderung merah saat minutes of meeting tersebut dirilis. Sebaliknya, The Fed yang kian hawkish mengantarkan yield obligasi negara AS dan greenback melambung tinggi. 



Untuk perdagangan hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentu kinerja Wall Street yang kurang oke. Dikhawatirkan koreksi di Wall Street bisa menular ke bursa saham Asia, termasuk IHSG. 

Kedua, seperti yang sudah disinggung, adalah kenaikan yield obligasi pemerintah dan penguatan dolar AS. Pada pukul 04:21 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun melejit 5,1 bps ke 3,2069%. Sedangkan yang membuat Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama dunia) melonjak 0,64%, penguatan harian tertinggi sejak 27 September. 

Dengan yield obligasi yang semakin tinggi dan dolar AS yang menguat luamyan tajam, sepertinya sulit bagi rupiah untuk mengulangi pencapaian kemarin. Arus modal sepertinya akan kembali berkerumun di AS. Dolar AS akan menjadi terlalu perkasa, dan bila penguatan ini bertahan lama maka korbannya bukan hanya rupiah tetapi juga mata uang Asia dan dunia. 

Sentimen ketiga adalah perkembangan kasus menghilangnya kolumnis Washington Post Jamal Khasoggi di Konsulat Arab Saudi di Istanbul (Turki). New York Times mengabarkan Khasoggi dibunuh dan dimutilasi di sana meski belum ada hasil investigasi resmi dari aparat gabungan Turki-Arab Saudi. 

Yeni Safak, surat kabar terkemuka di Turki, juga melaporkan hal serupa. Khasoggi disiksa saat interogasi, dipotong jarinya, kemudian dipenggal dan dimutilasi. Perlakuan yang sangat tidak beradab, jika memang terbukti.


Trump pernah menegaskan bahwa Arab Saudi akan menerima konsekuensi berat jika Khasoggi benar-benar dibunuh di kantor konsulat. Namun sampai saat ini Trump belum mau meninggalkan sahabat karibnya di Timur Tengah tersebut. 

"Saya tidak mau melakukan itu," kata Trump dalam wawancana dengan Fox kala menjawab pertanyaan apakah Washington akan 'bercerai' dengan Riyadh akibat kasus ini, seperti dikutip dari Reuters. 

Saat ini, Trump masih menunggu hasil investigasi resmi. Bahkan eks pembawa acara reality show The Apprentice itu sampai mengirim Menteri Luar Negeri Mike Pompeo ke Riyadh kemudian Istanbul untuk 'mengawal' kasus ini. 

Sebelumnya, kepolisian Turki mengklaim bahwa mereka memiliki bukti rekaman audio saat Khasoggi disiksa dan dibunuh di konsulat. Trump pun meminta bukti ini dipaparkan jika memang ada.  

"Saya meminta bukti-bukti. Saya belum yakin itu ada, tapi mungkin saja. Mungkin," katanya. 

Trump juga berharap kasus Khasoggi tidak melibatkan para petinggi Arab Saudi. Dari laporan Pompeo, sejauh ini Arab Saudi masih kooperatif dalam upaya penyelidikan. 

Jika kemudian laporan resmi hasil investasi mengonfirmasi laporan New York Times atau Yeni Safak, maka bisa saja Trump berubah pikiran. Trump kemungkinan akan murka, dan menjatuhkan sanksi kepada Arab Saudi. 

Apalagi kalau Trump sampai mengenakan sanksi seperti yang akan diterapkan kepada Iran pada 4 November mendatang, yaitu blokade ekspor minyak. Pasokan minyak dunia akan semakin seret dan mempengaruhi harga si emas hitam. 

Namun hari ini kekhawatiran terhadap potensi penurunan pasokan minyak dunia belum tergambar, bahkan yang ada justru kelebihan suplai. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan cadangan minyak AS melonjak 6,5 juta barel pekan lalu. Akibatnya, pada pukul 04:57 WIB harga minyak jenis light sweet anjlok 1,88% sementara brent amblas 1,45%. 

Penurunan harga minyak bisa menjadi faktor pemberat IHSG, karena emiten migas dan pertambangan akan kurang mendapat apresiasi. Namun hal ini justru positif bagi rupiah, karena dapat mengurangi beban impor sehingga tidak banyak valas yang 'terbang' ke luar negeri. 

Akan tetapi, perkembangan harga minyak akan sangat ditentukan oleh kelanjutan relasi AS-Arab Saudi. Jika persahabatan yang sudah lama terjalin ini retak, maka harga minyak bersiap untuk terdongkrak. 

Sentimen keempat adalah perkembangan perang dagang AS vs China. Beijing sepertinya semakin mengakui bahwa mereka sudah merasakan dampak negatif dari friksi dagang ini. 

"Dengan perkembangan global yang semakin rumit dan volatil, tekanan untuk menarik ekonomi China ke bawah semakin besar. Namun kami terus berupaya untuk mengatasi risiko dan tantangan ini," kata Li Keqiang, Perdana Menteri China, dalam sebuah acara di Belanda, dikutip dari Reuters. 

Sepertinya angin memang lebih berpihak kepada AS dalam drama perang dagang ini. Meski defisit perdagangan AS dengan China membengkak hingga mencapai rekor tertinggi di US$ 38,57 miliar pada Agustus, tetapi ekonomi AS secara keseluruhan masih baik-baik saja. Justru China yang terlihat megap-megap. 


Namun bagi dunia, friksi dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar ini adalah kabar buruk. Rantai pasok (supply chain) akan terganggu sehingga mengerutkan pertumbuhan ekonomi global. Oleh karena itu, diharapkan AS dan China bisa segera berdialog untuk menyelesaikan masalah besar ini sehingga satu risiko yang menghantui perekonomian dunia bisa dihilangkan. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data neraca perdagangan Jepang periode September 2018 (06:50 WIB).
  • Rilis data penciptaan lapangan kerja Australia periode September 2018 (07:30 WIB).
  • Rilis data tingkat pengangguran Australia periode September 2018 (07:30 WIB).
  • Pidato Gubernur Bank of Japan Haruhiko Kuroda (07:30 WIB).
  • Rilis data penjualan ritel Inggris periode September 2018 (15:30 WIB).
  • Rilis data Indeks Manufaktur The Fed Philadelphia periode Oktober 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 12 Oktober 2018 (19:30 WIB).
  • Pidato Anggota Dewan Gubernur The Fed Randal Quarles (23:15 WIB).
  • Rapat koordinasi evaluasi kebijakan B20 di kantor Kemenko Perekonomian (16:00 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Cita Mineral Investindo Tbk (CITA)RUPSLB 10:00 WIB 
PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII)RUPSLB14.00 WIB
PT Ristia Bintang Mahkotasejati Tbk (RBMS)Right Issue09.00 WIB
PT Intan Baruprana Finance Tbk (IBFN)Right Issue09.00 WIB
PT Bank Negara Indonesia (BBNI)Rilis Laporan KeuanganTentatif
 
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 114.85 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular