Pembeli Adalah Raja, AS Menang Perang Dagang Lawan China
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 October 2018 14:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China sudah menampakkan hasilnya. Untuk saat ini, tampaknya AS keluar sebagai pemenang.
Sejak awal tahun ini, Washington dan Beijing terlibat 'balas pantun' yang sengit, yaitu saling balas pengenaan bea masuk. Total bea masuk yang dikenakan AS untuk impor produk-produk China sudah mencapai US$ 250 miliar. Sementara total bea masuk yang diterapkan China untuk produk-produk made in USA adalah US$ 110 miliar.
Presiden AS Donald Trump seringkali menyatakan bahwa AS akan menang dalam friksi ini. Dia meyakini bahwa China adalah pihak yang menderita.
"Ekonomi mereka (China) melambat dan saya bisa melakukan hal yang lebih dari itu kalau saya mau. Saya tidak mau, dan mereka harus datang ke meja (untuk berdialog)," kata Trump dalam wawancara bersama Fox News, dikutip dari Reuters.
Trump bukan sembarang omong. Sejauh ini perkataannya terbukti karena ekonomi China mengalami pukulan lumayan telak dalam beberapa bulan terakhir.
Indikator pertama adalah Purchasing Managers Index (PMI) yang menggambarkan ekspansi dunia usaha. Sejak Mei, nilai PMI China terus menurun dan mencapai 50,8 pada September. Ini adalah angka terendah sejak Februari.
Angka di atas 50 memang menandakan dunia usaha masih ekspansif dan optimistis melihat kondisi perekonomian. Namun optimisme tersebut terus menurun dan bukan tidak mungkin jadi di bawah 50.
Indikator kedua adalah yang dirilis hari ini yaitu data inflasi. Di tingkat konsumen, inflasi pada September tercatat 2,5% year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,3% YoY.
Namun di tingkat produsen, inflasi melambat dari 4,1% YoY pada Agustus menjadi 3,6% YoY pada September. Laju inflasi di tingkat produsen terus melambat dalam tiga bulan terakhir.
Ketiga, data laba perusahaan manufaktur di China juga terus melambat. Pada Agustus, pertumbuhan laba adalah 9,2% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 16,2%. Pertumbuhan laba pada Agustus menjadi yang paling lambat dalam 5 bulan ke belakang.
Sejak awal tahun ini, Washington dan Beijing terlibat 'balas pantun' yang sengit, yaitu saling balas pengenaan bea masuk. Total bea masuk yang dikenakan AS untuk impor produk-produk China sudah mencapai US$ 250 miliar. Sementara total bea masuk yang diterapkan China untuk produk-produk made in USA adalah US$ 110 miliar.
Presiden AS Donald Trump seringkali menyatakan bahwa AS akan menang dalam friksi ini. Dia meyakini bahwa China adalah pihak yang menderita.
Trump bukan sembarang omong. Sejauh ini perkataannya terbukti karena ekonomi China mengalami pukulan lumayan telak dalam beberapa bulan terakhir.
Indikator pertama adalah Purchasing Managers Index (PMI) yang menggambarkan ekspansi dunia usaha. Sejak Mei, nilai PMI China terus menurun dan mencapai 50,8 pada September. Ini adalah angka terendah sejak Februari.
Angka di atas 50 memang menandakan dunia usaha masih ekspansif dan optimistis melihat kondisi perekonomian. Namun optimisme tersebut terus menurun dan bukan tidak mungkin jadi di bawah 50.
Indikator kedua adalah yang dirilis hari ini yaitu data inflasi. Di tingkat konsumen, inflasi pada September tercatat 2,5% year-on-year (YoY). Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 2,3% YoY.
Namun di tingkat produsen, inflasi melambat dari 4,1% YoY pada Agustus menjadi 3,6% YoY pada September. Laju inflasi di tingkat produsen terus melambat dalam tiga bulan terakhir.
Ketiga, data laba perusahaan manufaktur di China juga terus melambat. Pada Agustus, pertumbuhan laba adalah 9,2% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 16,2%. Pertumbuhan laba pada Agustus menjadi yang paling lambat dalam 5 bulan ke belakang.
Next Page
Perusahaan China Kian Terjepit
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular