Dari Wall Street, tiga indeks utama berhasil finis di jalur hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) menguat 0,2%, S&P 500 naik 0.07%, dan Nasdaq Composite bertambah 0,12%.
Data-data ekonomi AS yang positif memberi angin segar di bursa saham New York. Berdasarkan survei ADP, perekonomian AS menciptakan 230.000 lapangan kerja sepanjang September. Ini adalah angka tertinggi sejak Februari.
Kemudian survei Institute of Supply Management (ISM) menyebutkan indeks aktivitas non-manufaktur pada September sebesar 61,6 atau naik 3,1 poin dibandingkan bulan sebelumnya. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Agustus 1997.
Data-data ini semakin mempertegas klaim The Federal Reserve/The Fed bahwa ekonomi Negeri Paman Sam kini sedang dalam masa-masa indah. Angka pengangguran rendah, tetapi di saat yang sama inflasi juga terkendali.
Dalam sebuah seminar di Boston, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan bahwa prospek ekonomi AS sangat positif. Kondisi ini disebutnya cukup langka sepanjang sejarah Negeri Paman Sam.
Kelangkaan itu adalah angka pengangguran rendah, di bawah 4%, tetapi inflasi juga relatif terkendali. Peningkatan permintaan karena kenaikan pendapatan masyarakat tidak menyebabkan tekanan inflasi yang berlebihan, inflasi masih sehat.
"Ini kondisi yang unik dalam sejarah AS modern. Namun ini adalah bukti bahwa kita semua masih dalam masa-masa yang luar biasa. Kondisi yang baik bagi rumah tangga dan pebisnis juga tidak perlu cemas terhadap inflasi yang tinggi," papar Powell, dikutip dari Reuters.
Namun, penguatan di Wall Street cukup terbatas karena kemudian pelaku pasar ingat bahwa positifnya kinerja ekonomi Negeri Adidaya akan menyebabkan The Fed menaikkan suku bunga acuan. Ini dilakukan agar perekonomian AS tidak bergerak liar, kebablasan, dan
overheating.
"Kenaikan suku bunga secara bertahap berarti menyeimbangkan risiko," ujar Powell.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal dalam lingkungan suku bunga rendah. Saham adalah aset yang mencerminkan optimisme dan gairah jangka pendek. Aset berisiko ini tidak cocok dikekang oleh jerat suku bunga yang menandakan sikap konservatif.
"Sekedar mengingatkan. Kalau The Fed menyatakan perekonomian sedang bagus, maka mereka tidak akan memperlambat laju kenaikan suku bunga. Jika mereka melihat ada risiko, maka menaikkan suku bunga adalah hal yang pertama dilakukan," tutur Mike Baele, Direktur Pelaksana US Bank Private Client Wealth Management yang berbasis di Oregon, dikutip dari Reuters.
Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang lumayan bagus, kompak di zona hijau meski penguatannya terbatas. Semoga hijaunya Wall Street bisa menjadi pelecut semangat bursa saham Asia, termasuk IHSG.
Kedua adalah nilai tukar dolar AS. Kemarin,
greenback sempat menginjak pedal rem setelah gal pol lebih dari sepekan. Namun saat ini, dolar AS kembali menekan pedal gas dan bahkan menambahkan nitro.
Pada pukul 04:57 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi
greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat lumayan tajam yaitu 0,55%. Rilis data ADP dan ISM yang mendorong laju Wall Street ternyata juga mengerek dolar AS.
Bahkan efek rilis data tersebut lebih signifikan dialami oleh
greenback. Sebab ya itu tadi, data-data ekonomi yang ciamik akan semakin meningkatkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan.
Apalagi The Fed pun kian
hawkish. Tidak haya Powell, pejabat lainnya pun mengonfirmasi bahwa kenaikan suku bunga sulit dihindari.
"Kami bisa menaikkan suku bunga acuan sampai ke tingkat yang agak restriktif kemudian menahannya. Jalur kenaikan suku bunga sangat jelas," kata Charles Evans, Presiden The Fed Chicago, seperti dikutip dari Reuters.
"Masih layak bagi kami untuk menaikkan suku bunga secara gradual," kata Loretta Mester, Presiden The Fed Cleveland, juga mengutip Reuters.
Menurut CME Fedwatch, kemungkinan The Fed untuk menaikkan suku bunga 25 basis poin pada rapat 19 Desember mencapai 78,1%. Bahkan mulai ada peluang The Fed menaikkan suku bunga sampai 50 bps walau kecil di 3,7%.
Dengan bekal potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS punya amunisi untuk kembali menyeruak. Sebab saat suku bunga acuan naik, imbalan investasi (terutama di instrumen berbasis pendapatan tetap) akan ikut terkerek. Tentu permintaan dolar AS akan naik dan mata uang ini semakin mahal alias menguat.
Oleh karena itu, rupiah masih harus berhati-hati, bahkan sangat hati-hati. Sebab dolar AS masih buas dan sepertinya siap kembali menerkam.
Sentimen ketiga adalah harga minyak yang bergerak variatif. Pada pukul 05:15 WIB, harga minyak jenis brent melesat 1,53% tetapi light sweet turun 0,3%. Brent adalah minyak acuan Eropa dan banyak negara di dunia, sementara light sweet merupakan minyak yang dipakai di AS.
Faktor pemicu kenaikan harga minyak brent masih sama, yaitu kian dekatnya pemberlakuan sanksi baru AS kepada Iran yaitu pada 4 November. Saat itu, Iran akan sulit mengekspor minyaknya karena blokade Negeri Adidaya.
Pasokan minyak dari Iran akan absen di pasar dunia sementara Negeri Persia adalah produsen minyak terbesar ketiga di antara anggota Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC). Artinya, ketidakhadiran Iran akan sangat mempengaruhi pasokan minyak di pasar global.
Sementara harga light sweet yang turun disebabkan oleh kenaikan produksi AS. US Energy Information Administration melaporkan cadangan minyak AS bertambah 8 juta barel pada pekan lalu yang menjadi kenaikan mingguan tertinggi sejak Maret 2017.
Sentimen keempat adalah perkembangan positif di Italia. Setelah sempat menghebohkan dunia karena rancangan anggaran negara yang agresif bin ekspansif, pemerintahan Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte kini melunak.
Awalnya, pemerintahan Conte ingin mengesahkan anggaran 2019-2021 dengan defisit 2,4% dari PDB. Namun setelah desakan dan kritik dari berbagai penjuru mata angin, Conte pun bersedia menurunkan target defisit fiskal itu.
Defisit anggaran 2019 akan tetap di 2,4% PDB. Akan tetapi defisit akan turun ke 2,1% PDB pada 2020 dan 1,8% PDB pada 2021.
"Untuk 2019, kami harus menunjukkan keberanian karena kami percaya negara ini butuh fiskal yang kuat untuk mendorong pertumbuhan," tegas Conte, dikutip dari Reuters.
Meski fiskal Italia 2019 masih agresif, tetapi ada keinginan mendisiplinkannya kembali pada tahun-tahun selanjutnya. Ini yang membawa kelegaan di pasar. Setidaknya satu risiko besar, yaitu krisis fiskal jilid II di Italia, bisa dikesampingkan untuk sementara waktu.
Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
- Menko Perekonomian Darmin Nasution dan sejumlah menteri Kabinet Kerja menggelar rapat koordinasi membahas kebijakan B20 (16:00 WIB).
- Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen Indonesia periode September 2018 (setelah pasar tutup).
- Rilis data neraca perdagangan Australia periode Agustus 2018 (08:30 WIB).
- Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 28 September 2018 (19:30 WIB).
- Pidato Anggota Dewan Gubernur The Fed Randal Quarles (20:15 WIB).
Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:
Perusahaan | Jenis Kegiatan | Waktu |
PT Goodyear Indonesia Tbk (GDYR) | RUPSLB | 10:00 |
PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) | RUPS Tahunan | 14:00 |
PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) | RUPSLB | 14:00 |
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY) | 5.27% |
Inflasi (Agustus 2018 YoY) | 3.20% |
Defisit anggaran (APBN 2018) | -2.19% PDB |
Transaksi berjalan (Q II-2018) | -3.04% PDB |
Neraca pembayaran (Q II-2018) | -US$ 4.31 miliar |
Cadangan devisa (Agustus 2018) | US$ 117.9 miliar |
Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di
sini.
TIM RISET CNBC INDONESIA