
Newsletter
Kombinasi Sikap Hawkish Trump & Fed Ciutkan Nyali Pasar
Arif Gunawan & Raditya Hanung & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 September 2018 06:59

Perhatian pemodal masih akan mengacu pada arah perang dagang dua negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut, yakni AS dan China. Terutama, dengan melihat respons China terhadap sikap keukeuh Trump tersebut.
Selama friksi antar dua raksasa ekonomi dunia ini masih ada, maka selama itu pula perekonomian dunia akan terancam. Perang dagang akan menghambat arus perdagangan global yang akhirnya menjadi pemberat pertumbuhan ekonomi dunia.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,1% atau melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,3% salah satunya karena perang dagang yang mempengaruhi rantai pasokan (supply chain) global.
Sejauh ini, China menyatakan akan mengimbangi permainan Trump. Dalam buku putihnya setebal 71 halaman, Beijing menyatakan pihaknya tidak menginginkan perang dagang, tetapi tidak gentar dan akan melawan Trump jika diperlukan.
Sikap ini memposisikan Negeri Tirai Bambu itu sebagai “pembela perdagangan dunia” yang sedang terancam oleh sikap semena-mena AS. Isu ekonomi ini pun berpeluang berakhir menjadi perkubuan politik yang membuat situasi dunia makin runyam. China telah menjalin komunikasi dengan Rusia untuk tetap memungkinkan perdagangan dengan Iran, yang sedang dihajar Trump dengan berbagai embargo.
Trump memerintahkan semua negara terutama China, India, dan Turki untuk menghentikan impor minyak dari Iran, mengikuti Jepang yang sudah patuh. AS memberikan tenggat waktu hingga 4 November ketika Negeri Sam ini memberlakukan kembali sanksi embargo ke Teheran. JP Morgan mengekspektasikan sanksi bagi Teheran dapat mengakibatkan hilangnya pasokan minyak global sebesar 1,5 juta barel/hari.
Ketegangan ini membuat harga energi utama dunia ini menguat hingga menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir yakni US$82 per barel. Apalagi, setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak seruan Trump menaikkan produksi minyak mereka demi menurunkan harga.
"Saya tidak melihat ada kilang yang membutuhkan tambahan minyak dan tidak bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, potensi (kenaikan produksi pada 2019) sangat kecil kecuali ada perubahan besar di suplai dan permintaan," ujar Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. Sebagai informasi, Arab Saudi adalah pemimpin OPEC secara de facto.
Hal senada juga diutarakan oleh Menteri Energi Rusia Alaxander Novak. Novak berpendapat bahwa kenaikan produksi secara tiba-tiba belum diperlukan, meskipun dia percaya bahwa perang dagang AS-China sekaligus sanksi AS pada Iran merupakan tantangan baru bagi pasar minyak global.
"Permintaan minyak akan menurun pada kuartal IV tahun ini, dan kuartal I tahun depan. Sejauh ini, kita memutuskan untuk tetap berpegang pada kesepakatan Juni," ujar Novak, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, OPEC dan Rusia sepakat pada akhir 2016 untuk memangkas pasokan sekitar 1,8 juta barel/hari, dengan tujuan mengerek harga minyak dunia yang sedang loyo. Dua tahun setelahnya, pemangkasan produksi pun terjadi bahkan dengan skala lebih besar karena penurunan dari Venezuela dan Libya. Hal ini lantas berhasil melambungkan kembali harga sang emas hitam.
Merespons itu, saham-saham sektor energi di Indonesia pun melaju. Harga saham PT Medco Energi International Tbk (MEDC) naik 9,2%, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) tumbuh 2,33%, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menguat 1,97%, dan PT Elnusa Tbk (ELSA) melambung 6,98%.
Jika harga minyak masih melanjutkan relinya pada hari ini, bukan tidak mungkin saham-saham tersebut kembali menguat lebih lanjut, diikuti saham energi lainnya yakni emiten batu bara yang bisa kecipratan berkah.
NEXT
(ags/ags)
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2019 sebesar 3,1% atau melambat dibandingkan tahun ini yang diperkirakan 3,3% salah satunya karena perang dagang yang mempengaruhi rantai pasokan (supply chain) global.
Sejauh ini, China menyatakan akan mengimbangi permainan Trump. Dalam buku putihnya setebal 71 halaman, Beijing menyatakan pihaknya tidak menginginkan perang dagang, tetapi tidak gentar dan akan melawan Trump jika diperlukan.
Sikap ini memposisikan Negeri Tirai Bambu itu sebagai “pembela perdagangan dunia” yang sedang terancam oleh sikap semena-mena AS. Isu ekonomi ini pun berpeluang berakhir menjadi perkubuan politik yang membuat situasi dunia makin runyam. China telah menjalin komunikasi dengan Rusia untuk tetap memungkinkan perdagangan dengan Iran, yang sedang dihajar Trump dengan berbagai embargo.
Trump memerintahkan semua negara terutama China, India, dan Turki untuk menghentikan impor minyak dari Iran, mengikuti Jepang yang sudah patuh. AS memberikan tenggat waktu hingga 4 November ketika Negeri Sam ini memberlakukan kembali sanksi embargo ke Teheran. JP Morgan mengekspektasikan sanksi bagi Teheran dapat mengakibatkan hilangnya pasokan minyak global sebesar 1,5 juta barel/hari.
Ketegangan ini membuat harga energi utama dunia ini menguat hingga menyentuh level tertingginya dalam 4 tahun terakhir yakni US$82 per barel. Apalagi, setelah Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menolak seruan Trump menaikkan produksi minyak mereka demi menurunkan harga.
"Saya tidak melihat ada kilang yang membutuhkan tambahan minyak dan tidak bisa mendapatkannya. Oleh karena itu, potensi (kenaikan produksi pada 2019) sangat kecil kecuali ada perubahan besar di suplai dan permintaan," ujar Khalid al-Falih, Menteri Energi Arab Saudi, dikutip dari Reuters. Sebagai informasi, Arab Saudi adalah pemimpin OPEC secara de facto.
Hal senada juga diutarakan oleh Menteri Energi Rusia Alaxander Novak. Novak berpendapat bahwa kenaikan produksi secara tiba-tiba belum diperlukan, meskipun dia percaya bahwa perang dagang AS-China sekaligus sanksi AS pada Iran merupakan tantangan baru bagi pasar minyak global.
"Permintaan minyak akan menurun pada kuartal IV tahun ini, dan kuartal I tahun depan. Sejauh ini, kita memutuskan untuk tetap berpegang pada kesepakatan Juni," ujar Novak, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai catatan, OPEC dan Rusia sepakat pada akhir 2016 untuk memangkas pasokan sekitar 1,8 juta barel/hari, dengan tujuan mengerek harga minyak dunia yang sedang loyo. Dua tahun setelahnya, pemangkasan produksi pun terjadi bahkan dengan skala lebih besar karena penurunan dari Venezuela dan Libya. Hal ini lantas berhasil melambungkan kembali harga sang emas hitam.
Merespons itu, saham-saham sektor energi di Indonesia pun melaju. Harga saham PT Medco Energi International Tbk (MEDC) naik 9,2%, PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) tumbuh 2,33%, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menguat 1,97%, dan PT Elnusa Tbk (ELSA) melambung 6,98%.
Jika harga minyak masih melanjutkan relinya pada hari ini, bukan tidak mungkin saham-saham tersebut kembali menguat lebih lanjut, diikuti saham energi lainnya yakni emiten batu bara yang bisa kecipratan berkah.
NEXT
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular