Newsletter

Perang Dagang Mungkin Reda, Tapi Tetap Harus Waspada

Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 September 2018 05:38
Perang Dagang Mungkin Reda, Tapi Tetap Harus Waspada
Bursa Efek Indonesia (REUTERS/Iqro Rinaldi)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu melesat signifikan sementara rupiah malah melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). 

Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,06%. Bursa saham Asia lainnya juga melesat, seperti Nikkei 255 (+1,08%), Hang Seng (+1,19%), Shanghai Composite (+1,14%), dan Straits Times (+1,19%). 


Transaksi berlangsung semarak dengan volume 9,78 miliar unit saham, jauh mengalahkan rata-rata volume transaksi harian sepanjang tahun ini yaitu 7,24 miliar unit. Nilai transaksi adalah Rp 6,6 triliun, sementara frekuensi perdagangan 408.960 kali. 

Eskalasi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China tidak menciutkan nyali investor untuk masuk ke bursa saham Benua Kuning. Sebelumnya, AS mengumumkan bakal menerapkan bea masuk 10% bagi importasi produk-produk China dengan nilai total US$ 200 miliar mulai 24 September. China pun membalasnya dengan penerapan bea masuk 10% untuk importasi produk buatan AS senilai US$ 60 miliar, berlaku mulai 24 September.   

Investor tampaknya lebih memilih untuk melihat sisi positif dari ronde terbaru perang dagang AS-China. Sikap AS yang tak langsung mengenakan bea masuk senilai 25% memberikan persepsi bahwa pihak Negeri Paman Sam masih mencoba untuk membuka ruang negosiasi dengan China. Pekan lalu, AS telah mengirimkan undangan kepada China untuk melakukan perundingan dagang. 

Selain itu, bea masuk sebesar 10% yang diterapkan Negeri Tirai Bambu juga masih di bawah yang selama ini didengungkan yaitu 20%. Besaran bea masuk yang masih lebih kecil dari rencana semula ini lantas mendorong investor untuk memasuki pasar saham Asia.  

Dari dalam negeri, sentimen positif datang dari rilis data penjualan mobil. Sepanjang Agustus 2018, penjualan mobil di Tanah Air tumbuh 5,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) menjadi 102.197 unit. Kuatnya penjualan mobil memberikan indikasi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia tetap kuat, terlepas dari rupiah yang terus melemah. 

Sementara itu, nilai tukar rupiah justru ditutup melemah 0,13% terhadap dolar AS di pasar spot. Mata uang Tanah Air bahkan menjadi yang terlemah di Benua Asia. 

Rupiah gagal memanfaatkan situasi dolar AS yang sebenarnya sedang tertekan. Perang dagang AS vs China yang biasanya menjadi obat kuat bagi greenback telah berubah menjadi racun.

Penerapan bea masuk terhadap produk-produk China berpotensi untuk merepotkan AS sendiri. 
Sebab, industri dan konsumen AS masih membutuhkan barang-barang made in China baik itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi. Saat dikenakan bea masuk, maka biaya importasi akan naik dan menjadi beban bagi dunia usaha dan masyarakat secara luas.  

Saat ini saja optimisme pelaku usaha di AS sudah berkurang karena memanasnya perang dagang dengan China. Angka Purchasing Managers Index di AS versi Markit pada Agustus berada di 54,7. Pelaku usaha masih optimistis karena nilainya di atas 50, tetapi pencapaian Agustus turun cukup jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.

Faktor ini menjadi pemberat langkah dolar AS. Diliputi persepsi suramnya prospek ekonomi AS, greenback dan aset-aset berbasis mata uang ini terimbas aksi jual. Akhirnya nilai tukar dolar AS melemah secara luas, termasuk di Asia. 

Namun sentimen domestik justru menjadi pemberat rupiah. Kementerian Perdagangan merilis aturan bahwa ekspor sejumlah komoditas wajib menggunakan Letters of Credit (L/C) dari perbankan nasional.

Eksportir juga akan diwajibkan mengonversi hasil ekspornya ke rupiah.
 Hal ini dilakukan untuk meningkatkan likuiditas valas di pasar dalam negeri sehingga diharapkan mampu menjadi penopang bagi penguatan rupiah.

Akan tetapi, peraturan soal konversi devisa hasil ekspor itu perlu diselaraskan dengan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI).
 Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengungkapkan pihaknya bahkan belum mengetahui soal aturan dari Kementerian Perdagangan tersebut.

BI pun merespons dengan nada yang kurang lebih sama. Mengutip Reuters, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan BI belum berencana membuat aturan baru untuk menyelaraskan dengan peraturan Kementerian Perdagangan.   

Perkembangan ini membuat operasi penyelamatan rupiah menjadi samar-samar. Konversi devisa hasil ekspor adalah isu besar yang mampu berdampak signifikan terhadap rupiah. Namun kebijakan ini sepertinya masih jauh panggang dari api.  


Dari Wall Street, tiga indeks utama berakhir variatif tetapi cenderung menguat. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,61%, S&P 500 bertambah 0,12%, tetapi Nasdaq Composite terkoreksi tipis 0,05%. 

Sejak akhir pekan lalu, dolar AS mengalami tekanan. Ini terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) yang melemah 0,4%. 

Pelemahan dolar AS membuat instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi kehilangan pamor. Akibatnya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bergerak naik, yang menandakan harga sedang terkoreksi karena terjadi tekanan jual. Sejak akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun naik 7,23 basis poin, cukup signifikan. 


Kenaikan yield obligasi pemerintah membuat saham-saham perbankan di Wall Street melesat. Maklum, perbankan adalah pihak yang banyak memegang obligasi pemerintah. Kenaikan yield tentu akan membantu mendongkrak laba mereka. 

Indeks sektor keuangan di DJIA melesat 2,41%. Sementara saham-saham perbankan yang melejit antara lain Goldman Sachs ( 2,92%), JPMorgan Chase ( 2,9%), Citigroup ( 3,31%), dan Wells Fargo ( 1,32%). 

Selain itu, kenaikan yield menandakan pasar obligasi AS sedang bearish. Aliran dana investor lebih deras mengalir ke pasar saham. 

Sektor kedua yang menyumbang penguatan Wall Street adalah energi. Indeks sektor energi di DJIA naik 1,18%. 

Penyebabnya adalah kenaikan harga minyak. Pada pukul 04:29 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,34% sementara light sweet melonjak sampai 2,28%. Light sweet adalah jenis minyak yang dipakai di AS. 

Lonjakan harga minyak jenis light sweet terjadi setelah rilis data cadangan minyak AS. Sampai pekan lalu, cadangan minyak Negeri Paman Sam turun 2,1 juta barel dibandingkan pekan sebelumnya menjadi 394,1 juta barel. Cadangan minyak AS mencapai titik terendah sejak Februari 2015. 

Penurunan cadangan minyak dikhawatirkan mempengaruhi pasokan di pasar. Sementara permintaan masih cukup tinggi mengingat ekonomi AS diperkirakan tumbuh di kisaran 4% pada kuartal III-2018. Kombinasi pasokan yang berkurang ditambah permintaan yang naik tentu menghasilkan kenaikan harga. 

Saham-saham emiten migas pun melompat cukup signifikan. Harga saham Exxon Mobil naik 1,19% sementara Chevron bertambah 1,17%. 

Namun saham-saham teknologi mengalami tekanan sehingga membuat indeks Nasdaq terkoreksi. Saham Microsoft anjlok 1,33% setelah pengumuman dividen kuartalan yang naik 10% secara tahunan. Morgan Stanley menyebutkan jumlah itu di bawah pertumbuhan laba operasional selama 12 bulan terakhir sehingga membuat investor kecewa dan melepas saham Microsoft. 


Untuk perdagangan hari ini, investor perlu mencermati sejumlah sentimen. Pertama tentunya kinerja Wall Street yang meski mixed tetapi cenderung menguat.  

Terlihat bahwa sentimen perang dagang AS-China sudah tidak lagi mempengaruhi bursa saham New York. Semoga sikap optimistis ini menular ke bursa saham Asia sehingga menciptakan penguatan lebih lanjut. 

Sentimen kedua, meski sudah sedikit mereda, adalah perang dagang AS vs China. Meski repons pelaku pasar masih positif, tetapi tetap ada risiko friksi Washington-Beijing mengarah ke skala yang lebih besar. 

Selain mengumumkan besaran bea masuk baru yang akan dikenakan bagi produk-produk made in USA, kemarin Menteri Perdagangan China juga menyampaikan protes kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Aksi protes Beijing ini berisiko menyulut kemarahan Negeri Adidaya.  

Kemudian, kepemilikan China di obligasi pemerintah AS pada akhir Juli tercatat US$ 1,171 triliun. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 1,178 triliun. Posisi Juli merupakan yang terendah dalam 6 bulan terakhir. 


Data ini bisa dipandang sebagai salah satu langkah Negeri Panda untuk membalas kebijakan bea masuk terbaru AS. Sebagai informasi, China adalah investor asing terbesar di surat utang pemerintah AS. 

Lagi-lagi, hal ini juga berpeluang membuat AS lebih kebakaran jenggot. Melihat perilaku Presiden AS Donald Trump yang mudah panas, bukan tidak mungkin rencana tambahan bea masuk kepada produk China senilai US$ 267 miliar jadi dieksekusi. Bila ini terjadi, maka balas dendam China tinggal menunggu waktu. 

Mengingat AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi, friksi di antara keduanya tentu akan mempengaruhi seluruh negara. Apabila tensi antara kedua raksasa ekonomi itu tereskalasi, arus perdagangan global akan seret dan pertumbuhan ekonomi dipastikan melambat. 


Faktor kedua yang perlu diperhatikan adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Dalam 2 hari perdagangan terakhir, greenback bergerak labil dengan bolak-balik masuk zona merah dan hijau. 


Pada pukul 04:48 WIB, Dollar Index melemah 0,1%. Meski masih terkoreksi, tetapi sudah menipis dibandingkan kemarin yang sempat di kisaran 0,2%. 

Oleh karena itu, investor perlu mewaspadai pergerakan dolar AS. Greenback bisa kembali menguat sewaktu-waktu. 

Hal yang bisa menjadi stimulus bagi dolar AS adalah rapat The Federal Reserve/The Fed yang semakin dekat yaitu 26 September. Apalagi dalam rapat ini kemungkinan besar akan terjadi kenaikan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin pada rapat tersebut mencapai 94,4%. Agak turun dibandingkan sebelumnya yang sempat di kisaran 98-99%, tetapi masih sangat besar. Hampir pasti. 

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di dolar AS dan instrumen berbasis mata uang ini (terutama yang berpendapatan tetap) menjadi kian manis. Pelaku pasar tentu akan berkerumun di sekitar dolar AS saat terjadi kenaikan suku bunga, sehingga nilai mata uang ini naik atau semakin mahal. 

Jika sentimen suku bunga lebih dominan dibandingkan perang dagang, maka bersiaplah untuk menghadapi penguatan dolar AS. Namun selama isu perang dagang masih jadi perhatian utama, greenback akan bergerak labil cenderung melemah. 

Sentimen keempat adalah kewaspadaan yang perlu ditingkatkan karena ada kemungkinan investor kembali mencermati performa negara berkembang dengan seksama. Hal ini seiring dirilisnya data pertumbuhan ekonomi Argentina. 

Pada kuartal II-2018, ekonomi Negeri Tango terkontraksi alias minus 4,2%. Ini merupakan pencapaian terburuk sejak kuartal III-2014. 

Suku bunga acuan yang didongkrak sampai ke 60% hanya mampu memperlambat laju ekonomi, tapi tidak berhasil menyelamatkan mata uang peso. Sejak awal tahun, peso sudah ambrol 53,2%. 

Perkembangan di Argentina bisa membuat pasar menyoroti negara-negara berkembang lainnya seperti Turki, Afrika Selatan, bahkan Indonesia. Meski Indonesia belum sampai mengalami kontraksi ekonomi (amit-amit), tetapi ada satu hal yang bisa menjadi alasan bagi pasar untuk 'menghukum' Indonesia, yaitu transaksi berjalan (current account). 

Pada kuartal III-2018, transaksi berjalan Indonesia berpotensi mengalami defisit yang lumayan dalam. Indikasinya adalah defisit neraca perdagangan yang pada Juli dan Agustus masing-masing US$ 2,03 miliar dan US$ 1,02 miliar, cukup besar. 

Artinya, pasokan devisa dari sektor perdagangan semakin terbatas. Sementara dari pasar keuangan, arus devisa juga sudah 'dikavling' oleh AS. Ini membuat prospek rupiah menjadi suram, sulit untuk menguat karena kekurangan 'darah' yaitu pasokan devisa. 

Sentimen perang dagang boleh jadi sudah mereda. Namun bukan berarti kita tidak harus waspada, karena masih ada berbagai risiko yang menghantui pasar. 


Berikut adalah peristiwa-peristiwa yang akan terjadi hari ini:
  • Rilis data penjualan ritel Inggris periode Agustus 2018 (15:30 WIB).
  • Rilis data indeks manufaktur The Fed Philadelphia periode September 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data klaim pengangguran AS dalam sepekan hingga 14 September 2018 (19:30 WIB).
  • Rilis data keyakinan konsumen zona Eropa periode September 2018 (21:00 WIB).

Investor juga perlu mencermati agenda perusahaan yang akan diselenggarakan pada hari ini, yaitu:

PerusahaanJenis KegiatanWaktu
PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP)RUPSLB10:00
PT Sumber Energi Andalan Tbk (ITMA)RUPS Tahunan10:00
PT Pelita Samudera Shipping Tbk (PSSI)RUPSLB10:00
PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP)RUPSLB13:00
PT Bank JTrust Indonesia Tbk (BCIC)RUPSLB14:30

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:  

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Q II-2018 YoY)5.27%
Inflasi (Agustus 2018 YoY)3.20%
Defisit anggaran (APBN 2018)-2.19% PDB
Transaksi berjalan (Q II-2018)-3.04% PDB
Neraca pembayaran (Q II-2018)-US$ 4.31 miliar
Cadangan devisa (Agustus 2018)US$ 117.9 miliar

Untuk mendapatkan informasi seputar data-data pasar, silakan klik di sini.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular