Mata Uang Asia Sudah Perkasa, Kenapa Rupiah Masih Loyo?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 17:03
Mata Uang Asia Sudah Perkasa, Kenapa Rupiah Masih Loyo?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan pasar spot hari ini. Rupiah gagal menyalip dolar AS yang sejatinya tengah tertekan. 

Pada Rabu (19/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.870 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,13% dibandingkan penutupan sehari sebelumnya. 

Saat pembukaan stagnan, posisi rupiah tidak berubah dari perdagangan kemarin alias stagnan. Namun seiring perjalanan, rupiah terus melemah hingga dolar AS mampu menyentuh kisaran Rp 14.900. 

Jelang tengah hari, depresiasi rupiah menipis dan dolar AS berhasil didorong ke bawah Rp 14.900. Meski begitu, rupiah gagal menyentuh zona hijau seperti kemarin.

 
Posisi terlemah rupiah hari ini ada di Rp 14.905/US$, sedangkan terkuatnya adalah Rp 14.850/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hari ini: 

 

Dolar AS bergerak variatif di pasar spot Asia. Di jajaran mata uang yang melemah, rupiah menjadi yang terlemah di Benua Kuning. Posisi kedua ditempati rupee India. 

Sedangkan untuk yang mampu menguat, baht Thailand menjadi yang terbaik. Faktor domestik jadi pendorong penguatan mata uang Negeri Gajah Putih. 

Hari ini, Bank Sentral Thailand (BoT) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 1,5%. Posisi (stance) kebijakan moneter pun tetap bertahan akomodatif. 

Namun, kini jumlah anggota komite yang memilih kenaikan suku bunga acuan bertambah menjadi dua orang. Dalam dua rapat sebelumnya, hanya satu orang yang memilih kenaikan suku bunga. 

Artinya, ruang untuk kenaikan suku bunga di Thailand kian terbuka. Apabila baht semakin melemah akibat ketidakpastian ekonomi global, bukan tidak mungkin suku bunga akan dinaikkan untuk membendung arus modal keluar. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:17 WIB: 

 

Sebagian besar mata uang utama Asia mampu memanfaatkan situasi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 16:23 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah sampai 0,25%. 

Perang dagang AS vs China yang biasanya menjadi obat kuat bagi greenback telah berubah menjadi racun. Penerapan bea masuk terhadap produk-produk China berpotensi untuk merepotkan AS sendiri. 

Sebab, industri dan konsumen AS masih membutuhkan barang-barang made in China baik itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi. Saat dikenakan bea masuk, maka biaya importasi akan naik dan menjadi beban bagi dunia usaha dan masyarakat secara luas. 

Selain itu, perang dagang AS vs China juga akan mempengaruhi rantai pasok (supply chain) dunia. Maklum, AS dan China adalah perekonomian terbesar di bumi sehingga saat mereka saling hambat dampaknya akan dirasakan oleh seluruh negara. Risiko perlambatan ekonomi AS akibat perang dagang pun terbuka lebar.

Saat ini saja optimisme pelaku usaha di AS sudah berkurang karena memanasnya perang dagang dengan China. Angka Purchasing Managers Index di AS versi Markit pada Agustus berada di 54,7. Perlaku usaha masih optimistis karena nilainya di atas 50, tetapi pencapaian Agustus turun cukup jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.  

"Keputusan Presiden Trump sangat ceroboh. Ini akan melukai berbagai pihak di penjuru negeri," tegas Dean Garfield, Presiden Information Technology Industry Council, dikutip dari Reuters. 

Suara kritis juga datang dari Kenneth Jarrett, Presiden US Chambers of Commerce. Menurutnya seperempat anggota kamar dagang AS akan terkena dampak negatif dari bea masuk atas produk China. Penerapan bea masuk untuk memancing investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS juga dinilainya tidak akan berhasil, yang ada malah lapangan kerja menyusut karena kenaikan beban dunia usaha. 

Faktor ini menjadi pemberat langkah dolar AS. Diliputi persepsi suramnya prospek ekonomi AS, greenback dan aset-aset berbasis mata uang ini terimbas aksi jual. Akhirnya nilai tukar dolar AS melemah secara luas, termasuk di Asia. 


Namun situasi ini gagal dimanfaatkan oleh rupiah. Bahkan rupiah menyandang status sebagai mata uang dengan depresiasi terdalam di Asia pada hari ini. 

Jika sentimen domestik jadi pendorong penguatan baht, maka di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Sentimen domestik justru menjadi beban buat rupiah. 

Kementerian Perdagangan merilis aturan bahwa ekspor sejumlah komoditas wajib menggunakan Letters of Credit (L/C) dari perbankan nasional. Eksportir juga akan diwajibkan mengonversi hasil ekspornya ke rupiah.


Hal ini dilakukan untuk meningkatkan likuiditas valas di pasar dalam negeri sehingga diharapkan mampu menjadi penopang bagi penguatan rupiah. Akan tetapi, peraturan soal konversi devisa hasil ekspor itu perlu diselaraskan dengan lembaga lain seperti Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia.

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengungkapkan pihaknya bahkan belum mengetahui soal aturan dari Kementerian Perdagangan tersebut. "Belum tahu, belum ada pembahasan soal itu. Nanti akan di-update," kata Suahasil. 


BI pun merespons dengan nada yang kurang lebih sama. Mengutip Reuters, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan BI belum berencana membuat aturan baru untuk menyelaraskan dengan peraturan Kementerian Perdagangan.  

Perkembangan ini membuat operasi penyelamatan rupiah menjadi samar-samar. Konversi devisa hasil ekspor adalah isu besar yang mampu berdampak signifikan terhadap rupiah. Namun kebijakan ini sepertinya masih jauh panggang dari api. 

Akibatnya, investor masih cenderung melepas rupiah karena kurang yakin terhadap prospek mata uang ini. Apalagi data defisit neraca perdagangan Agustus yang mencapai US$ 1,02 miliar masih lekat di benak pelaku pasar. Defisit neraca perdagangan yang lumayan dalam pada Juli-Agustus membuat transaksi berjalan pada kuartal III-2018 berpotensi kembali defisit cukup signifikan. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular