
Mata Uang Asia Sudah Perkasa, Kenapa Rupiah Masih Loyo?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 17:03

Sebagian besar mata uang utama Asia mampu memanfaatkan situasi dolar AS yang sedang tertekan. Pada pukul 16:23 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) melemah sampai 0,25%.
Perang dagang AS vs China yang biasanya menjadi obat kuat bagi greenback telah berubah menjadi racun. Penerapan bea masuk terhadap produk-produk China berpotensi untuk merepotkan AS sendiri.
Sebab, industri dan konsumen AS masih membutuhkan barang-barang made in China baik itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi. Saat dikenakan bea masuk, maka biaya importasi akan naik dan menjadi beban bagi dunia usaha dan masyarakat secara luas.
Selain itu, perang dagang AS vs China juga akan mempengaruhi rantai pasok (supply chain) dunia. Maklum, AS dan China adalah perekonomian terbesar di bumi sehingga saat mereka saling hambat dampaknya akan dirasakan oleh seluruh negara. Risiko perlambatan ekonomi AS akibat perang dagang pun terbuka lebar.
Saat ini saja optimisme pelaku usaha di AS sudah berkurang karena memanasnya perang dagang dengan China. Angka Purchasing Managers Index di AS versi Markit pada Agustus berada di 54,7. Perlaku usaha masih optimistis karena nilainya di atas 50, tetapi pencapaian Agustus turun cukup jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
"Keputusan Presiden Trump sangat ceroboh. Ini akan melukai berbagai pihak di penjuru negeri," tegas Dean Garfield, Presiden Information Technology Industry Council, dikutip dari Reuters.
Suara kritis juga datang dari Kenneth Jarrett, Presiden US Chambers of Commerce. Menurutnya seperempat anggota kamar dagang AS akan terkena dampak negatif dari bea masuk atas produk China. Penerapan bea masuk untuk memancing investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS juga dinilainya tidak akan berhasil, yang ada malah lapangan kerja menyusut karena kenaikan beban dunia usaha.
Faktor ini menjadi pemberat langkah dolar AS. Diliputi persepsi suramnya prospek ekonomi AS, greenback dan aset-aset berbasis mata uang ini terimbas aksi jual. Akhirnya nilai tukar dolar AS melemah secara luas, termasuk di Asia.
(aji/aji)
Perang dagang AS vs China yang biasanya menjadi obat kuat bagi greenback telah berubah menjadi racun. Penerapan bea masuk terhadap produk-produk China berpotensi untuk merepotkan AS sendiri.
Sebab, industri dan konsumen AS masih membutuhkan barang-barang made in China baik itu bahan baku, barang modal, atau barang konsumsi. Saat dikenakan bea masuk, maka biaya importasi akan naik dan menjadi beban bagi dunia usaha dan masyarakat secara luas.
Saat ini saja optimisme pelaku usaha di AS sudah berkurang karena memanasnya perang dagang dengan China. Angka Purchasing Managers Index di AS versi Markit pada Agustus berada di 54,7. Perlaku usaha masih optimistis karena nilainya di atas 50, tetapi pencapaian Agustus turun cukup jauh dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 55,7.
"Keputusan Presiden Trump sangat ceroboh. Ini akan melukai berbagai pihak di penjuru negeri," tegas Dean Garfield, Presiden Information Technology Industry Council, dikutip dari Reuters.
Suara kritis juga datang dari Kenneth Jarrett, Presiden US Chambers of Commerce. Menurutnya seperempat anggota kamar dagang AS akan terkena dampak negatif dari bea masuk atas produk China. Penerapan bea masuk untuk memancing investasi dan penciptaan lapangan kerja di AS juga dinilainya tidak akan berhasil, yang ada malah lapangan kerja menyusut karena kenaikan beban dunia usaha.
Faktor ini menjadi pemberat langkah dolar AS. Diliputi persepsi suramnya prospek ekonomi AS, greenback dan aset-aset berbasis mata uang ini terimbas aksi jual. Akhirnya nilai tukar dolar AS melemah secara luas, termasuk di Asia.
(aji/aji)
Pages
Most Popular