Rupiah Salip Dolar AS dan Jadi Terbaik Keempat di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2018 16:40
Rupiah Salip Dolar AS dan Jadi Terbaik Keempat di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil berbalik menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah hampir seharian berada di zona depresiasi, sebelum menguat jelang akhir perdagangan. 

Pada Selasa (18/9/2018), US$ 1 diperdagangkan Rp 14.850. Rupiah mampu menguat tipis 0,13% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Rupiah memulai hari dengan depresiasi 0,1%. Setelah itu, pelemahan rupiah kian menjadi dan dolar AS sempat nyaman di level Rp 14.900. 

Selepas tengah hari, dolar AS mulai kedodoran. Mendekati garis finis, laju dolar AS semakin melambat. Mata uang Negeri Paman Sam akhirnya harus rela disalip rupiah di beberapa tikungan terakhir. 

Posisi terlemah rupiah hari ini ada di Rp 14.930/US$. Sementara terkuatnya adalah Rp 14.850/US$ yaitu saat penutupan pasar. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hari ini: 

 

Tidak hanya melawan rupiah, dolar AS pun disalip oleh berbagai mata uang utama Asia. Won Korea Selatan jadi mata uang dengan penguatan tertajam di Benua Kuning, disusul oleh dolar Singapura dan peso Filipina. Rupiah berada di posisi keempat. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pukul 16:08 WIB: 

 

Awalnya, dolar AS begitu perkasa di Asia termasuk di hadapan rupiah. Hal ini didorong oleh kenaikan tensi perang dagang AS vs China. 

Presiden AS Donald Trump pagi tadi waktu Indonesia mengumumkan bea masuk baru sebesar 10% terhadap ribuan produk made in China. Nilai impor produk-produk tersebut mencapai US$ 200 miliar. Pada akhir tahun, tarif bea masuk ini bakal naik menjadi 25%. 

Sejak pagi hari investor dibuat panik. Maklum, pelaku pasar mencemaskan China akan membalas dengan lebih kejam.

Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam.

Dalam pernyataan resminya seperti dikutip dari Reuters, Kementerian Perdagangan China menegaskan Beijing tidak punya pilihan selain membalas kelakuan Washington. Bahkan China bersikap sangat keras dengan meminta AS mengubah perilakunya. 

Saat China membalas, maka perang dagang babak baru resmi berlangsung. Saling hambat perdagangan antara dua kekuatan ekonomi terbesar di dunia tentu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global. Risiko itu sangat dikhawatirkan oleh pelaku pasar. 

Akibatnya, pemilik modal cenderung enggan mengambil risiko. Mode risk-on terpasang dan investor memilih bermain aman. Aset-aset safe haven seperti dolar AS dan yen Jepang menjadi buruan. Dolar AS pun melaju karena tingginya permintaan. 


Namun setelah dicerna lagi, ternyata perang dagang justru menjadi risiko bagi greenback. Sebab, ada tendensi perang dagang AS-China akan menuju ke arah yang lebih parah. China bahkan dikabarkan siap memangkas ekspor sejumlah bahan baku dan barang modal ke AS. Kebijakan ini akan menghambat rantai pasok di AS, kebijakan yang akan sangat memukul industri dan konsumen di Negeri Adidaya.

Apabila industri dan konsumsi AS sampai lesu karena blokade China, maka pertumbuhan ekonomi AS akan melambat. Dampaknya adalah The Federal Reserve/The Fed tidak perlu terlampau agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada rapat The Fed 26 September memang masih sangat tinggi yaitu 94,4%. Namun angka ini sebenarnya menyusut karena sebelumnya sempat mencapai kisaran 98-99%. 

Dengan bayang-bayang probabilitas kenaikan suku bunga yang menipis, dolar AS jadi kehilangan energi. Hasilnya adalah greenback perlahan melambat dan mampu disusul oleh rupiah dkk di Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular