
Newsletter
AS-China Siap Damai Dagang, Tapi Donald Trump Masih Songong
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 September 2018 06:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak variatif pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat dengan penguatan signifikan sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,04%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mengakhiri hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,96%, Hang Seng melompat 2,54%, Shanghai Composite melejit 1,15%, Kospi naik 0,14%, dan Straits Time bertambah 0,23%.
Faktor utama pendorong kinerja bursa saham Benua Kuning adalah kabar rencana perundingan dagang AS-China. Mengutip Wall Street Journal, Washington telah mengontak Beijing untuk membahas rencana dialog perdagangan.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diberitakan telah mengirim undangan kepada sejumlah pejabat di China, termasuk Perdana Menteri Liu He, untuk berbicara soal isu-isu perdagangan. Sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan, waktu dan tempat pertemuan belum jelas, tetapi kemungkinan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika perundingan jadi dilakukan, maka pelaku pasar berharap bahwa bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar yang sudah melewati tahap dengar pendapat tidak jadi diterapkan oleh AS. Pasalnya, besarnya nilai barang yang disasar pasti mempengaruhi laju perekonomian kedua negara.
Perkembangan ini menciptakan euforia di kalangan pelaku pasar Asia. Pertemuan AS-China diharapkan mampu menelurkan hasil positif yang bisa menghapuskan friksi dagang di antara mereka.
Perang dagang AS-China adalah sebuah isu besar yang dampaknya bukan hanya dirasakan kedua negara, tetapi bisa mengglobal. Sebab, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia sehingga saat mereka saling hambat maka arus perdagangan dunia akan macet dan ini tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Kini, ada harapan risiko besar itu tidak terjadi. Maka tidak heran pelaku pasar hanyut dalam optimisme sehingga berani mengambil aset-aset berisiko di negara berkembang Asia.
Namun rupiah tidak seberuntung IHSG. Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,1% di hadapan dolar AS. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun berguguran, hanya menyisakan yuan China, rupee India, dan baht Thailand yang bisa menguat.
Sentimen damai dagang AS-China ternyata tidak cukup untuk membuat dolar AS memperlambat lajunya. Setidaknya ada dua alasan penguatan dolar AS.
Pertama, investor memburu dolar AS karena harganya sudah murah. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,4% dan selama sebulan ke belakang koreksinya mencapai 1,62%.
Pelemahan ini membuat harga dolar AS menjadi semakin terjangkau. Ini tentu menarik minat investor, sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Permintaan yang naik tentu membuat harga mata uang ini naik alias menguat.
Kedua, investor merapat ke dolar AS sembari menanti keputusan suku bunga acuan di tiga bank sentral yaitu Bank Sentral Uni Eropa (ECB), Bank Sentral Inggris (BoE), dan Bank Sentral Turki (TCMB). Kecenderungan ini membuat laju dolar AS tidak tertahankan dan kembali menjadi raja mata uang dunia.
Kemarin, IHSG ditutup menguat 1,04%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mengakhiri hari di teritori positif. Indeks Nikkei 225 naik 0,96%, Hang Seng melompat 2,54%, Shanghai Composite melejit 1,15%, Kospi naik 0,14%, dan Straits Time bertambah 0,23%.
Faktor utama pendorong kinerja bursa saham Benua Kuning adalah kabar rencana perundingan dagang AS-China. Mengutip Wall Street Journal, Washington telah mengontak Beijing untuk membahas rencana dialog perdagangan.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin diberitakan telah mengirim undangan kepada sejumlah pejabat di China, termasuk Perdana Menteri Liu He, untuk berbicara soal isu-isu perdagangan. Sumber di lingkaran Gedung Putih mengungkapkan, waktu dan tempat pertemuan belum jelas, tetapi kemungkinan terjadi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Jika perundingan jadi dilakukan, maka pelaku pasar berharap bahwa bea masuk baru bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar yang sudah melewati tahap dengar pendapat tidak jadi diterapkan oleh AS. Pasalnya, besarnya nilai barang yang disasar pasti mempengaruhi laju perekonomian kedua negara.
Perkembangan ini menciptakan euforia di kalangan pelaku pasar Asia. Pertemuan AS-China diharapkan mampu menelurkan hasil positif yang bisa menghapuskan friksi dagang di antara mereka.
Perang dagang AS-China adalah sebuah isu besar yang dampaknya bukan hanya dirasakan kedua negara, tetapi bisa mengglobal. Sebab, AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di dunia sehingga saat mereka saling hambat maka arus perdagangan dunia akan macet dan ini tentu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Kini, ada harapan risiko besar itu tidak terjadi. Maka tidak heran pelaku pasar hanyut dalam optimisme sehingga berani mengambil aset-aset berisiko di negara berkembang Asia.
Namun rupiah tidak seberuntung IHSG. Pada perdagangan kemarin, rupiah melemah 0,1% di hadapan dolar AS. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun berguguran, hanya menyisakan yuan China, rupee India, dan baht Thailand yang bisa menguat.
Sentimen damai dagang AS-China ternyata tidak cukup untuk membuat dolar AS memperlambat lajunya. Setidaknya ada dua alasan penguatan dolar AS.
Pertama, investor memburu dolar AS karena harganya sudah murah. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,4% dan selama sebulan ke belakang koreksinya mencapai 1,62%.
Pelemahan ini membuat harga dolar AS menjadi semakin terjangkau. Ini tentu menarik minat investor, sehingga permintaan terhadap mata uang ini meningkat. Permintaan yang naik tentu membuat harga mata uang ini naik alias menguat.
Kedua, investor merapat ke dolar AS sembari menanti keputusan suku bunga acuan di tiga bank sentral yaitu Bank Sentral Uni Eropa (ECB), Bank Sentral Inggris (BoE), dan Bank Sentral Turki (TCMB). Kecenderungan ini membuat laju dolar AS tidak tertahankan dan kembali menjadi raja mata uang dunia.
Pages
Most Popular