
Newsletter
AS-China Siap Damai Dagang, Tapi Donald Trump Masih Songong
Raditya Hanung & Hidayat Setiaji & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 September 2018 06:00

Sentimen ketiga adalah perkembangan nilai tukar dolar AS. Pada pukul 05:10 WIB, Dollar Index melemah 0,27%. Ini bisa menjadi peluang bagi rupiah dan mata uang Asia untuk kembali menguat.
Tekanan dolar AS terjadi karena rencana damai dagang AS-China. Walau masih ada risiko, tetapi perkembangan yang ada sudah cukup membuat investor memasang mode risk off, tidak peduli dengan risiko. Aset-aset aman seperti dolar AS ditinggalkan, dan investor mencari cuan yang lebih besar di negara-negara lainnya.
Selain itu, faktor domestik AS juga ikut membebani langkah greenback. Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi laju inflasi domestik sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Agustus. Lebih lambat dari konsensus Reuters yaitu 0,3%.
Secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat sebesar 2,7% di bulan lalu. Pencapaian ini melambat dibandingkan Juli yang sebesar 2,9%.
Inflasi inti (mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi) tercatat 0,1% MtM, juga lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 0,2%. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, inflasi inti adalah 2,2% YoY, melambat dari bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Perkembangan ini memunculkan persepsi bahwa pemulihan ekonomi AS belum secepat yang diperkirakan. Laju kenaikan harga ternyata masih terhambat, belum terakselerasi secara konsisten.
Ada kemungkinan, walau sangat tipis, The Federal Reserve/The Fed berpikir ulang untuk menerapkan kebijakan moneter ekstra ketat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini memang masih sangat tinggi yaitu 95%. Namun sebenarnya angka ini menipis, karena beberapa waktu lalu sempat mencapai kisaran 98-99%.
Dibayangi penurunan potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS kehilangan kekuatan untuk melanjutkan penguatan. Akibatnya, dolar AS pun tertekan.
Namun, investor juga perlu waspada karena dolar AS masih menyimpan energi untuk menguat. Energi itu berasal dari keputusan suku bunga acuan di Eropa yang sesuai ekspektasi, tidak ada kejutan yang berarti.
ECB tetap mempertahankan suku bunga acuan di 0%. Stimulus berupa pembelian surat-surat berharga akan dikurangi setengah menjadi 15 miliar euro mulai bulan depan, seperti yang sudah diperkirakan. Biasanya ECB membeli surat-surat berharga senilai 30 miliar euro, tetapi bulan depan akan mulai berkurang separuhnya untuk diakhiri pada Desember.
Soal suku bunga acuan, ECB juga masih pada posisinya yaitu tetap di posisi sekarang sampai setidaknya pertengahan tahun depan. Horizon yang agak jangka panjang ini di luar kebiasaan bank sentral pada umumnya.
"Dewan memperkirakan suku bunga acuan tetap di besaran saat ini setidaknya sampai musim panas 2019. Bahkan selama mungkin jika diperlukan," sebut pernyataan ECB.
BoE juga tidak mengubah suku bunga di 0,75% karena memang baru dinaikkan bulan lalu. Bahkan BoE memberikan nuansa yang lebih suram pada rapat kali ini.
"Sejak rapat sebelumnya, ada indikasi, utamanya di pasar keuangan, ketidakpastian yang lebih besar tentang proses pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa (Brexit)," sebut pernyataan BoE.
Turki memang menaikkan suku bunga acuan dari 17,75% menjadi 24% atau melonjak 625 basis poin (bps). Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu naik menjadi 22%. Namun sebenarnya angka 24% masih masuk hitungan, karena pasar memperkirakan suku bunga naik dalam kisaran 225-725 bps.
Dinamika rapat bank sentral di Eropa yang relatif minim kejutan bisa membuat dolar AS lagi-lagi menjadi pilihan utama pelaku pasar, seperti yang terjadi kemarin. Jika ini terulang, maka dolar AS lagi-lagi seng ada lawan dan menjadi raja mata uang dunia. Oleh karena itu, rupiah dan kolega di Asia harus tetap waspada.
(aji/aji)
Tekanan dolar AS terjadi karena rencana damai dagang AS-China. Walau masih ada risiko, tetapi perkembangan yang ada sudah cukup membuat investor memasang mode risk off, tidak peduli dengan risiko. Aset-aset aman seperti dolar AS ditinggalkan, dan investor mencari cuan yang lebih besar di negara-negara lainnya.
Selain itu, faktor domestik AS juga ikut membebani langkah greenback. Kementerian Tenaga Kerja AS melaporkan inflasi laju inflasi domestik sebesar 0,2% secara bulanan (month-to-month/MtM) pada Agustus. Lebih lambat dari konsensus Reuters yaitu 0,3%.
Secara tahunan (year-on-year/YoY), inflasi tercatat sebesar 2,7% di bulan lalu. Pencapaian ini melambat dibandingkan Juli yang sebesar 2,9%.
Inflasi inti (mengeluarkan komponen makanan bergejolak dan energi) tercatat 0,1% MtM, juga lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 0,2%. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, inflasi inti adalah 2,2% YoY, melambat dari bulan sebelumnya yaitu 2,4%.
Perkembangan ini memunculkan persepsi bahwa pemulihan ekonomi AS belum secepat yang diperkirakan. Laju kenaikan harga ternyata masih terhambat, belum terakselerasi secara konsisten.
Ada kemungkinan, walau sangat tipis, The Federal Reserve/The Fed berpikir ulang untuk menerapkan kebijakan moneter ekstra ketat. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini memang masih sangat tinggi yaitu 95%. Namun sebenarnya angka ini menipis, karena beberapa waktu lalu sempat mencapai kisaran 98-99%.
Dibayangi penurunan potensi kenaikan suku bunga acuan, dolar AS kehilangan kekuatan untuk melanjutkan penguatan. Akibatnya, dolar AS pun tertekan.
Namun, investor juga perlu waspada karena dolar AS masih menyimpan energi untuk menguat. Energi itu berasal dari keputusan suku bunga acuan di Eropa yang sesuai ekspektasi, tidak ada kejutan yang berarti.
ECB tetap mempertahankan suku bunga acuan di 0%. Stimulus berupa pembelian surat-surat berharga akan dikurangi setengah menjadi 15 miliar euro mulai bulan depan, seperti yang sudah diperkirakan. Biasanya ECB membeli surat-surat berharga senilai 30 miliar euro, tetapi bulan depan akan mulai berkurang separuhnya untuk diakhiri pada Desember.
Soal suku bunga acuan, ECB juga masih pada posisinya yaitu tetap di posisi sekarang sampai setidaknya pertengahan tahun depan. Horizon yang agak jangka panjang ini di luar kebiasaan bank sentral pada umumnya.
"Dewan memperkirakan suku bunga acuan tetap di besaran saat ini setidaknya sampai musim panas 2019. Bahkan selama mungkin jika diperlukan," sebut pernyataan ECB.
BoE juga tidak mengubah suku bunga di 0,75% karena memang baru dinaikkan bulan lalu. Bahkan BoE memberikan nuansa yang lebih suram pada rapat kali ini.
"Sejak rapat sebelumnya, ada indikasi, utamanya di pasar keuangan, ketidakpastian yang lebih besar tentang proses pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa (Brexit)," sebut pernyataan BoE.
Turki memang menaikkan suku bunga acuan dari 17,75% menjadi 24% atau melonjak 625 basis poin (bps). Lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yaitu naik menjadi 22%. Namun sebenarnya angka 24% masih masuk hitungan, karena pasar memperkirakan suku bunga naik dalam kisaran 225-725 bps.
Dinamika rapat bank sentral di Eropa yang relatif minim kejutan bisa membuat dolar AS lagi-lagi menjadi pilihan utama pelaku pasar, seperti yang terjadi kemarin. Jika ini terulang, maka dolar AS lagi-lagi seng ada lawan dan menjadi raja mata uang dunia. Oleh karena itu, rupiah dan kolega di Asia harus tetap waspada.
(aji/aji)
Next Page
Simak Agenda dan Data Berikut Ini
Pages
Most Popular