Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar tidak baik datang dari global. Pascapandemi Covid-19, perekonomian global masih dihadapkan oleh tantangan berat. Perlambatan ekonomi tidak bisa dihindari, seiring dengan perang Ukraina dan Rusia yang belum jua usai, tingginya tingkat suku bunga dan krisis utang yang membebani separuh dunia.
Hal ini pun yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepulangnya dari pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Gujarat, India, minggu lalu, 16-18 September 2023.
Dia mengatakan koleganya, menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20, sepakat bahwa kondisi ekonomi global belum kembali ke kondisi normal. Alhasil, pertemuan ini berada dalam suasana yang tidak cukup baik.
"Banyak yang gambarkan kondisinya (ekonomi global) melemah, meski diakui pelemahannya tidak seburuk seperti yang diprediksikan tahun lalu," paparnya, dalam Konferensi Pers APBN Kita, dikutip Selasa (25/7/2023).
Menurut Sri Mulyani, banyak Menteri Keuangan yang menceritakan situasi negaranya cukup buruk. Indikatornya dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang lemah, inflasi tinggi maupun ruang fiskal yang sempit.
"Tren pelemahan itu banyak dilaporkan negara-negara G20 terutama negara-negara besar," terangnya.
Tergambar, Purchasing Managers' Index (PMI) banyak negara maju mengalami kontraksi. Sebanyak 61,9% negara-negara di dunia mengalami kontraksi PMI. Negara tersebut a.l. AS, Eropa, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Italia, Afrika Selatan, Brasil, Singapura dan Malaysia.
"Artinya PMI-nya di bawah 50 dan ini negara-negara yang memiliki peran besar terhadap ekonomi dunia, yaitu Amerika, Eropa, Jerman, Prancis, Jerman, Jepang, Korea," paparnya.
Padahal, dia menuturkan negara-negara ini adalah negara yang memiliki pengaruh besar pada perdagangan dunia.
"Sehingga PMI dari negara-negara ini patut kita waspadai. Apakah ini kecenderungan akan terus melemah dan tentu pada akhirnya mempengaruhi kondisi kinerja perekonomian global," ujarnya.
PMI Indonesia, kata Sri Mulyani, masih mengalami ekspansi yang terus terakselerasi.
"Artinya Indonesia terus bertahan pada posisi ekspansi dan bahkan sekarang posisi akselerasi sementara sebagian besar negara-negara yang merupakan pelaku ekonomi dunia mengalami deselerasi," kata Sri Mulyani.
Hal ini juga menggambarkan bahwa ekonomi Indonesia cukup positif. Sri Mulyani bahkan mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki pertumbuhan terkuat dan persisten tinggi di dunia.
Hal tersebut dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dapat dipertahankan di atas 5 persen dalam 6 kuartal berturut-turut. Bahkan, pertumbuhan ini berpotensi berlanjut pada kuartal II-2023.
Sri Mulyani mengatakan angka pertumbuhan yang konsisten ini dicapai di tengah perang, kenaikan harga pangan, energi serta kenaikan suku bunga.
"Jadi kalau tujuh kuartal itu bisa di atas 5%, itu kita melakukan sesuatu dengan benar," kata Sri Mulyani. Pernyataan ini berarti Indonesia akan kembali membukukan pertumbuhan di atas 5% pada kuartal II-2023, setelah enam kuartal berturut-turut tumbuh di atas 5% atau tepatnya sejak kuartal IV-2021.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,1% pada kuartal II-2023. Perkembangan postif ini dibagikannya kepada menteri keuangan G20 dan mereka terpukau dengan kinerja ekonomi Indonesia.
"Indonesia sekarang stay di 5%, mereka drop the jaw (terpukau)," ujar Sri Mulyani. Sementara itu, India dan Turki membukukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Namun, inflasi dan defisit fiskalnya juga cukup tinggi.
Ekonomi India tumbuh 9,1% pada 2022. Ini menunjukkan bahwa India menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat setelah pandemi. S&P Global Ratings bahkan memperkirakan India akan menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat dalam tiga tahun ke depan dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,7%.
Namun, inflasi India masih lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia. Inflasi ritel India, yang diukur dengan indeks harga konsumen (IHK), naik ke level tertinggi tiga bulan sebesar 4,81% pada Juni 2023, dari 4,25% pada Mei tahun ini, mengutip data terbaru dari Kementerian Statistik dan Implementasi Program.
IHK India mencapai level tertinggi 7,79% pada April 2022, dan terendah 4,06% pada Januari 2021. Dilansir CNBC Internasional, India tengah menghadapi kenaikan harga pangan. Alhasil, negara ini melarang ekspor beras non-basmati minggu lalu (20/7/2023).
Negara Asia Selatan itu juga bergulat dengan harga sayur, buah, dan biji-bijian yang tinggi. Harga tomat di India melonjak lebih dari 300% dalam beberapa pekan terakhir karena cuaca buruk.
Sementara itu, defisit fiskal India berada di kisaran 6,4% untuk tahun keuangan terakhir yang berakhir pada 31 Maret 2023, menyempit dari tahun sebelumnya. Namun, angka ini masih jauh dari target Menteri Keuangan Nirmala Sitharaman. India menargetkan tingkat defisit fiskal di bawah 4,5% dari PDB.
Lebih lanjut, Turki telah mengalami pemulihan setelah ekonomi dihantam pandemi. Tingkat inflasi bulanan Turki untuk bulan Juni tercatat lebih rendah dari yang diharapkan, seiring dengan jatuhnya mata uang lira setelah terpilihnya kembali Presiden Recep Tayyip Erdogan.
Indeks harga konsumen (IHK) Turki naik 3,92% bulan ke bulan pada Juni lalu. Angka tersebut lebih rendah dari perkiraan awal para ekonom dan pasar.
Kenaikan terbesar berasal dari harga tembakau dan minuman beralkohol yang melonjak 11,13%, sementara harga restoran dan hotel naik tipis 4,31%. Secara tahunan atau year-on-year (yoy), inflasi Turki masih tinggi, yakni naik 38,21%. Adapun, inflasi Turki sempat menyentuh 85,5% pada Oktober 2022. Ini adalah level tertinggi sepanjang masa.
Adapun, rasio utang pemerintah Turki tercatat sebesar 31,2% dari PDB pada akhir Maret 2022. Sementara itu, utang luar negeri atau external debt-nya mencapai 51.3% dari PDB di 2022, dibandingkan dengan 53.8% pada 2021.
Dari catatan CNBC Indonesia, utang pemerintah ke kreditur internasional mencapai US$ 451 miliar atau Rp 6.765 triliun, dimana utang jangka pendeknya mencapai US$ 185 miliar atau Rp 2.775 triliun.
Seperti Indonesia, posisi fiskal Turki juga mengalami defisit. Pada 2021, defisit negara ini mencapai 201,5 miliar lira dan menurun menjadi 139 miliar lira pada 2022. Namun, defisit ini melebar menjadi 219,64 miliar lira pada Juni 2023.
Meskipun kondisi Turki telah lebih baik seiring dengan berakhirnya pandemi dan kembalinya turis asing ke negara ini, tetapi ekonominya masih membutuhkan waktu untuk kembali stabil.
Negara maju lainnya, yakni Amerika Serikat (AS) masih dibayang-bayangi oleh tekanan inflasi dan suku bunga tinggi.
Total utang publik yang beredar kini telah naik menjadi US$32,5 triliun atau Rp 487.500 triliun. Awal Juni 2023, Kongres meloloskan undang-undang yang akan mengangkat pagu utang AS tepat ketika negara itu berada di ambang gagal bayar. Keputusan itu diambil setelah berbulan-bulan pertengkaran antara Demokrat dan Republik, dan menarik banyak kritik setelahnya.
Pasalnya, kondisi utang AS ini tidak jua membaik. Ray Dalio, manajer investasi Bridgewater, telah memberi peringatan dari ancaman krisis utang Amerika Serikat (AS) yang akan segera terjadi.
Peringatan tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya utang AS melesat US$1 triliun hanya dalam sebulan, setelah ambang batas utang AS dinaikkan.
Melansir YahooFinance, Dalio memperingatkan bulan lalu bahwa perjanjian itu tidak membuat perbedaan dan hanya akan menambah tumpukan utang negara. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan ambang batas utang AS hanyalah usaha memperlambat krisis yang tetap akan terjadi cepat atau lambat.
Di sisi lain, inflasi AS mulai melandai. Biro Statistik Ketenagakerjaan AS mencatat inflasi tahunan AS pada Mei 2023 secara umum mencapai 4% year-on-year (yoy). Sebagai catatan, laju inflasi tersebut sudah turun selama 11 bulan berturut-turut, sekaligus menjadi inflasi terendah sejak Maret 2021.
Sebelumnya, Ekonom Senior Universitas Indonesia M.Chatib Basri mengatakan potensi resesi di AS masih ada. Namun, kondisi ini tidak akan memberikan dampak signifikan. Dia mengungkapkan ada dua faktor yang membayangi ekonomi AS. Pertama adalah pasar tenaga kerja atau labour market.
"Jadi potensi dari (resesi) itu masih ada, karena labour market di US masih strong. Kalau labour market masih strong, bukan tidak mungkin the Fed masih akan menaikkan bunga," kata Chatib.
Patut diwaspadai, lanjut Chatib, AS tengah mengalami fenomena beveridge curve. Kurva ini mencerminkan hubungan negatif antara lowongan dan pengangguran.
"Intinya, kurva ini menunjukkan umployment rate dengan job vacancies, lowongan pekerjaan dengan tingkat pengangguran terbuka. Mestinya kalau tingkat pengangguran sudah sangat rendah, berarti semua orang kerja dong?" ujarnya.
Namun yang terjadi di AS sekarang, tingkat pengangguran rendah, job vacancy tinggi. Artinya semua orang sudah kerja, masih lowong aja kerjaan.
Menurut Chatib, masalahnya ada di sisi pasokan atau supply. Hal ini disebabkan oleh orang-orang yang tidak balik ke pasar tenaga kerja setelah Covid.
"Mungkin migrant workers di Meksiko atau orang-orang Asia yang kena Covid itu pulang dan gak balik atau pindah state, dia gak balik ke pasar kerja," ungkap Komisaris Utama Bank Mandiri tersebut.
Terbukti, hubungan historis antara pengangguran dan inflasi yang digambarkan dalam Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) menunjukkan posisi AS berada di kisaran 3,7%. Idealnya angka ini berada di kisaran 5%. Jika di bawah 5%, berarti masyarakat tidak mau bekerja, tetapi dipaksa bekerja.
"Artinya kalau dia di pasar kerja dia harus dikasih upah tinggi, sekarang tingkat pengangguran di AS 3,7% berarti di bawah 5%. Larry summers katakan kalau mau inflasi normal, tingkat pengangguran di atas 5, jadi tingkat upah turun," papar Chatib.
Kedua, efek dari geopolitik pasti akan mempengaruhi ekonomi AS. Jika China melambat dan ada disrupsi supply chain, maka hal ini ikut menekan AS.
Sementara itu, China baru-baru ini mengumumkan pada Senin (17/7/2023) bahwa produk domestik bruto (PDB) kuartal kedua tumbuh sebesar 6,3% secara tahunan.
Meskipun pertumbuhan ekonomi itu tergolong tinggi, namun masih lebih rendah dari ekspektasi para analis yang disurvei oleh Reuters sebesar 7,3% secara tahunan.
Di sisi lain, tingkat pengangguran di antara kaum muda usia 16 hingga 24 mencapai 21,3% pada Juni, menjadi rekor tinggi baru. Tingkat pengangguran untuk masyarakat di kota-kota adalah 5,2% pada Juni.
Juru bicara Biro Statistik Nasional Fu Linghui mencatat China menghadapi lingkungan internasional geopolitik dan ekonomi yang kompleks. Dia juga mengatakan China masih bisa mencapai target pertumbuhan setahun penuh. Beijing pada Maret menetapkan target pertumbuhan sekitar 5% untuk tahun 2023.
Pertumbuhan China yang lebih rendah dari perkiraan pada kuartal kedua ini terjadi akibat negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu terpukul oleh konsumsi yang lesu, sektor real estate dalam krisis dan kekhawatiran atas deflasi.
Selama hampir tiga tahun, kebijakan nol-Covid Beijing yang ketat memiliki efek buruk bagi pengeluaran konsumen. Ketika pembatasan dicabut pada akhir tahun 2022, jutaan orang berbondong-bondong ke restoran, pusat perbelanjaan, dan pergi liburan. Tapi optimisme itu tidak bertahan lama.
China kehabisan tenaga dan pasar tenaga kerja di bawah tekanan, sehingga lebih dari satu dari lima orang muda menganggur.
"Perusahaan enggan merekrut karena permintaan konsumen lemah, dan konsumen enggan berbelanja karena situasi ekonomi," kata ekonom Larry Hu, dari bank investasi Macquarie, kepada AFP.
"Spiral ke bawah yang terpenuhi dengan sendirinya seperti itu memiliki beberapa kemiripan dengan 'dekade yang hilang' Jepang," kata Hu memperingatkan, merujuk pada stagnasi bertahun-tahun di China.
Tidak seperti negara lain yang tertekan inflasi, China justru mengalami deflasi. Hal ini dipicu oleh konsumen menunda pembelian dengan harapan harga lebih rendah.
Posisi utang China juga cukup mengejutkan. China menjadi salah satu negara dengan utang terbesar selain AS dan Jepang. Bahkan, China dikategorikan sebagai negara yang terancam krisis utang. Analis memperkirakan utang pemerintah China yang belum terbayarkan melampaui 123 triliun yuan atau setara Rp 273.088 triliun tahun lalu. Dari jumlah tersebut, hampir US$ 10 triliun atau Rp 149.794 triliun adalah 'utang tersembunyi' dari pemerintah daerah kota atau provinsi.
"Beijing menghadapi ladang ranjau ekonomi yang dibuatnya sendiri," kata Craig Singleton, peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies di Washington, mengutip CNN International, Rabu (1/2/2023).
"Secara keseluruhan, krisis utang China saat ini merupakan badai yang sempurna."
Indonesia yang Bikin Kaget Dunia
Seperti pernyataan Sri Mulyani di atas, ekonomi Indonesia menunjukkan kinerja yang stabil dan kuat. Kinerja perekonomian domestik terjaga baik, seiring inflasi yang terus menurun dan daya beli masyarakat terjaga kuat. Inflasi Indonesia mencapai 3,52% (yoy) pada Juni 2023, lebih baik dibandingkan negara-negara maju, seperti Italia, Australia, Jerman, dan Singapura.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan di atas 5 persen dalam 6 kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2023, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03% dan pertumbuhan di atas 5% ini diperkirakan akan berlanjut pada kuartal II-2023.
Defisit fiskal Indonesia juga berada dalam level sehat. Sri Mulyani memperkirakan defisit APBN bisa ditekan menjadi Rp 486,4 triliun atau 2,28% terhadap PDB. Dia pun meyakini defisit ini dapat lebih rendah lagi ke depannya.
Per akhir Juni 2023, surplus APBN tercatat lebih tinggi ketimbang periode yang sama pada tahun lalu. Surplus APBN per akhir Juni 2023 sebesar Rp 152,3 triliun atau 0,71% dari PDB, sedangkan tahun lalu hanya mencapai Rp 91,2 triliun atau 0,47% dari PDB.
Surplus ini diikuti pula dengan keseimbangan primer yang juga terjaga surplus sebesar Rp 368 triliun, atau tumbuh hingga 32% dari surplus keseimbangan primer pada 2022 sebesar Rp 279 triliun. Padahal, rancangan untuk tahun ini keseimbangan primer defisit sebesar Rp 156,8 triliun.
"Inilah yang selalu saya sampaikan APBN Indonesia mengalami penyehatan dan konsolidasi yang luar biasa cepat dan kuat tanpa pengaruhi kinerja dari perekonomian," kata Sri Mulyani.
"Perekonomian kita tetap mengalami pemulihan dan pertumbuhannya terjaga, serta perbaikan di bidang kesejahteraan," ucapnya.
Diketahui dalam dua tahun terakhir, ekspor Indonesia alami peningkatan tajam akibat lonjakan harga komoditas. Neraca perdagangan juga berhasil surplus selama 38 bulan beruntun.
"Namun kini karena ekonomi dunia melemah, permintaan ekspor melemah sehingga permintaan barang kontraksi," tegasnya.
Hal ini langsung terlihat pada data ekspor pada Juni 2023 yang turun 21,2% secara year on year (yoy). "Ekspor sampai Juni US$ 20,61 miliar ini kontraksi atau turun 21,2% dibandingkan tahun lalu," ungkap Menkeu.
Impor juga turun tajam pada Juni 2023. Menurut Sri Mulyani, penyebabnya adalah industri manufaktur yang khususnya berorientasi ekspor mengalami tekanan pelemahan permintaan global. "Jadi pasti terpengaruh dengan potensi demand yang lebih kecil," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani berpesan penurunan ini harus diwaspadai. Pasalnya, kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada tahun ini.