
Ekonomi China, India, & AS Ngeri, Tapi RI Paling Bikin Kaget!

Negara maju lainnya, yakni Amerika Serikat (AS) masih dibayang-bayangi oleh tekanan inflasi dan suku bunga tinggi.
Total utang publik yang beredar kini telah naik menjadi US$32,5 triliun atau Rp 487.500 triliun. Awal Juni 2023, Kongres meloloskan undang-undang yang akan mengangkat pagu utang AS tepat ketika negara itu berada di ambang gagal bayar. Keputusan itu diambil setelah berbulan-bulan pertengkaran antara Demokrat dan Republik, dan menarik banyak kritik setelahnya.
Pasalnya, kondisi utang AS ini tidak jua membaik. Ray Dalio, manajer investasi Bridgewater, telah memberi peringatan dari ancaman krisis utang Amerika Serikat (AS) yang akan segera terjadi.
Peringatan tersebut bukan tanpa sebab, pasalnya utang AS melesat US$1 triliun hanya dalam sebulan, setelah ambang batas utang AS dinaikkan.
Melansir YahooFinance, Dalio memperingatkan bulan lalu bahwa perjanjian itu tidak membuat perbedaan dan hanya akan menambah tumpukan utang negara. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan ambang batas utang AS hanyalah usaha memperlambat krisis yang tetap akan terjadi cepat atau lambat.
Di sisi lain, inflasi AS mulai melandai. Biro Statistik Ketenagakerjaan AS mencatat inflasi tahunan AS pada Mei 2023 secara umum mencapai 4% year-on-year (yoy). Sebagai catatan, laju inflasi tersebut sudah turun selama 11 bulan berturut-turut, sekaligus menjadi inflasi terendah sejak Maret 2021.
Sebelumnya, Ekonom Senior Universitas Indonesia M.Chatib Basri mengatakan potensi resesi di AS masih ada. Namun, kondisi ini tidak akan memberikan dampak signifikan. Dia mengungkapkan ada dua faktor yang membayangi ekonomi AS. Pertama adalah pasar tenaga kerja atau labour market.
"Jadi potensi dari (resesi) itu masih ada, karena labour market di US masih strong. Kalau labour market masih strong, bukan tidak mungkin the Fed masih akan menaikkan bunga," kata Chatib.
Patut diwaspadai, lanjut Chatib, AS tengah mengalami fenomena beveridge curve. Kurva ini mencerminkan hubungan negatif antara lowongan dan pengangguran.
"Intinya, kurva ini menunjukkan umployment rate dengan job vacancies, lowongan pekerjaan dengan tingkat pengangguran terbuka. Mestinya kalau tingkat pengangguran sudah sangat rendah, berarti semua orang kerja dong?" ujarnya.
Namun yang terjadi di AS sekarang, tingkat pengangguran rendah, job vacancy tinggi. Artinya semua orang sudah kerja, masih lowong aja kerjaan.
Menurut Chatib, masalahnya ada di sisi pasokan atau supply. Hal ini disebabkan oleh orang-orang yang tidak balik ke pasar tenaga kerja setelah Covid.
"Mungkin migrant workers di Meksiko atau orang-orang Asia yang kena Covid itu pulang dan gak balik atau pindah state, dia gak balik ke pasar kerja," ungkap Komisaris Utama Bank Mandiri tersebut.
Terbukti, hubungan historis antara pengangguran dan inflasi yang digambarkan dalam Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment (NAIRU) menunjukkan posisi AS berada di kisaran 3,7%. Idealnya angka ini berada di kisaran 5%. Jika di bawah 5%, berarti masyarakat tidak mau bekerja, tetapi dipaksa bekerja.
"Artinya kalau dia di pasar kerja dia harus dikasih upah tinggi, sekarang tingkat pengangguran di AS 3,7% berarti di bawah 5%. Larry summers katakan kalau mau inflasi normal, tingkat pengangguran di atas 5, jadi tingkat upah turun," papar Chatib.
Kedua, efek dari geopolitik pasti akan mempengaruhi ekonomi AS. Jika China melambat dan ada disrupsi supply chain, maka hal ini ikut menekan AS.
Sementara itu, China baru-baru ini mengumumkan pada Senin (17/7/2023) bahwa produk domestik bruto (PDB) kuartal kedua tumbuh sebesar 6,3% secara tahunan.
Meskipun pertumbuhan ekonomi itu tergolong tinggi, namun masih lebih rendah dari ekspektasi para analis yang disurvei oleh Reuters sebesar 7,3% secara tahunan.
Di sisi lain, tingkat pengangguran di antara kaum muda usia 16 hingga 24 mencapai 21,3% pada Juni, menjadi rekor tinggi baru. Tingkat pengangguran untuk masyarakat di kota-kota adalah 5,2% pada Juni.
Juru bicara Biro Statistik Nasional Fu Linghui mencatat China menghadapi lingkungan internasional geopolitik dan ekonomi yang kompleks. Dia juga mengatakan China masih bisa mencapai target pertumbuhan setahun penuh. Beijing pada Maret menetapkan target pertumbuhan sekitar 5% untuk tahun 2023.
Pertumbuhan China yang lebih rendah dari perkiraan pada kuartal kedua ini terjadi akibat negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu terpukul oleh konsumsi yang lesu, sektor real estate dalam krisis dan kekhawatiran atas deflasi.
Selama hampir tiga tahun, kebijakan nol-Covid Beijing yang ketat memiliki efek buruk bagi pengeluaran konsumen. Ketika pembatasan dicabut pada akhir tahun 2022, jutaan orang berbondong-bondong ke restoran, pusat perbelanjaan, dan pergi liburan. Tapi optimisme itu tidak bertahan lama.
China kehabisan tenaga dan pasar tenaga kerja di bawah tekanan, sehingga lebih dari satu dari lima orang muda menganggur.
"Perusahaan enggan merekrut karena permintaan konsumen lemah, dan konsumen enggan berbelanja karena situasi ekonomi," kata ekonom Larry Hu, dari bank investasi Macquarie, kepada AFP.
"Spiral ke bawah yang terpenuhi dengan sendirinya seperti itu memiliki beberapa kemiripan dengan 'dekade yang hilang' Jepang," kata Hu memperingatkan, merujuk pada stagnasi bertahun-tahun di China.
Tidak seperti negara lain yang tertekan inflasi, China justru mengalami deflasi. Hal ini dipicu oleh konsumen menunda pembelian dengan harapan harga lebih rendah.
Posisi utang China juga cukup mengejutkan. China menjadi salah satu negara dengan utang terbesar selain AS dan Jepang. Bahkan, China dikategorikan sebagai negara yang terancam krisis utang. Analis memperkirakan utang pemerintah China yang belum terbayarkan melampaui 123 triliun yuan atau setara Rp 273.088 triliun tahun lalu. Dari jumlah tersebut, hampir US$ 10 triliun atau Rp 149.794 triliun adalah 'utang tersembunyi' dari pemerintah daerah kota atau provinsi.
"Beijing menghadapi ladang ranjau ekonomi yang dibuatnya sendiri," kata Craig Singleton, peneliti senior di Foundation for Defense of Democracies di Washington, mengutip CNN International, Rabu (1/2/2023).
"Secara keseluruhan, krisis utang China saat ini merupakan badai yang sempurna."
Indonesia yang Bikin Kaget Dunia
Seperti pernyataan Sri Mulyani di atas, ekonomi Indonesia menunjukkan kinerja yang stabil dan kuat. Kinerja perekonomian domestik terjaga baik, seiring inflasi yang terus menurun dan daya beli masyarakat terjaga kuat. Inflasi Indonesia mencapai 3,52% (yoy) pada Juni 2023, lebih baik dibandingkan negara-negara maju, seperti Italia, Australia, Jerman, dan Singapura.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat dipertahankan di atas 5 persen dalam 6 kuartal berturut-turut. Pada kuartal I-2023, ekonomi Indonesia tumbuh 5,03% dan pertumbuhan di atas 5% ini diperkirakan akan berlanjut pada kuartal II-2023.
Defisit fiskal Indonesia juga berada dalam level sehat. Sri Mulyani memperkirakan defisit APBN bisa ditekan menjadi Rp 486,4 triliun atau 2,28% terhadap PDB. Dia pun meyakini defisit ini dapat lebih rendah lagi ke depannya.
Per akhir Juni 2023, surplus APBN tercatat lebih tinggi ketimbang periode yang sama pada tahun lalu. Surplus APBN per akhir Juni 2023 sebesar Rp 152,3 triliun atau 0,71% dari PDB, sedangkan tahun lalu hanya mencapai Rp 91,2 triliun atau 0,47% dari PDB.
Surplus ini diikuti pula dengan keseimbangan primer yang juga terjaga surplus sebesar Rp 368 triliun, atau tumbuh hingga 32% dari surplus keseimbangan primer pada 2022 sebesar Rp 279 triliun. Padahal, rancangan untuk tahun ini keseimbangan primer defisit sebesar Rp 156,8 triliun.
"Inilah yang selalu saya sampaikan APBN Indonesia mengalami penyehatan dan konsolidasi yang luar biasa cepat dan kuat tanpa pengaruhi kinerja dari perekonomian," kata Sri Mulyani.
"Perekonomian kita tetap mengalami pemulihan dan pertumbuhannya terjaga, serta perbaikan di bidang kesejahteraan," ucapnya.
Diketahui dalam dua tahun terakhir, ekspor Indonesia alami peningkatan tajam akibat lonjakan harga komoditas. Neraca perdagangan juga berhasil surplus selama 38 bulan beruntun.
"Namun kini karena ekonomi dunia melemah, permintaan ekspor melemah sehingga permintaan barang kontraksi," tegasnya.
Hal ini langsung terlihat pada data ekspor pada Juni 2023 yang turun 21,2% secara year on year (yoy). "Ekspor sampai Juni US$ 20,61 miliar ini kontraksi atau turun 21,2% dibandingkan tahun lalu," ungkap Menkeu.
Impor juga turun tajam pada Juni 2023. Menurut Sri Mulyani, penyebabnya adalah industri manufaktur yang khususnya berorientasi ekspor mengalami tekanan pelemahan permintaan global. "Jadi pasti terpengaruh dengan potensi demand yang lebih kecil," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani berpesan penurunan ini harus diwaspadai. Pasalnya, kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan pada tahun ini.
(haa/haa)[Gambas:Video CNBC]
