
Ada Ancaman Penjara, Peritel Desak Utang Rp344 M Dibayar Cash

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha ritel modern mendesak pemerintah segera membayar selisih harga atau rafaksi minyak goreng sebesar Rp344 miliar kepada 31 perusahaan ritel modern.
"Kami minta selesai dalam 2-3 bulan ke depan, sebelum ramai-ramai pesta demokrasi. Kan kampanye itu mulai 5 bulan sebelumnya (sebelum Pemilu 2024). Nah, kemungkinan Agustus itu sudah konsentrasi ke persiapan pesta demokrasi," kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy N Mandey.
Hal itu disampaikan usai bertemu dengan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kepala Badan Kebijakan Perdagangan, dan Staf Khusus Staf Khusus Menteri Perdagangan (Mendag) di kantor Kemendag, Kamis (4/5/2023).
Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, pihaknya sedang berkonsultasi kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait pembayaran rafaksi minyak goreng itu.
Pasalnya, pembayaran yang akan dilakukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak bisa dilakukan jika tanpa payung hukum.
Tanpa itu, kata Zulhas, BPDPKS akan menanggung konsekuensi hukum.
"BPDPKS mau bayar tapi Permendag sudah nggak ada, maka perlu payung hukum kalo itu. Kan BPDPKS mau bayar, dia bayar kalau ada aturan. Kalau nggak (tanpa payung hukum), dia masuk penjara. BPDPKS oke bayar kalau ada aturannya," kaya Zulhas kepada wartawan saat acara Halalbihalal di lingkungan Kemendag, Kamis (4/5/2023).
"Aturan Permendag sudah gak ada, kita perlu fatwa hukum. Itu diminta sekjen ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Kalo udah ada, nanti kita bilang saya bikin surat bayar nih, jadi bukan kita yang bayar, anggarannya gak ada kalo kita," tambah Zulhas.
Sementara itu, Roy menegaskan, pihaknya hanya akan menerima pembayaran secara tunai.
Jika pemerintah kemudian mempertimbangkan kebijakan lain, akan dipelajari terlebih dahulu.
"Kami minta dibayar cash," kata Roy.
"Kalau misalnya pemerintah akan barter, kami pelajari dulu. Tapi, kami minta dibayar cash. Karena cash itu penting bagi ritel untuk membeli barang," kata Roy.
Seperti diketahui, utang sebesar Rpp344 miliar tersebut tersebut berasal dari selisih yang harus dibayarkan pemerintah sebesar Rp3.260 per liter untuk 40 juta liter minyak goreng yang dijual peritel pada periode 19-31 Januari 2022.
Yaitu, saat diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS oleh Menteri Perdagangan (Mendag) kala itu, Muhammad Lutfi.
Lewat Permendag itu, pemerintah memerintahkan peritel menjual minyak goreng merata Rp14.000 per liter.
Padahal, menurut peritel, kala itu pihaknya ada yang harus membeli Rp19.000 bahkan lebih dari Rp20.000 per liter. Sementara, harga keekonomian saat itu Rp17.260 per liter.
Dengan mengacu Permendag No 3/2022, kala itu pemerintah menjanjikan alokasi anggaran sebesar Rp7,6 triliun dari kas Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebagai subsidi mengganti selisih harga pedagang dengan harga pemerintah.
Nahas, Permendag No 3/2022 dicabut dalam hitungan pekan, dan diganti kebijakan baru.
"Jika pemerintah memutuskan tak membayar, kami akan melanjutkan opsi-opsi yang kami pertimbangkan. Termasuk mengurangi pembelian minyak goreng, hingga menghentikan pembelian katanya," katanya.
"Saat ini, kami berupaya menekan opsi upaya hukum. Karena awal ditugaskan dulu kan kami langsung menjalankan, nggak pakai pengacara. Intinya, kami menanti kepastian dari pemerintah, kepastian akan membayar. Karena yang namanya utang harus dibayar," pungkas Roy.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Lebih Takut Kejagung, Kemendag 'Tak Gubris' Ancaman Bos Ritel
