
Ramalan 10 Lembaga Asing: Dunia 2023 Suram, Negara Maju Jatuh

Di tengah tingginya inflasi dan suku bunga kebijakan bank sentral, negara berkembang dan rentan/miskin mungkin akan menghadapi kesulitan bayar utang.
Negara-negara termiskin di dunia menghadapi tiga tahun beban utang yang melonjak, menguras sumber daya vital dari untuk penanganan kesehatan, pendidikan, hingga bantuan sosial.
World Bank atau Bank Dunia mencatat 69 negara berpenghasilan rendah dan menengah akan melakukan pembayaran sebesar US$ 62 miliar atas utang publik di 2022, meningkat 35% dari tahun 2021.
Pembayaran untuk tahun 2023 dan 2024 akan tetap tinggi, Bank Dunia memperingatkan, karena suku bunga yang tinggi, jatuh tempo obligasi dalam jumlah besar, dan karena negara-negara harus mulai melunasi utang yang ditangguhkan selama pandemi.
Lonjakan inflasi telah memaksa bank sentral menaikkan suku bunga secara tajam tahun ini, meningkatkan biaya pinjaman global dalam prosesnya. Nilai dolar juga melonjak karena beberapa kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve AS.
"Tekanan likuiditas yang meningkat di negara-negara miskin berjalan seiring dengan tantangan solvabilitas, menyebabkan utang yang membengkak yang tidak dapat dipertahankan oleh belasan negara," kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam siaran resminya, dikutip Minggu (1/1/2023).
"Dengan prospek pertumbuhan 2022 dipotong setengah, suku bunga jauh lebih tinggi, dan banyak mata uang terdepresiasi, beban utang kemungkinan akan meningkat lebih lanjut," kata Malpass lagi.
Zambia dan Sri Lanka adalah di antara negara-negara yang gagal bayar utang negara sejak awal pandemi. Ghana dan Mesir sedang dalam tahap pembicaraan lanjutan dengan IMF mengenai paket bailout.
Berdasarkan laporan statistik utang tahunan Bank Dunia, total utang sektor publik dan swasta eksternal dari semua negara berpenghasilan rendah dan menengah mencapai $9,3 triliun pada tahun 2021.
Total utang publik dan swasta di 2021 itu naik dari $8,2 triliun pada tahun 2019 dan $8,6 triliun pada tahun 2020.
Bank Dunia dan IMF memiliki data yang sama, keduanya mencatat 60% negara berpenghasilan rendah berada dalam kesulitan untuk membayar utangnya.
Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam wawancaranya terbaru dengan CBS News mengungkapkan, sejauh ini negara-negara yang kesulitan membayar utang, secara sistemik tidak signifikan memicu krisis utang.
"Kita lihat petanya, negara mana sajakah ini? Chad, Ethiopia, Zambia, Ghana, Lebanon, Suriname, Sri Lanka sangat penting untuk menemukan penyelesaian masalah utang, tapi risiko penularannya tidak setinggi itu," jelas Kristalina kepada CBS News, dilansir Minggu (1/1/2023).
Namun Kristalina tak menampik bahwa pasien IMF terus berdatangan, 25% merupakan negara berkembang yang wilayahnya sedang tertekan. Hal ini yang harus diwaspadai, karena bisa memberikan kejutan yang buruk.
Oleh karena itu, kata Kristalina, IMF bekerja sangat keras untuk mendesak penyelesaian utang bagi negara-negara ini.
"Kami telah melibatkan kreditur tradisional, Klub Paris, kreditur non-tradisional, China, India, Arab Saudi," ujarnya.
"Saya akan menyebutnya sangat sederhana: urgensi, kita harus berindak ketika saya melihat pada utang dunia. Ya, kita harus peduli. Selama Covid, apa yang kita lakukan? Dimana-mana pemerintah meminjam, memang demikian, untuk membantu rakyatnya," kata Kristalina lagi.
(cap/mij)[Gambas:Video CNBC]
