Ramalan 2023

Ramalan 10 Lembaga Asing: Dunia 2023 Suram, Negara Maju Jatuh

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
02 January 2023 06:10
kilang minyak
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Prospek ekonomi dunia pada 2023 tampak suram. Banyak lembaga internasional yang memproyeksikan dunia akan dihiasi 'awan gelap' karena adanya berbagai gejolak perekonomian.

Dunia akan menghadapi situasi yang tidak mudah di tahun depan. Pasar global akan memperhitungkan perdagangan dan pertumbuhan yang melambat, serta tingkat inflasi dan suku bunga yang masih tinggi.

Negara maju yang menjadi penyokong terbesar dari ekonomi dunia, bahkan diproyeksikan akan masuk ke jurang resesi di tahun depan.

Hampir semua lembaga internasional pun sepakat, bahwa 2023 adalah tahun yang sulit. Sehingga semua negara harus waspada.

Karena apapun yang terjadi di negara maju, otomatis juga akan mempengaruhi ekonomi di sekitarnya, terutama negara-negara berkembang atau emerging market, apalagi negara rentan/miskin.

Suku bunga yang tinggi dan kemerosotan mata uang, berisiko meningkatkan beban biaya pelunasan utang oleh negara miskin. Hal ini sudah diperingatkan oleh dua lembaga besar seperti IMF dan World Bank.

CNBC Indonesia telah merangkum proyeksi ekonomi global dari setidaknya 10 lembaga internasional.

Ke-10 lembaga internasional tersebut diantaranya International Monetary Fund (IMF), World Bank, OECD, HSBC, Citi, Barclays, JP Morgan, Goldman Sachs, Asian Development Bank, UOB, Deutsche Bank, dan S&P Global Market Intelligence.

Hampir semua sepakat bahwa, ekonomi di negara maju seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris akan menjadi negara yang paling bergejolak. Sementara Asia akan menjadi juru selamat dari terpuruknya ekonomi global di tahun ini.

Secara keseluruhan, 10 lembaga internasional tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global di tahun 2023 secara tahunan (year on year/yoy) akan berada pada kisaran 1,7% hingga 2,7%.

Resesi ekonomi di negara maju seperti di Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Inggris diperkirakan akan terjadi di 2023.

JP Morgan dalam outlook-nya menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi di negara maju, akan berdampak signifikan terhadap aktivitas masyarakat jika inflasi tak berhasil ditekan.

Kendati demikian, jika inflasi berhasil ditekan, maka bank sentral akan berhenti menaikkan suku bunga, dan risiko resesi terjadi sangat kecil.

"Namun jika inflasi tak berhasil ditekan, akan terjadi skenario yang lebih buruk," tulis laporan JP Morgan bertajuk 'Investment Outlook 2023: A Bad year for The Economy, a Better Year for Markets', dikutip Minggu (1/1/2023).

Padangan sama juga datang dari Barclays, ekonomi di Negeri Paman Sam itu kemungkinan akan menglami kontraksi sepanjang tahun 2023. Karena upah dan inflasi di AS masih sangat tinggi. Tingkat pengangguran di AS juga diperkirakan masih akan tinggi di tahun ini.

Barclays memperkirakan, tingkat pengangguran di AS pada 2023 akan mencapai 4,8%. Sementara Citi memperkirakan tingkat pengangguran di AS akan mencapai 5%.

Zona Eropa dan Inggris diramal menjadi negara yang memiliki ekonomi terburuk pada 2023. Hal ini diungkapkan oleh Citi di dalam laporan outlook-nya.

"Di antara ekonomi utama, zona Euro dan Inggris kemungkinan akan menjadi yang terburuk," tulis Citi dalam laporannya berjudul 'Roadmap to recovery: Portofolios to anticipate opportunities'.

"Dengan kontraksi setahun penuh masing-masing sebesar 0,5% dan 1%, karena bersaing dengan biaya energi yang sangat tinggi, serta pengetatan kebijakan," tulis Citi lagi.

DBS juga mengatakan hal yang sama mengenai ekonomi di zona Eropa. Di kawasan ini diperkirakan pertumbuhan ekonominya hanya akan mencapai 3,2% (yoy).

"Harga energi dan kejutan sentimen yang berasal dari perang di Ukraina pasti akan menurunkan pertumbuhan," jelas DBS dalam laporannya 'Managing Polycrisis'.

Adapun Goldman Sachs dalam laporannya 'Macro Outlook 2023: This Cycle is Different' memperkirakan Eropa hanya akan mengalami resesi ekonomi yang ringan.

Benua Biru ini diperkirakan akan berhasil mengurangi impor gas dari Rusia dan mendapat manfaat dari pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Belum meredanya tensi geopolitik Rusia dan Ukraina pada 2023, pada gilirannya akan membuat pasokan untuk kebutuhan dunia masih akan terhambat. Mengingat Rusia dan Ukraina merupakan negara pemasok terbesar dua kebutuhan primer umat manusia.

Minimnya pasokan kebutuhan terutama pasokan pangan dan energi, akan memicu tekanan inflasi di sejumlah negara.

IMF memperkirakan, inflasi global akan mencapai 6,5% pada 2023, lebih rendah dari outlook inflasi global di 2022 yang sebesar 8,8%.

UOB dalam laporannya mengungkapkan, laju inflasi global yang bersumber dari inflasi inti diperkirakan akan mereda pada 2023, namun kemungkinan masih pada rata-rata pada sasaran 2%.

Adapun risiko yang membayangi di tahun ini, menurut UOB yaitu beberapa potensi guncangan inflasi, putaran baru kenaikan harga energi global, gangguan baru dalam rantai pasokan, dampak berkelanjutan dari konflik Rusia-Ukraina, dan ancaman wage-price spiral.

Deutsche Bank dalam outlooknya mengungkapkan, energi masih menjadi pendorong besar inflasi. Meskipun harga minyak mentah dunia turun beberapa bulan terakhir pada 2022, namun diperkirakan akan diikuti oleh kenaikan tajam pada 2023.

Meningkatnya harga minyak mentah dunia pada tahun ini disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan karena percepatan ekonomi China, namun ketersediannya atau supply terbatas.

"Pemotongan produksi yang dipaksakan sendiri oleh OPEC+ dan perusahana minyak yang tidak memadai. Serta kapasitas produksi yang tidak mencukupi dalam beberapa tahun terakhir," tulis Deutcshe Bank.

Upaya Uni Eropa dan AS untuk mengecualikan minyak Rusia dari pasar juga akan menambah tekanan. Sementara harga gas yang menurun baru-baru ini dinilai masih mahal, jauh dari harga sebelum meletusnya perang Rusia-Ukraina.

Oleh karena itu, bank sentral semakin memperhatikan inflasi inti, karena mempertimbangkan harga energi dan pangan yang tidak stabil.

Bank sentral dalam menentukan kebijakan suku bunga sudah otomatis akan memandang penuh pada laju inflasi inti karena terhambatnya pasokan, dibandingkan dengan inflasi utama.

Secara keseluruhan, Deutcshe Bank memperkirakan inflasi 2023 akan mencapai 6% di zona kawasan Eropa dan 4,1% untuk AS.

"Inflasi yang tinggi diperkirakan akan bertahan setelah tahun 2023. Kecil kemungkinan inflasi di masa mendatang akan kembali ke tingkat yang relatif rendah seperti sebelum pandemi Covid-19," tulis Deutcshe Bank.

Bank sentral di banyak negara diperkirakan masih akan mempertahankan kebijakan moneter yang relatif ketat, karena adanya ancaman risiko inflasi yang tinggi pada 2023.

Terutama inflasi inti yang dipengaruhi terhambatnya pasokan energi dan pangan, masih akan menjadi fokus penuh bank sentral dalam melakukan intervensi yang lebih kuat dalam menentukan kebijakan suku bunga di tahun depan.

"Inflasi inti merespons perubahan suku bunga dasar lebih kuat daripada inflasi utama, yang lebih didorong oleh penawaran (supply)," tulis Deutcshe Bank dalam laporannya.

Goldman Sachs menyebut, bank sentral paling berpengaruh di dunia, The Fed masih akan menaikan suku bunga kebijakannya menjadi 5% hingga 5,25% pada 2023.

Goldman Sachs mengungkapkan inflasi PCE (personal consumption expenditure) inti AS akan turun dari level 5% saat ini, menjadi ke kisaran 3% pada akhir tahun depan.

Selanjutnya, tingkat pengangguran di AS diperkirakan anak naik sebesar 50 bps. Meski tingkat pengangguran hanya naik tipis, Goldman Sachs meyakini inflasi dapat ditekan karena kondisi saat ini disebut berbeda dari periode inflasi tinggi sebelumnya.

Pertama, karena pasar tenaga kerja pasca pandemi nyatanya tidak berhasil mengurangi angka pengangguran di AS.

Kedua, dampak disinflasi dari normalisasi baru-baru ini dalam rantai pasokan dan pasar perumahan sewa masih jauh. "Dan ketiga, ekspetasi inflasi jangka panjang tetap berlabuh (di tahun depan)," tulis Goldman Sachs dalam laporannya.

Pada akhirnya ekonomi global 2023 masih akan dihiasi awan cerah yang datang dari kawasan Asia. Bisa dibilang kawasan ini akan menjadi juru selamat ekonomi dunia pada tahun ini.

IMF meyakini ekonomi Asia akan cukup kuat di tengah pelemahan ekonomi global. Hal ini tertuang di dalam laporan regionalnya berjudul 'Asia Sails Into Headwinds from Rate Hikes, War, and China Slowdown'.

"Asia tetap menjadi titik terang di dalam ekonomi global yang semakin meredup," tulis IMF dalam laporannya.

Pertumbuhan ekonomi Asia dan Pasifik diperkirakan mencapai 4,3% (yoy) pada 2023. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi ekonomi di kawasan Eropa yang diperkirakan hanya 0,5% di 2023 dan 1% pada 2023 di AS.

Proyeksi pertumbuhan kawasan Asia itu bahkan lebih tinggi dari pekiraan IMF untuk pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan mencapai 2,7% pada 2023.

Sementara S&P Global Market Intelligence memprediksi perekonomian negara-negara di Asia Pasifik akan mendominasi pertumbuhan ekonomi global dalam tahun-tahun mendatang.

Perekonomian regional Asia Pasifik diperkirakan tumbuh paling tidak 3,5% (yoy) pada tahun depan

"Asia Pasifik yang berkontribusi 35% dari produk domestik bruto (PDB) dunia, akan mendominasi pertumbuhan 2023, di topang oleh perjanjian bebas perdagangan antar negara di sana, rantai pasokan yang efisien, dan biaya yang kompetitif," tulis S&P dalam pernyataannya, seperi di kutip dari CNBC International, dikutip Minggu (1/1/2023).

Adapun DBS menyebut, di banyak negara di Asia, harga listrik, bahan bakar dan makanan belum sepenuhnya terpengaruh dari harga internasional.

"Karena pemerintah dan otoritas menggunakan pengendalian harga, menggelontorkan subsidi dan langkah-langkah insentif pajak untuk meredakan dampaknya," jelas DBS.

Secara umum, ekspektasi inflasi di kawasan Asia tidak akan terpengaruh oleh lonjakan harga global, hal ini juga dengan melihat dari perkembangan historis yang ada.

Di tengah tingginya inflasi dan suku bunga kebijakan bank sentral, negara berkembang dan rentan/miskin mungkin akan menghadapi kesulitan bayar utang.

Negara-negara termiskin di dunia menghadapi tiga tahun beban utang yang melonjak, menguras sumber daya vital dari untuk penanganan kesehatan, pendidikan, hingga bantuan sosial.

World Bank atau Bank Dunia mencatat 69 negara berpenghasilan rendah dan menengah akan melakukan pembayaran sebesar US$ 62 miliar atas utang publik di 2022, meningkat 35% dari tahun 2021.

Pembayaran untuk tahun 2023 dan 2024 akan tetap tinggi, Bank Dunia memperingatkan, karena suku bunga yang tinggi, jatuh tempo obligasi dalam jumlah besar, dan karena negara-negara harus mulai melunasi utang yang ditangguhkan selama pandemi.

Lonjakan inflasi telah memaksa bank sentral menaikkan suku bunga secara tajam tahun ini, meningkatkan biaya pinjaman global dalam prosesnya. Nilai dolar juga melonjak karena beberapa kenaikan suku bunga besar oleh Federal Reserve AS.

"Tekanan likuiditas yang meningkat di negara-negara miskin berjalan seiring dengan tantangan solvabilitas, menyebabkan utang yang membengkak yang tidak dapat dipertahankan oleh belasan negara," kata Presiden Bank Dunia David Malpass dalam siaran resminya, dikutip Minggu (1/1/2023).

"Dengan prospek pertumbuhan 2022 dipotong setengah, suku bunga jauh lebih tinggi, dan banyak mata uang terdepresiasi, beban utang kemungkinan akan meningkat lebih lanjut," kata Malpass lagi.

Zambia dan Sri Lanka adalah di antara negara-negara yang gagal bayar utang negara sejak awal pandemi. Ghana dan Mesir sedang dalam tahap pembicaraan lanjutan dengan IMF mengenai paket bailout.

Berdasarkan laporan statistik utang tahunan Bank Dunia, total utang sektor publik dan swasta eksternal dari semua negara berpenghasilan rendah dan menengah mencapai $9,3 triliun pada tahun 2021.

Total utang publik dan swasta di 2021 itu naik dari $8,2 triliun pada tahun 2019 dan $8,6 triliun pada tahun 2020.

Bank Dunia dan IMF memiliki data yang sama, keduanya mencatat 60% negara berpenghasilan rendah berada dalam kesulitan untuk membayar utangnya.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva dalam wawancaranya terbaru dengan CBS News mengungkapkan, sejauh ini negara-negara yang kesulitan membayar utang, secara sistemik tidak signifikan memicu krisis utang.

"Kita lihat petanya, negara mana sajakah ini? Chad, Ethiopia, Zambia, Ghana, Lebanon, Suriname, Sri Lanka sangat penting untuk menemukan penyelesaian masalah utang, tapi risiko penularannya tidak setinggi itu," jelas Kristalina kepada CBS News, dilansir Minggu (1/1/2023).

Namun Kristalina tak menampik bahwa pasien IMF terus berdatangan, 25% merupakan negara berkembang yang wilayahnya sedang tertekan. Hal ini yang harus diwaspadai, karena bisa memberikan kejutan yang buruk.

Oleh karena itu, kata Kristalina, IMF bekerja sangat keras untuk mendesak penyelesaian utang bagi negara-negara ini.

"Kami telah melibatkan kreditur tradisional, Klub Paris, kreditur non-tradisional, China, India, Arab Saudi," ujarnya.

"Saya akan menyebutnya sangat sederhana: urgensi, kita harus berindak ketika saya melihat pada utang dunia. Ya, kita harus peduli. Selama Covid, apa yang kita lakukan? Dimana-mana pemerintah meminjam, memang demikian, untuk membantu rakyatnya," kata Kristalina lagi.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular