CNBC Indonesia Research

Asal Kebut UU ala Jokowi & DPR, Baru Mulai Langsung Revisi!

Maesaroh, CNBC Indonesia
13 December 2022 14:45
Demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa (20/10/2020).
Foto: Demo tolak Omnibus Law Cipta Kerja, Selasa (20/10/2020). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Puluhan Undang-Undang (UU) yang disahkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, mengundang pro-kontra hingga dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diajukan judicial review.

Puluhan UU tersebut dikritik karena dinilai cacat hukum dalam pembahasannya, termasuk tanpa melibatkan publik. Beberapa UU tersebut juga dikritik karena hanya dibahas dalam kurun waktu puluhan hari serta hanya menguntungkan segelintir kalangan.

Dalam catatan Mahkamah Konstitusi (MK), ada 386 perkara pengajuan UU selama lima tahun terakhir atau sejak 2019. Perkara pengajuan UU tersebut tentu saja beragam dan tidak hanya UU yang lahir di era Presiden Jokowi. Namun, UU yang lahir di era Presiden Jokowi juga tidak sedikit, Bahkan, yang baru ditetapkan setahun terakhir.

Beberapa UU yang lahir setelah 2019 dan sudah digugat ke MK di antaranya adalah UU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara, UU Corona, dan UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK.

UU lain yang digugat adalah UU Perkawinan, UU Minerba, UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, UU tentang Provinsi Sumatera Barat, UU tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional, dan UU tentang Perlindungan Data Pribadi.

Terbaru, Dewan Pers akan mengajukan gugatan judicial review terhadap UU KUHP yang baru berusia seminggu.

Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Hendri Satrio menjelaskan ada tiga faktor mengapa banyak UU yang justru diajukan ke MK oleh masyarakat. Selain ada UU yang pembahasannya terlalu singkat, beberapa UU juga dinilai terlalu berpihak kepada penyelenggara negara.

"Ada memang UU yang pembahasannya cepat sehingga masyarakat melihat ini tidak maksimal dan banyak kekurangan. Banyak UU yang juga dinilai tidak berpihak kepada masyarakat secara keseluruhan. Persoalan lain adalah urgensinya. Ada yang terlalu terburu-buru dan mepet sehingga kurang bisa mendapat masukan banyak pihak," tutur Hendri, kepada CNBC Indonesia.

UU yang mendapat sorotan paling tajam dalam tiga tahun terakhir adalah UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU yang menjadi fondasi puluhan UU lain dan ratusan peraturan turunan di banyak sektor ini dikritik keras sejak diajukan.

UU tersebut dinilai terlalu pro-pengusaha dan merugikan banyak pihak, termasuk buruh.
Terdapat juga UU yang mendapat sorotan tajam karena prosesnya dinilai terlalu terburu-buru dan tertutup seperti UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pengajar komunikasi politik di London School of Public Relations (LSPR)Arif Susanto mengatakan banyaknya perkara pengajuan judicial review terhadap UU membuktikan jika politik hukum Indonesia masih buruk.

"Proses politik hukum kiat mengisolasi diri dari pandangan masyarakat, pandangan yang berbeda, dan proses mendengarkan pihak lain. Mendengarkan tidak hanya memberi ruang untuk berbicara tetapi mendengarkan pendapat yang beda," tutur Arif, kepada CNBC Indonesia.

Lemahnya civil society, terlalu kuatnya hubungan eksekutif-legislatif, dan tidak kredibelnya partai oposisi membuat prose politik hukum menjadi lemah.

"Tidak ada contoh persekongkolan yang lebih jahat pada akhir periode 2014-2019 selain UU KPK," imbuhnya.

Dia menambahkan civil society yang lemah terjadi karena banyaknya aktivis di masa lalu yang masuk ke pemerintahan serta lemahnya kontrol media.

Berikut beberapa UU yang menjadi sorotan tajam dalam lima tahun terakhir:

1. UU No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UU KPK disahkan pada 17 September 2019 atau mendekati masa pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama berakhir. Pengesahan UU tersebut mendapat kritik keras bahkan penolakan dari masyarakat karena dianggap menghilangkan masukan publik.

UU KPK hanya dibahas selama 12 hari kerja dan masih memegang rekor sebagai UU dengan pembahasan tercepat di sejarah Indonesia.

Pengesahan UU ini memicu gelombang aksi demo mahasiswa di berbagai penjuru Indonesia.

Sejumlah kelompok dan lembaga seperti Koalisi Masyarakat Sipil, Indonesia Corruption Watch, dan Universitas Islam Indonesia (UII) juga mengajukan permohonan judicial review terhadap UU KPK ke MK.

MK sudah mengumumkan keputusan pada Mei 2021 terkait judicial review tersebut yakni menolak keseluruhan pengujian formil UU KPK dan hanya mengabulkan sebagian kecil materi yang diajukan.

2. UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN)

Pembahasan hingga pengesahan UU IKN hanya memakan waktu 17 hari. Tim panitia khusus (Pansus) IKN DPR bahkan baru dibentuk 7 Desember 2021 tetapi RUU disahkan menjadi UU pada 18 Januari 2022.

UU ini dianggap mengingkari konstitusi di Indonesia. Selain pembahasannya yang cepat tanpa meminta masukan publik, pembahasan UU ini juga dianggap melanggar asa formil pembentukan perundang-undangan, serta tidak memiliki urgensi.

Sejumlah warga kemudian menggugat UU IKN ini ke MK. Di antaranya adalah
Rukka Sombolinggi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Busyro Muqoddas dari Muhammadiyah, dan Zenzi Suhadi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Eksekutif Nasional.

Belum juga genap setahun, UU IKN sudah masuk prolegnas 2023 untuk direvisi. Pemerintah berdalik revisi perlu dilakukan untuk penguatan struktur organisasi dan kewenangan pada posisi Badan Otorita IKN.

3. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja 

UU Cipta Kerja atau Ciptaker merupakan UU yang dalam pembahasannya paling mendapat sorotan dan penolakan selama lima tahun terakhir.

Pasalnya, UU Omnibus Law ini merevisi setidaknya 80 UU dan ribuan pasal yang sudah existing. Termasuk di dalamnya adalah UU Ketenagakerjaan, UU Perkebunan, UU Pertambangan, UU migas, UU Perlindungan Petani, UU Perpajakan, UU terkait investasi, hingga UU terkait tata ruang.

Keberadaan UU setebal 1.187 halaman ini juga menyangkut jutaan warga Indonesia mulai dari buruh, petani, hingga pengusaha.
Tidak heran kemudian jika selama pembahasannya, UU ini mendapat sorotan tajam ataupun penolakan mulai dari kalangan akademisi, organisasi masyarakat, buruh, hingga mahasiswa.
Masyarakat juga menyoroti waktu pembahasan yang relatif cepat serta periode pembahasannya yang berlangsung selama pandemi Covid-19.

Draft RUU Ciptaker dibahas mulai awal April 2020. UU kemudian disahkan pada 5 Oktober 2020.  Artinya, dari pengajuan hingga disahkan hanya memakan waktu 10 bulan.

UU ini sudah memicu protes bahkan setelah diwacanakan yakni sekitar Agustus 2019. Demo buruh meletus pada Januari 2020 atau setelah UU tersebut dinyatakan masuk prolegnas.

Aksi demo meluas dan berlangsung selama berhari-hari bahkan sempat ricuh di beberapa kuat seperti Medan, Surabaya, dan Jakarta pada Oktober hingga November 2020.

Setidaknya ada empat permohonan judicial review  terkait UU Ciptaker, termasuk dari kalangan serikat pekerja. Pada November 2021, MK mengabulkan untuk sebagian permohonan uji formil. Untuk itu, MK menegaskan jika bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil dan menyatakannya inkonstitusionalitas bersyarat.

Ini adalah kali pertama kali dalam sejarah MK, mereka mengabulkan permohonan uji formil.

4. UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perppu Nomor 1 Tahun 2020 atau UU Corona

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan disahkan menjadi UU pada Mei 2020 atau dua bulan setelah Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global.

Melalui Perppu ini, pemerintah mengajukan untuk merelaksasi defisit di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) agar lebih leluasa mengelola anggaran dalam mitigasi dampak Covid-19.

Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA), serta Pemohon perorangan yaitu Desiana Samosir, Muhammad Maulana, dan Syamsuddin Alimsyah menggugat UU ini ke MK karena dinilai melanggar hak konstitusional.

Mereka juga mengkritisi mengenai kemungkinan penyalahgunaan anggaran untuk memitigasi dampak Covid-19.

MK akhirnya memutuskan UU Covid-19 hanya berlaku selama status pandemi Covid-19 belum diumumkan berakhir oleh Presiden dan paling lama hingga akhir tahun ke-2 sejak UU Covid-19 diundangkan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular