Aturan Baru Upah Minimum 2023

Ada Momok Abadi, Bos Pengusaha 'Nangis' Terancam Bangkrut

Martya Rizky, CNBC Indonesia
22 November 2022 08:40
Infografis, Rata-Rata Upah Buruh per Februari 2022
Foto: Infografis/ Upah Buruh/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengusaha mengaku, tidak keberatan dengan kenaikan upah pekerja. Hanya saja, meminta kenaikan ditetapkan sesuai dengan ketentuan berlaku. Sebab, hal itu akan berdampak pada opini investor mengenai kepastian hukum di Indonesia. 

"Begini lah, sebagai warga negara tidak ada cerita, kamu boleh keberatan. Tapi kan kita tidak bisa melawan pemerintah. Tapi apakah pemerintah sudah memperhitungkan semua itu? Terutama penciptaan lapangan kerja, dengan ekonomi lagi susah begini, order menurun sampe 30-50%," kata Ketua Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Anton Supit kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (22/11/2022).

"Tapi karena tidak mampu ya lantas malah lebih mendorong untuk PHK (pemutusan hubungan kerja) bertambah, atau mempercepat PHK," tambahnya.

Dia pun menambahkan, kebijakan baru upah minimum ini bisa mengancam keberlangsungan usaha di dalam negeri hingga memicu kebangkrutan lantas 'gulung tikar'.

"Kita ini kalau dipaksakan kita tentu tidak akan melawan pemerintah, tapi kalau kita tidak sanggup ya lantas kita lebih baik kita tutup usaha," tukas dia.

Asal-usul UU Cipta Kerja

"Sekarang kita refleksi ke belakang dulu. Undang-undang (UU) Cipta Kerja itu dibuat karena pada saat itu data pemerintah, sekitar 45 juta orang butuh lapangan kerja . Yang terdiri dari yang tidak bekerja atau unemployment atau pengangguran terbuka. Ada juga yang setengah menganggur setengah bekerja sekitar 30-an juta orang. Ditambah new comers 3 jutaan. Begitulah. Kalau ditotal sekitar 45-an juta orang," kata Anton.

Untuk itu, lanjut dia, pemerintah menerbitkan UU No 11/2022 tentang Cipta Kerja diantaranya untuk merelaksasi sektor ketenagakerjaan, terutama pesangon.

"Bukan untuk mengurangi hak pekerja, melainkan pesangon yang dibuat pada saat pemerintahan yang sebelumnya itu sangat memberatkan dari pihak pengusaha. Bayangkan saja, pesangon itu bisa maksimal 32 bulan lebih. Nah, ini kan yang membuat daya tarik investor tentu tidak berminat, karena kalau dia compliance secara benar kita ini bekerja hanya untuk menabung buat bayar pesangon," tukasnya.

Dengan Omnibus Law UU Cipta Kerja, jelas Anton, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan. 

"Untuk kenaikan upah minimum itu ada formula yang dibuat oleh pemerintah dan akademisi. Karena apa? Sebelum-sebelumnya itu orang kenaikan upah bukan atas dasar hitungan yang benar, tapi atas dasar demo, demo atau kepentingan politik sesaat," kata Anton.

"Mereka lupa kalau upah minimum adalah upah untuk pekerja yang masa kerjanya 0-1 tahun, setelah setahun maka akan berlaku upah negosiasi. Artinya terserah permintaan, mau minta berapa, pengusaha mau setuju sanggup bayar ya silahkan. Jadi upah minimum bukan satu-satunya upah, ada upah negosiasi, ada upah lembur," tambahnya.

Hingga kemudian, kata Anton, permasalahan upah sekarang selalu menjadi persoalan yang diperdebatkan setiap tahunnya. 

"Setiap tahun kita ribut upah minimum. Padahal, upah minimum diberikan untuk calon pekerja baru. Bahwa ada perusahaan yang kurang sehat sehingga membayar upah minimum sepanjang masa, itu cerita laun. Jadi, harus dilihat. Apakah memang moral hazard memanfaatkan oversupply tenaga kerja atau memang karena tidak mampu perusahaannya," kata Anton.

Kontraproduktif

Karena itu, Anton mempertanyakan keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang menerbitkan peraturan baru (Permenaker No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023), di saat PP No 36/2021 masih berlaku. Di mana, kata dia, Permenaker tersebut tidak mengacu pada PP No 36/2021 dan menetapkan formulasi baru penghitungan kenaikan upah minimum tahun 2023. Dengan batas maksimal kenaikan 10%.

"Ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini saya ngomong akan selalu ada ongkos tanda kutip. Persoalannya yang bayar ongkos ini siapa? Menurut saya yang bayar ongkos adalah calon pencari kerja atau orang yang kena PHK (pemutusan hubungan kerja). Karena apa?," kata dia.

"Seperti tekstil, sepatu mengalami masa yang sulit sekarang karena order menurun drastis, ada yang 50% ada yang 30% rata-rata. Sehingga, gelombang PHK tidak bisa dihindari. Dan, kita menaikkan upah yang tidak mengikuti ketentuan UU, ini yang kita sesalkan," ujarnya.

Anton menambahkan, esensi UU Cipta Kerja kini menjadi diacuhkan karena penetapan upah kembali lagi ditentukan oleh aksi demonstrasi.

"Ini membuat kita jadi kacau. Fokusnya orang yang sudah bekerja atau yang belum bekerja? Orang kan selalu melihat, seakan-akan ini terjadi eksploitasi buruh. Tapi yang tidak bekerja atau yang masih membutuhkan lapangan kerja, yang puluhan juta orang itu nasibnya lebih parah lagi," kata Anton.

"Ini yang saya tidak mengerti. Kok pemerintah yang semestinya menghapus kemiskinan dengan memberi lapangan kerja, malah dengan ketentuan ini kontraproduktif," lanjutnya.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buruh Tuntut UMP Naik 15%, Ini Kata Anak Buah Jokowi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular