
Kalau Beneran Resesi AS Pasti Duluan Ketimbang RI, Kenapa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Isu resesi akhir-akhir ini terus mencuat pasca banyaknya proyeksi ekonom menjadi cerminan bagaimana ketidakpastian global masih akan membayang ekonomi global ke depan. Kalau proyeksi ini benar, apakah Amerika Serikat (AS) benar-benar akan resesi? Lalu, kapan Indonesia akan terkena dampaknya?
Risiko inflasi di Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan memiliki dampak berkelanjutan bagi ekonomi global, termasuk di Indonesia.
Seperti yang telah diketahui bahwa inflasi AS untuk periode Agustus 2022 naik 0,1% menjadi naik 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy). Kendati demikian, inflasi bulan ini turun dibandingkan inflasi AS pada Juli sebesar 8,5% dan 9,1% pada Juni sebelumnya.
Tingginya inflasi di AS menandakan potensi resesi di Negeri Paman Sam ini kian nyata dan tentunya bisa mempengaruhi perekonomian global yang menjadi mitra dagangnya. Tak terkecuali Indonesia sebab AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia.
Apalagi, PDB Amerika Serikat menyumbang 25% dari ekonomi dunia. Amerika Serikat pun memimpin posisi ekonomi tertinggi sejak tahun 1960, bahkan jauh sebelum perang dunia I dan II. Atas dasar itu, Amerika Serikat dikenal sebagai negara adidaya ekonomi.
Dengan demikian, jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global. termasuk Zona Eropa.
Inflasi Zona Euro mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan sebesar 9,1% pada Agustus 2022 secara tahunan (year-on-year/yoy). Tingginya sejumlah harga pembentuk inflasi seperti energi yang naik 38,6% serta makanan, alkohol,dan rokok sebesar 10,6% menjadi penyebab utama.
Dengan ini, AS sendiri kini mengalami 'resesi teknis'. Meski pemerintah Biden menolaknya karena merujuk data tenaga kerja yang kuat, pertumbuhan ekonomi tercatat minus 0,6% di kuartal II-2022.
Laju ekonomi itu melanjutkan kontraksi pada kuartal I-2022 yang tercatat minus 1,6%. Resesi sendiri adalah situasi di mana pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif dua kuartal berturut-turut atau lebih selama satu tahun.
Namun, Menteri Keuangan AS Janet Yellen sendiri membenarkan adanya risiko resesi di negeri Adi Kuasa tersebut. Hal tersebut karena pertempurannya melawan inflasi dapat memperlambat ekonomi negara itu.
Kendati demikian, Ekonom Senior sekaligus Menteri Keuangan RI periode 2013-2014, Chatib Basri mengungkapkan bahwa probabilitas ekonomi AS mengalami resesi tidak bisa dihindarkan, seiring adanya kekhawatiran lonjakan inflasi yang terjadi di sepanjang tahun.
Chatib juga mengatakan bahwa untuk mendinginkan atau meredam gejolak inflasi, AS perlu mengalami resesi. Hal ini sekaligus merujuk dari pernyataan Mantan Menteri Keuangan AS, Larry Summers dalam sebuah diskusi publik beberapa waktu silam.
Alasannya yakni lapangan kerja di AS terus bertumbuh dan tingkat pengangguran cenderung menurun. Laporanemployment rate(pertumbuhan lapangan kerja) pada Agustus 2022 tercatat sebanyak 3,7%, naik dari bulan sebelumnya sebesar 3,5%.
Berdasarkan data dari Biro Statistik Tenaga Kerja AS, tingkat pengangguran tersebut menjadi yang tertinggi sejak Februari lalu dan di atas ekspektasi sebesar 3,5%.
Jumlah pengangguran naik 244.000 menjadi 6,014 juta orang. Sementara itu, tingkat penyerapan tenaga kerja naik 422.000 menjadi 158,732 juta.
Sebagai respons atas kenaikan laju inflasi, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali selama 2022, yakni Mei 0,5%, serta Juni dan Juli masing-masing 0,75%, serta Agustus 0,75%.
Suku bunga acuan (Fed Funds Rate/FFR) saat ini di kisaran 3%-3,25%. Laju inflasi tahunan AS sudah meningkat lebih dari 2% sejak April 2021 dan terus meningkat hingga 9,06% pada Juni 2022. Laju inflasi Juni merupakan yang tertinggi sejak 1981. Namun pada September 2022, inflasi AS turun hingga 8,3%.
Sementara itu, IMF memangkas pertumbuhan global pada 2023 menjadi 2,7% dari proyeksi di Juli sebesar 2,9%. Namun, IMF masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan global untuk 2022 di angka 3,2%. Pertumbuhan global sudah direvisi sebanyak tiga kali yakni pada April, Juli, dan Oktober.
Pemangkasan proyeksi dilakukan menyusul masih panasnya perang Rusia-Ukraina, perlambatan ekonomi China, lonjakan harga energi dan pangan, melambungnya inflasi serta tren kenaikan suku bunga acuan global. IMF juga mengingatkan jika sepertiga perekonomian dunia akan mengalami kontraksi pada tahun depan.
"Tiga kawasan dengan perekonomian terbesar yaitu AS, China, dan Eropa akan terus melambat. Yang terburuk belumlah terjadi sekarang ini karena banyak dari warga dunia yang akan merasakan resesi pada 2023," tutur kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas, dalam konferensi pers, Selasa malam waktu AS.