Kalau Beneran Resesi AS Pasti Duluan Ketimbang RI, Kenapa?

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
12 October 2022 15:35
Suku Bunga, BBM, Semua Naik! Nasib rakyat biasa Bagaima
Foto: Infografis/Suku Bunga, BBM, Semua Naik! Nasib rakyat biasa Bagaima/Aristya Rahadian

Melihat tertekannya perekonomian Negeri Paman Sam, tentunya dampaknya tak terhindarkan bagi Indonesia. Namun, memang Indonesia belum mengalami resesi karena indikator perekonomian Tanah Air masih terbilang aman meskipun ke depannya sudah banyak ramalan suram terkait ekonomi Indonesia.

Dengan inflasi AS yang kian meninggi, The Fed berpotensi akan terus menaikkan suku bunga secara agresif meskipun ekonomi negara tersebut akan tertekan lebih dalam. The Fed masih akan menaikkan 50 hingga 75 basis poin. Bahkan bisa berpotensi akan surprise kalau di akhir tahun itu bisa ke arah pada kisaran 3,1% hingga 3,5%.

Kenaikan suku bunga AS sangat berisiko bagi Indonesia, terutama pada sektor-sektor yang sensitif terhadap perubahan suku bunga. Kenaikan suku bunga tentunya berdampak terhadap private sector/perusahaan, maupun ke konsumen.

Mereka harus membayar bunga lebih tinggi, ketika membutuhkan investasi atau membeli barang yang berasal dari utang. Karena penurunan investasi dan belanja, pertumbuhan ekonomi bisa melambat, bahkan mengalami kontraksi lebih lanjut.

Ekonomi global yang melambat, berdampak terhadap menurunnya permintaan komoditas energi. Sementara pangsa ekspor Indonesia 60% bersumber dari komoditas energi seperti nikel, CPO, batu bara, dan sebagainya.

Lalu Apakah Indonesia Masih Aman?

Indonesia sendiri terbilang masih bisa diselamatkan dari ancaman resesi. Terbukti dengan data-data makro ekonomi Indonesia yang masih lebih baik dari negara-negara lain.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,4% pada kuartal II-2022 dan inflasi yang masih terkendali di level 5,95% pada September lalu menjadi dasarnya.

Selain itu, utang luar negeri pemerintah juga menurun. Begitu pula dengan utang korporasi yang semakin rendah. Data Bank Indonesia mencatat utang luar negeri RI sebesar US$400,4 miliar atau setara Rp5.966 triliun (asumsi kurs Rp14.902 per dolar AS) pada akhir Juli 2022. Angka tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya, US$ 403.6 miliar atau Rp 6.014 triliun.

Kecilnya kontribusi ekspor ke pertumbuhan ekonomi serta terbatasnya peran RI dalam perdagangan global membuat Zamrud Khatulistiwa mendapatkan efek terbatas dari gejolak eksternal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor berkontribusi sebesar 23,2% kepada Produk Domestik Bruto (PBD) nasional pada kuartal II-2022.

Secara keseluruhan, kontribusi ekspor kepada PDB nasional pada 2021 mencapai 21,56%. Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan pada periode pra-pandemi 2017-2019 di manashareekspor ke pertumbuhan hanya 19%.

Kendati meningkat pada tahun ini, kontribusi ekspor ke pertumbuhan tetap lebih kecil dibandingkan konsumsi rumah tangga atau investasi. Peran konsumsi rumah tangga kepada pembentukan PDB nasional rata-rata mencapai 56% sementara investasi ada di kisaran 27-30%.

Sebagai catatan, lebih dari 50% ekspor Indonesia masih dalam bentuk komoditas. Sekitar 30% ekspor Indonesia bahkan ditopang oleh dua komoditas penting yakni minyak sawit dan batu bara.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Nilai ekspor Indonesia Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar atau naik 9,17% dibanding ekspor Juli 2022 (mtm). Sementara jika dibanding Agustus 2021 nilai ekspor naik sebesar 30,15% (yoy).

Ekspor nonmigas Agustus 2022 mencapai US$26,19 miliar, naik 8,24% dibanding Juli 2022, dan naik 28,39% dibanding ekspor nonmigas Agustus 2021.

Dengan ini, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2022 mencapai US$194,60 miliar atau naik 35,42% dibanding periode yang sama tahun 2021. Sementara ekspor nonmigas mencapai US$183,73 miliar atau naik 35,24%.

Kendati demikian, IMF meramalkan ekonomi Indonesia tahun depan akan melambat dibandingkan tahun ini. IMF juga mempertahankan proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun ini sebesar 5,3%. Namun, lembaga moneter internasional ini ternyata kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dari 5,2% menjadi 5% pada 2023.

Proyeksi IMF ini lebih rendah dari asumsi makro yang ditetapkan dari APBN 2023, yakni 5,3%

Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto optimis ekonomi Indonesia masih tumbuh tinggi pada kuartal III-2022. Dia memperkirakan ekonomi domestik bisa tumbuh di atas 5% pada periode Juli-September.

Dengan melihat data indikator yang masih baik, maka risiko resesi masih bisa terhindarkan namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi Indonesia akan melambat dibandingkan tahun 2022 karena mengalami tantangan yang berat di 2023 mendatang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aum/aum)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular