Internasional

Negara Maju "Biang Keladi" yang Mendorong Resesi?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
21 July 2022 15:10
Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)
Foto: Ilustrasi Resesi (Photo by MART/Pexels)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi dunia di ambang resesi. Negara maju pun menjadi sorotan.

Ini karena pengetatan moneter yang dilakukan. Itu menyebabkan uang yang beredar berkurang sehingga berpeluang memperketat likuiditas dan mempercepat pecahnya resesi.

Bagaimana duduk perkara sebenarnya?

Berbeda dari 2020, kala itu, dunia digemparkan dengan kehadiran virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Resesi tahun ini, didorong oleh inflasi dan bukannya deflasi, yang terjadi karena konsumsi di negara seluruh dunia anjlok karena lockdown.

Deflasi adalah kondisi di mana harga turun dari waktu ke waktu karena tidak adanya daya beli masyarakat. Ini artinya ekonomi sedang lesu karena tidak ada konsumsi, padahal hal itu di berbagai negara adalah pendorong utama pertumbuhan ekonomi negara.

Meski demikian, resesi 2020 berkontribusi terhadap resesi yang sedang dikhawatirkan sekarang. Apa hubungannya?

Pada 2020 banyak negara menutup diri baik dari luar dengan membatasi akses masuk ke dalam. Demikian juga dengan di dalam negeri di mana penutupan dilakukan menyusul pembatasan mobilitas masyarakat hingga karantina wilayah atau lockdown, dalam upaya menahan penularan virus Covid-19.

Mobilitas di RumahFoto: ourworldindata.org
Mobilitas di Rumah

Akibatnya ekonomi tidak bergerak karena mobilitas terbatas. Kantor tidak produktif, pabrik tidak beroperasi, pusat perbelanjaan pun tutup.

Dari sisi produksi atau suplai pastinya terhambat, plus aliran modal mampet. Indikator-indikator ekonomi seperti aktivitas manufaktur dan indeks keyakinan konsumen jatuh ke level pesimistis.

Karena operasional yang tidak optimal, pendapatan perusahaan pun terjun. Maka terjadilah penghematan budget besar-besaran. Banyak yang kemudian memotong gaji karyawannya hingga 50-70% dan bahkan memicu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Jika sudah begitu, angka pengangguran pun meningkat dan juga angka kemiskinan. Akibatnya daya beli agregat negara anjlok sehingga terjadi deflasi.

Kemudian pada akhir 2020 muncullah vaksin yang membuat dunia optimistis dapat menekan angka penyebaran kasus Covid-19. Perlahan tapi pasti ekonomi dunia bangkit. Terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi negara yang mulai positif.

Adanya vaksin membuat ekonomi kembali dibuka baik akses perbatasan maupun mobilitas masyarakat. Daya beli dan konsumsi masyarakat meningkat akibat pendapatan yang juga kembali.

Sayangnya, produksi atau suplai tidak bisa mengikuti laju permintaan yang meningkat drastis. Karena kondisi keuangan yang sudah terlanjur hancur dan sumber daya manusia yang terbatas. Terutama apa yang terjadi pada sektor tambang. Warisan dari krisis pasokan tambang inilah yang membuat inflasi selangit.

Harga energi dunia melambung saat para produsen tidak mampu mengejar permintaan sehingga terjadi kelangkaan. Membuat tambang kembali beroperasi optimal tidaklah mudah karena selain memerlukan modal yang besar dan sumber daya, ada gangguan dari cuaca yang juga menghambat pemulihan.

Sepanjang tahun pemulihan pada 2021, harga batu bara dunia meroket 85,63% dan ditutup di US$ 151,75/ton. Bahkan sempat mencapai harga tertinggi sepanjang masa di US$ 280/ton pada Oktober 2021.

Kemudian, harga minyak mentah dunia pun meroket sepanjang 2021. Minyak jenis Brent melesat 50,12% dalam setahun. Sedangkan minyak mentah jenis light sweet (WTI) meroket 55%. Pun dengan minyak sawit yang mampu tumbuh 29,14% menjadi MYR 4.697/ ton pada 2021. Pencapaian ini jadi yang terbaik sejak tahun 2016 silam.

Termasuk komoditas logam industri yang harganya meroket. Timah, tembaga dan nikel masing-masing melesat 92,59%, 24,79%, dan 23,92% selama 2021. Membuat ketiganya mengukir rekor harga tertinggi.

Harga Energi (Batu Bara, Minyak, dan Gas) 2021Foto: Refinitiv
Harga Energi (Batu Bara, Minyak, dan Gas) 2021

Tingginya harga komoditas membuat inflasi produksi meroket sebab beban bahan baku yang meningkat. Ditambah dengan krisis logistik akibat kontainer yang langka, beban produksi melonjak dan margin keuntungan pun menipis.

Dampak paling terasa adalah harga listrik yang naik tinggi di berbagai belahan dunia, seperti di Eropa yang mengandalkan gas sebagai pembangkit listrik. Bahkan China mengalami krisis energi yang membuat musim dingin makin beku.

Di tengah ancaman krisis energi yang makin nyata ini, konflik antara Rusia dan Ukraina pecah menjadi serangan bersenjata. Hal inilah yang dikecam oleh aliansi Barat yakni NATO, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Sebagai tindak nyata, embargo komoditas dari Rusia diberlakukan. Produk Rusia menjadi "haram" untuk dibeli.

Negara-negara yang tidak tergabung dengan aliansi pun ikut-ikutan mengurangi pembelian komoditas dari Rusia. Bahkan beberapa pedagang batu bara di China, kawan Rusia, mulai mengurangi transaksi dari Rusia.

Masalahnya, Rusia adalah pemasok utama energi di dunia. Baik itu batu bara, gas alam, dan minyak mentah.

Menurut BP Statistics Review, seperempat lebih kebutuhan gas dunia dipasok oleh Rusia. Tepatnya, Rusia memiliki 26,2% pangsa ekspor di seluruh dunia dengan jumlah 197,7 miliar meter kubik pada 2020.

Produksi minyak Rusia mencapai 10,7 juta bph atau setara 12,1% produksi dunia. Jumlah ini menempatkan Rusia duduk di peringkat tiga produsen minyak mentah dunia terbesar. 

Rusia merupakan eksportir terbesar nomor tiga dunia setelah Indonesia dan Australia. Pada tahun 2019, ekspor Rusia mencapai 217 juta ton.

Jika pasokan dari Rusia berhenti akibat perang, dunia akan kehilangan sekitar 17,8% pasokannya. Harga energi pun terus meroket setelah sanksi embargo dijatuhkan.

Harga batu bara dunia sepanjang semester pertama 2022 meroket 143,1%. Harga minyak mentah dunia menguat 47,6% dan harga gas alam juga meroket hingga 42,17%.

Harga Energi 2022Foto: Refinitiv
Harga Energi 2022

Karena harga komoditas dunia meroket, imbasnya ke inflasi yang meroket. inflasi Amerika Serikat pun terkerek ke level 9,1%, tertinggi dalam empat dekade terakhir. Tingkat inflasi Inggris bahkan sampai 9,4%, tertinggi dalam 40 tahun.

Lebih parah inflasi di negara-negara miskin yang tingkat inflasinya selangit. Zimbabwe, misalnya, mencetak inflasi 191,6%.

Inflasi yang melambung tinggi tersebut coba dijinakkan dengan pengetatan kebijakan moneter, yakni menaikkan suku bunga. Suku bunga bank sentral AS (Federal Reserves/The Fed) sebagai acuan dunia telah naik tiga kali sepanjang semester pertama 2022.

Tiap kenaikan suku bunga pun makin agresif. Setelah kenaikan pertama sebesar 25 basis poin (bps), menyusu kenaikan kedua sebesar 50 bp, dan terakhir 75 bp.

Menurut perangkat FedWatch milik CME group, para pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 32,1% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 bp menjadi 2,5%-2,75%. Sementara 67,9% memperkirakan kenaikan suku bunga akan sebesar 75 bp.

Selain itu, bank sentral Kanada (BOC) menaikkan suku bunga utamanya sebesar 100 bp untuk melawan inflasi. BOC menjadi negara pertama negara G7 yang melakukan kenaikan suku bunga yang agresif dalam siklus ekonomi saat ini.

Bank sentral Eropa pu mempertimbangkan langkah yang sama karena inflasi yang tinggi memangkas pertumbuhan ekonomi. Uni Eropa telah memperkirakan rekor tingkat inflasi dan memangkas perkiraan PDB untuk 2022 dan 2023.

Laju inflasi Eropa inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) final di Eropa, mencapai 8,6% year-on-year (yoy) di Juni. Ini lebih tinggi dari dari rilis awal 8,1% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dengan inflasi yang meninggi, ada kemungkinan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) ikut agresif menaikkan suku bunga. 

Berdasarkan data dari Kantor Statistik Nasional Inggris yang dirilis Rabu (20/7/2022), inflasi itu naik dari Mei 2022 sebesar 9,1% dan sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan konsensus para ekonom sebesar 9,3%. Angka itu dapat menjadi landasan bank sentral Inggris (BoE) kembali menaikkan suku bunga pada Agustus dari level sekarang 1,25%.

Bank sentral (Reserve Bank of Australia/RBA) merilis notula rapat kebijakan moneternya edisi Juli 2022, di mana seluruh anggota dewan gubernur RBA sepakat untuk mengambil langkah yang diperlukan guna meredam inflasi.

RBA di bawah pimpinan Philip Lowe dalam pengumuman kebijakan moneter awal bulan ini menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 1,35%. Ini lebih agresif dari konsensus sebesar 25 bp.

Dengan demikian, RBA sudah menaikkan suku bunga 3 bulan beruntun dan berada di titik tertinggi sejak Mei 2019, atau sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).

Suku bunga memang menjadi senjata untuk mendinginkan percepatan laju inflasi suatu negara. Tujuannya untuk menarik uang beredar yang berlebihan di masyarakat. Harapannya, masyarakat akan memilih menyimpan dana di bank karena suku bunga yang naik sehingga tingkat uang beredar makin terkendali.

Akan tetapi kenaikan suku bunga akan membuat biaya konsumsi dan ekspansi bisnis akan makin mahal. Ketika bank sentral menaikkan suku bunganya, hal ini akan berpengaruh juga kepada suku bunga bank kredit konsumsi dan korporasi. 

Di sisi lain, kenaikan suku bunga juga untuk menekan peredaran uang yang berlebih. Akan tetapi dikhawatirkan malah akan membuat likuiditas menjadi sangat ketat. 

Akibatnya, konsumsi dan investasi akan melambat sehingga ikut menahan pertumbuhan ekonomi. Bahkan memperlambat dan yang paling dikhawatirkan adalah jadi pemicu resesi.

Bank Dunia pun sudah memberi peringatan. Pada 1970-an, saat dunia mengalami inflasi tinggi akibat kenaikan harga minyak (oil boom), bank sentral di berbagai negara juga menaikkan suku bunga acuan secara agresif. 

Efek sampingnya luar biasa, ekonomi bukannya tumbuh malah terkontraksi alias minus. Bahkan sampai menyebabkan resesi global.

"Upaya pemulihan saat itu membutuhkan kenaikan suku bunga acuan secara tajam. Akan tetapi, dampaknya adalah memicu resesi global dan krisis keuangan di negara berkembang," tulis Bank Dunia dalam laporan Global Economic Prospect edisi Juni 2022.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular