RI Bakal Aman dari Resesi, Ini Buktinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia mengatakan ancaman resesi ekonomi global sudah di depan mata dan sulit dihindari negara-negara di dunia. Dalam laporan Global Economic Prospect June 2022 (GEP), Bank Dunia menyebutkan tekanan inflasi yang begitu tinggi di banyak negara tak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
Sejumlah negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Eropa dan Jepang diprediksi ikut terseret ke dalam jurang resesi akibat inflasi yang terus meningkat, tidak terkecuali Indonesia.
Menteri Keuangam Sri Mulyani mengungkap risiko resesi ekonomi yang dialami Indonesia sebesar 3%. Sementara, terdapat negara lain yang potensinya lebih dari 70%. Meski demikian, bukan berarti pemerintah terlena.
"Kami tetap waspada, namun pesannya kami tetap akan menggunakan semua instrumen kebijakan, dari fiskal, moneter, sektor finansial, dan regulasi lainnya, untuk memonitor itu (potensi resesi)," ujar Ani, sapaan akrabnya.
Sejauh ini, bendahara negara menilai ekonomi Indonesia masih cukup positif. Sebab, sektor keuangan RI lebih kokoh setelah kejadian krisis 2008-2009 lalu.
Selain itu, Sri Mulyani mengatakan utang luar negeri pemerintah menurun. Begitu juga dengan utang korporasi yang semakin rendah.
Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman menjelaskan, faktor eksternal yang menghantui tidak akan berdampak signifikan untuk ekonomi Indonesia. "Jadi, penggerak ekonominya masih lebih banyak bersumber dari dalam negeri," tutur Faisal kepada CNBC Indonesia, Kamis (9/6/2022).
Modal kuat Indonesia, kata Faisal adalah kerjasama dan koordinasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia dalam menjaga inflasi. Pemerintah sudah berkomitmen untuk menambah beban subsidi energi dan bahan bakar, yang didanai oleh naiknya penerimaan negara akibat tingginya harga-harga komoditas.
"Hal ini sangat baik karena juga mendukung BI dalam menjaga kebijakannya agar tetap pro growth tanpa mengesampingkan pro stability," jelas Faisal.
Dari sisi moneter, kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed juga sudah diperhitungkan oleh Bank Indonesia dan pelaku pasar. Meskipun memang akan berdampak pada nilai tukar rupiah karena akan memicu kembali outflow.
Namun, menurut Faisal, dampaknya terhadap nilai tukar rupiah tidak akan terlalu besar, karena kepemilikan asing di instrumen keuangan Indonesia sudah cukup rendah. Berbeda dengan di tahun 2013, yang memiliki porsi 40% kepemilikan asing, dibandingkan saat ini yang hanya 19,5%.
"Selain itu foreign direct investment masih mencatat inflow dan neraca perdagangan masih surplus, sehingga current account masih ada potensi surplus," tuturnya.
Kendati demikian, Faisal mengingatkan, bahwa jika negara-negara mengalami pelemahan ekonomi maka, akan berimbas pada permintaan ekspor Indonesia.
Memang harga-harga komoditas yang tinggi akan membuat nilai ekspor terlihat tinggi. Tapi jika volume permintaannya terus berkurang maka secara riil output yang dihasilkan Indonesia jadi cenderung berkurang.
Indonesia juga masih merupakan net importer bahan bakar, jadi jika harga minyak global turun naik, akan menjadi beban untuk subsidi dan jika terlalu tinggi harganya penambahan subsidi tidak bisa dilakukan.
"Akan meningkatkan inflasi yang tentu akan berdampak pada penurunan daya beli. Jadi inflasi adalah hal yang perlu diawasi," ujarnya.
"Untungnya inflasi Indonesia sampai saat ini masih terjaga, lalu neraca dagang masih surplus sehingga current account surplus masih berlanjut. Jadi Bank Indonesia masih ada ruang untuk menjaga suku bunga kebijakan pada level saat ini," kata Faisal melanjutkan.
Senada, Analis makroekonomi Bank Danamon Irman Faiz mengatakan faktor domestik dimana konsumsi dan investasi yang menyusun komponen pertumbuhan adalah modal kuat bagi Indonesia.
Selama dua komponen tersebut membaik dengan mobilitas yang tinggi, Faiz memandang pemulihan ekonomi di Indonesia akan terus berlanjut.
Indonesia juga patut diwaspadai akan turunnya harga-harga komoditas ekspor, jika penerimaan dari ekspor menurun seiring dengan volume yang juga turun akibat pelemahan ekonomi di negara mitra dagang.
Harga komoditas pangan yang tinggi, juga mendorong risiko inflasi pangan, yang pada akhirnya akan berdampak pada inflasi inti.
"Dan ini dapat berdampak ke daya beli domestik kalau penerimaan ekspornya menurun. Dua risiko utama ini patut di waspadai sembari menjaga kondusifnya Covid-19 di Indonesia," jelas Faiz.
[Gambas:Video CNBC]
Inflasi Tinggi di AS Bakal Picu Resesi, Bisa Merembet ke RI?
(RCI/dhf)