Kisah Sedih WNI Bertahan di Negara Eropa yang Sedang Krisis

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
18 July 2022 19:42
Sebuah bendera bertuliskan
Foto: Suasana demonstrasi di ibu kota Hungaria, Budapest, beberapa waktu lalu (AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi yang melanda Hungaria turut berimbas kepada kehidupan Warga Negara Indonesia (WNI) yang menempuh studi di sana. Mereka pun berharap ada solusi dari Pemerintah Republik Indonesia.

Kepada CNBC Indonesia, Minggu (18/7/2022), mereka menceritakan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Salah satunya adalah Joko (bukan nama sebenarnya), mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Budapest.

Menurut dia, krisis ekonomi di Hungaria dipicu oleh kejatuhan mata uang Hungaria, yaitu Forint, terhadap Euro maupun Dolar AS. Hal tersebut diperburuk dengan lonjakan harga pangan hingga flat yang menjadi kebutuhan dasar.



Sebagai gambaran, menurut situs berita CGTN, Bank Sentral Hungaria beberapa waktu lalu telah memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 185 basis poin menjadi 7,75%. Tujuannya adalah untuk membendung gelombang inflasi yang merajalela lantaran menembus 9% per Mei 2022.

Tidak hanya itu, pemerintah pun menerapkan batasan harga pada sejumlah komoditas pangan. Akan tetapi, banyak tantangan dalam pelaksaannya di lapangan.

"Harga beras sewaktu saya tiba di sini September 2020 masih 300 Forint per kilogram (atau setara Rp 15.000). Sekarang 510 Forint per kilogram (atau setara Rp 19.000)," ujar Joko.

Sebagai gambaran, per September 2020, 1 Florin itu setara dengan Rp 50. Sedangkan per 17 Juli 2022, nilainya merosot menjadi Rp 37.



Dia mengungkapkan, kenaikan pun terasa pada komoditas roti dan mi instan. Joko bercerita kalau harga mi instan saat dia tiba di Budapest masih 200 Forint, sekarang sudah 300 Forint alias naik 50%.

"Mi instan itu sebenarnya pilihan terakhir untuk dikonsumsi," katanya.

Mahasiswa doktoral lainnya, Santoso (juga bukan nama sebenarnya), mengungkapkan kalau kenaikan harga juga terasa pada tarif penyewaan flat atau rumah susun. Dia mengungkapkan tarif flat sebelumnya berada pada kisaran 85 ribu hingga 100 ribu Forint untuk satu keluarga.

"Sekarang itu sudah nggak ada. Rata-rata 100 ribu Forint untuk ukuran studio. Belum termasuk utilities," kata Santoso.

Kenaikan tarif ini terjadi karena banyak pemilik flat yang kini menggunakan Euro alih-alih Forint sebagai mata uang untuk transaksi. Ini tak lepas dari pelemahan tajam Forint terhadap Euro.

"Jadi kita sangat-sangat kesulitan. Sementara dana beasiswa doktoral 180 ribu Forint untuk dua tahun pertama, kemudian naik menjadi 220 ribu Forint di tahun ketiga dan keempat," ujar Santoso.

Joko menjelaskan, kenaikan tarif flat yang gila-gilaan tidak lepas dari kondisi Hungaria secara keseluruhan. Perekonomian Hungaria ditopang oleh pariwisata. Pandemi Covid-19 telah menghantam sektor tersebut. Masyarakat terkena guncangan seiring penurunan kunjungan wisatawan.

Situasi pandemi yang membaik telah berdampak kepada kenaikan turis yang datang. Ditambah lagi asumsi kalau berwisata ke Hungaria menyenangkan karena biaya hidup yang murah, apalagi ditambah fakta pelemahan Forint terhadap Euro.

"Beberapa pemilik flat, karena ada banyak turis yang masuk, dia mengambil peluang. Selama musim panas ini, beberapa pemilik menyewakan flat mereka dengan harga tinggi melalui Air BnB. Kondisi ini tidak mampu dijangkau oleh mahasiswa kita," kata Joko.

Joko dan Santoso pun sudah melakukan berbagai hal demi bertahan hidup di tengah situasi sulit seperti sekarang.

Santoso mulai bekerja di ladang pertanian milik masyarakat. Dalam sehari dia bekerja selama 10 jam dengan honor 15 ribu Forint.

"Punggung saya malah sakit setelah melakukan pekerjaan kasar seperti itu," keluhnya.

Sedangkan Joko mengaku bekerja sambilan di sebuah e-grocery. Dia bekerja selama delapan jam di gudang milik e-grocery tersebut dengan upah 1.200-1.300 Forint per jam.

Bagaimana dengan mahasiswa-mahasiswa lain?


"Mereka melakukan donor darah tapi dengan motif ekonomi. Ini fakta di lapangan di mana ada booming bank darah. Mereka melakukannya lebih dari satu kali dalam sebulan dan memperoleh bayaran 20 ribu Forint untuk kali pertama dan 10 ribu untuk kesempatan berikut," kata Joko.

Singkat cerita, dia pun berharap ada perhatian dari Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Pendidikan Tinggi. Utamanya dari sisi bantuan finansial.

Ditambah lagi, persepsi kampus-kampus Hungaria terhadap mahasiswa Indonesia selama ini positif. Mahasiswa Indonesia selama ini dikenal berprestasi.


"Jangan sampai karena kita sudah kelelahan akibat bekerja demi survival, kita jadi tidak fokus ke studi. Hal itu akan mengubah persepsi kampus-kampus di sini," ujar Joko.

Saat dikonfirmasi perihal keluhan mahasiswa di Hungaria, Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Prof. Nizam mengaku menerima laporan dan keluhan serupa dari mahasiswa di berbagai negara yang sedang mengalami krisis ekonomi.


"Kami akan dalami dan bantu cari solusi. Karena anggaran Dikti saat ini sangat terbatas," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Senin (18/7/2022). "Semoga ekonomi dunia segera membaik," lanjutnya.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular