
Maruliana Sitanggang merupakan analis di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan. Diploma Tiga diperoleh dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (2009) dan Sarjana Ekonomi diperoleh dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (2013). Di samping bekerja, penulis saat ini sedang menempuh pendidikan strata dua Jurusan Hubungan Internasional, spesialisasi diplomasi di Universitas Paramadina. Opini yang disampaikan merupakan pendapat pribadi penulis, bukan merupakan pendapat resmi dari tempat penulis bekerja.
Profil SelengkapnyaAkankah Indonesia akan Bernasib Seperti Sri Lanka?

Situasi perekonomian dunia saat ini benar-benar dipenuhi oleh ketidakpastian. Semua itu tidak lepas dari berbagai faktor, mulai dari peperangan antara Rusia melawan Ukraina, lonjakan harga komoditas hingga tekanan inflasi.
Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan peristiwa yang terjadi di salah satu negara di kawasan Asia Selatan, yaitu Sri Lanka. Pada Rabu (22/6/2022), Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengungkapkan kalau Sri Lanka bangkrut!
Terdapat sejumlah faktor yang memicu kebangkrutan Sri Lanka. Mulai dari utang luar negeri yang tinggi, kehilangan pendapatan karena sektor pariwisata yang kandas akibat pandemi Covid-19 dan harga komonitas yang meningkat.
Akibatnya, kas negara untuk membeli bahan bakar, listrik, serta makanan tidak tersedia. Lebih lanjut lagi, Srilangka telah mengumumkan akan menunda untuk pembayaran utang luar negeri sebesar $7 miliar yang jatuh tempo untuk pembayaran tahun ini, sembari menunggu hasil negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk membantu Sri Lanka mengatasi krisis ekonomi.
Secara total, Sri Lanka tercatat tidak dapat membayar kembali utang luar negerinya sebesar US$51 miliar atau sekitar Rp 766 triliun. Sebanyak sekitar US$6,5 miliar (Rp97,6 triliun) di antaranya terutang ke China.
Tak hanya krisis ekonomi, krisis kemanusiaan pun tak terelakkan. Kini sekolah-sekolah ditutup karena kekurangan bahan bakar untuk membawa anak-anak dan guru ke ruang kelas.
Negara kepulauan berpenduduk 22 juta orang itu telah mengalami pemadaman listrik selama berbulan-bulan. Warga juga harus merasakan kekurangan pangan dan bahan bakar yang akut, serta inflasi yang melonjak ke rekor paling menyakitkan yang dicatat sejarah negeri itu.
Pada Rabu (13/7/2022), Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat nasional. Ini setelah beberapa jam Presiden Gotabaya Rajapaksa pergi meninggalkan negara itu ke Maladewa untuk kemudian melanjutkan 'pelariannya' ke Singapura.
Dinamika yang terjadi di Sri Lanka tentu menimbulkan pertanyaan di benak masyarakat Indonesia. Akankah Indonesia akan bernasib seperti Sri Lanka saat ini?
Tentu ini menjadi pertanyaan menarik yang layak untuk dijawab dengan basis data yang sulit. Kabar yang marak berkembang beberapa waktu belakangan mengatakan bahwa Indonesia akan bernasib sama dengan Sri Lanka yang tidak dapat membayar utang-utangnya atau bangkrut.
Penulis mencoba untuk memberikan gambaran yang komprehensif untuk dapat menjawab keresahan ini. Menurut penulis, selama negara masih memiliki pertumbuhan ekonomi positif dan utang diupayakan untuk turun, negara akan dapat survive dari jeratan utang dan ketidakpastian ekonomi di masa yang akan datang.
Pertama, kita akan membahas mengenai pertumbuhan ekonomi positif. Pertumbuhan ekonomi yang positif berarti keadaan kita lebih baik dari sebelumnya.
Apabila pertumbuhan utang lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi, berarti utang dalam bentuk belanja dianggap dapat mendorong ekonomi lebih tinggi dari sebelumnya. Dengan pertumbuhan ekonomi yang positif tersebut, diyakini utang dapat dibayarkan.
Lalu bagaimana dengan perekonomian Indonesia saat ini? Apabila dilihat dari data, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2022 sebesar 5,01%. Di tahun 2022, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,1%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang positif saat ini tentunya kita harus optimis bahwa Indonesia masih dalam posisi aman.
Kedua, kita akan membahas mengenai upaya untuk menurunkan level utang. Posisi level utang terhadap PDB per Juni 2022 di posisi 39,56%. Angka tersebut meningkat apabila dibandingkan sebelum pandemi Covid-19, yaitu sebesar 30,2%.
Level utang yang meningkat dalam beberapa periode belakangan merupakan dampak dari peningkatan defisit untuk mengatasi pandemi Covid-19. Rencana pemerintah menurunkan level defisit ke 2,97% pada tahun 2023 patut diapresiasi karena memperlihatkan komitmen pemerintah untuk menjaga fiskal agar tetap sehat.
Selain itu, upaya efisiensi belanja, peningkatan produktivitas, serta diversifikasi penerimaan yang menjadi kunci dalam menjaga level defisit agar tetap rendah; dan cita-cita anggaran berimbang juga patut diupayakan. Dengan semakin menurunnya level defisit, penurunan level utang dapat diwujudkan ke depannya.
Lalu, apakah Indonesia sedang menuju kondisi seperti yang terjadi di Sri Lanka saat ini? Hal itu tentunya patut dipertanyakan kembali.
Data memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki pertumbuhan yang positif. Selain itu, pemerintah berkomitmen menurunkan utang, salah satunya melalui target defisit di bahwa 3% di tahun 2023. Selain itu, efisiensi belanja, peningkatan produktivitas, serta diversifikasi penerimaan terus dikerjakan oleh pemerintah.
Dari sisi masyarakat, kita dapat mendukung perekonomian melalui pengawasan terus-menerus terhadap belanja negara, berpartisipasi pada penerimaan negara, serta peningkatan produktivitas yang salah satunya melalui peningkatan kualitas diri dan melek teknologi. Dengan demikian, kekhawatiran akan bangkrutnya Indonesia jauh dari yang dibayangkan.