
Rusia Jadi Korban Perang di Ukraina, 200 Ribu Orang Nganggur

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia kena imbas perang yang dilancarkan pemerintah Presiden Vladimir Putin ke Ukraina. Bagaimana tidak, ini terlihat dari angka pengangguran di ibu kota negara itu.
Setidaknya 200.000 orang kini menjadi pengangguran baru di Moskow. Hal ini diungkap Wali Kota Sergei Sobyanin dalam posting blog Senin (18/4/2022), sebagaimana dikutip NPR dari AFP.
Mereka rata-rata adalah karyawan perusahaan asing. Sebagaimana diketahui serangan Rusia ke Ukraina membuat sejumlah negara menjatuhkan sanksi yang berdampak ke eksodus besar-besaran perusahaan global dari negara itu.
"Menurut perkiraan kami, sekitar 200.000 orang berisiko kehilangan pekerjaan mereka," tegasnya.
Meski begitu, otoritas telah menyetujui program senilai 3,36 miliar rubel untuk mendukung pekerja yang berisiko diberhentikan dengan pelatihan dan pekerjaan sementara. Setidaknya ada 58.000 karyawan perusahaan asing yang menjadi target.
Menurut peneliti Yale School of Management, 750 perusahaan telah membatasi operasi di Rusia. Terbaru perusahaan makanan besar Nestle juga membantasi bisnis karena kritikan Presiden Ukraina Zelensky.
Sebelumnya, Gubernur Bank Sentral Rusia Elvira Nabiullina menyebut bahwa cadangan keuangan Negeri Beruang Merah itu mulai terganggu. Dalam pernyataan persnya kemarin, Nabiullina menyebut sanksi ekonomi negara Barat pasca keputusan Moskow menyerang Ukraina membuat ekonomi Rusia tidak dapat bertahan tanpa batas waktu.
"Masa ekonomi yang bisa hidup dari cadangan memang terbatas dan pada triwulan II dan III kita akan memasuki masa transformasi struktural dan pencarian model bisnis baru," ujarnya seperti dikutip Reuters.
"Sanksi, terutama mempengaruhi pasar keuangan. Tetapi sekarang mereka akan mulai makin mempengaruhi perekonomian."
Saat ini pihaknya sedang menyusun rencana baru yang menargetkan inflasi hingga 4% pada 2024 mendatang. Ia pun meminta agar produsen Rusia mulai mencari mitra perdagangan dan juga logistik yang baru.
"Masalah utama akan terkait dengan pembatasan impor dan logistik perdagangan luar negeri dan di masa depan dengan pembatasan ekspor. Eksportir perlu mencari mitra baru dan pengaturan logistik dan semua ini akan memakan waktu," ujarnya lagi.
Ia juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan untuk membuat penjualan hasil valas oleh eksportir lebih fleksibel. Pihaknya juga sedang menguji penerbitan rubel digital untuk memungkinkan warga Rusia melakukan transfer antar dompet digital.
"Operasi percontohan yang terkait dengan proyek itu direncanakan pada paruh kedua tahun ini," tambahnya.
Sebelumnya, Bank sentral Rusia mendongkrak suku bunga utamanya lebih dari dua kali lipat menjadi 20%. Namun kemudian Moskow memotongnya bulan ini menjadi 17% yang menandai tantangan ekonomi dan perlambatan inflasi.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perang Rusia-Ukraina Makan Korban, Ini Dampak ke Eropa-Asia
