"Ini memang masa-masa di mana pasti masyarakat mengalami goncangan. Kita melihat ini masa yang sulit sekali," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2022.
Menurut Bendahara Negara, setidaknya ada dua hal yang bakal menjadi tantangan bagi perekonomian global, yang juga bakal dihadapi Indonesia. Pertama adalah arah kebijakan moneter negara-negara maju.
Pekan lalu, bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed resmi menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0-,25-0,5%. Ini menjadi kenaikan pertama sejak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).
Bahkan sangat mungkin Federal Funds Rate terus naik sepanjang 2022. Mengutip dotplot terbaru keluaran Komite Pengambil Kebijakan The Fed (Federal Open Market Committee/FOMC), suara terbanyak adalah suku bunga acuan akan dikerek ke 1,75-2% pada akhir 2022.
Kenaikan suku bunga acuan tidak bisa terhindarkan karena The Fed bertanggung jawab untuk mengendalikan inflasi. Saat ini inflasi di Negeri Paman Sam sedang 'menggila'.
Pada Februari 2022, laju inflasi AS tercatat mencapai 7,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 1982.
Untuk mengerem laju inflasi, ekonomi harus dilambatkan. Jika 'roda' ekonomi mash berputar kencang, maka inflasi akan semakin tidak terkendali.
Inilah yang membuat suku bunga acuan sudah harus naik. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga dan dunia usaha akan lebih mahal. Ekspansi ekonomi melambat, permintaan pun melambat. Hasilnya tekanan inflasi diharapkan mereda.
AS berstatus sebagai perekonomian terbesar dunia, negara terkaya di dunia, pusat keuangan dunia. Saat suku bunga AS bergerak naik, maka negara-negara lain mau tidak mau harus mengikuti.
Bank Indonesia (BI) memang belum menaikkan suku bunga acuan. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2022, Gubernur Perry Warjiyo dan rekan masih mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 3,5%.
Dengan tren suku bunga global yang bergerak ke utara, BI tentu tidak bisa terlalu lama menahan suku bunga acuan. Jadi kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate bukan lagi soal apakah akan naik tetapi kapankah bakal naik.
"BI kemungkinan masih mempertahankan posisinya hingga pertengahan tahun, saat risiko inflasi lebih nyata yaitu saat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) mungkin sudah naik. Kemungkinan akan ada satu kali kenaikan pada kuartal III-2022 dan dua kali pada kuartal berikutnya sehingga pada akhir tahun BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di 4,75%," papar laporan DBS.
Saat suku bunga acuan naik, maka suku bunga di level perbankan pasti bakal ikut terangkat. Pada Januari 2022, rata-rata suku bunga deposito rupiah tenor satu bulan di perbankan komersial adalah 2,92%. Hanya turun empat bps dibandingkan bulan sebelumnya, koreksi paling rendah sejak Desember 2019.
Suku bunga deposito memang masih turun, tetapi laju penurunannya mulai melandai. Sangat mungkin ini karena pasar melihat prospek suku bunga ke depan yang bakal naik.
Apabila nantinya bunga deposito benar-benar naik, maka suku bunga kredit pasti mengikuti. Dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat awam, misalnya bunga Kredit Pemilikan Rumah akan semakin tinggi. Papan, yang merupakan salah satu kebutuhan pokok, menjadi kian sulit dijangkau.
'Badai' kedua adalah perang Rusia-Ukraina. Perang yang sudah berlangsung sekira sebulan itu membawa dampak yang tidak main-main.
Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (OHCHR) mencatat, korban jiwa dalam konflik ini mencapai 925 orang per 20 Maret 2022. Dari jumlah tersebut, 75 di antaranya adalah anak-anak.
Dampak perang Rusia-Ukraina menyebar ke mana-mana. Ekonomi juga kena getahnya.
Amerika Serikat (AS) telah memberlakukan sanksi larangan membeli minyak dari Negeri Beruang Merah. Padahal Rusia adalah salah satu pemain utama industri minyak dunia.
International Energy Agency mencatat, Rusia adalah eksportir minyak mentah kedua terbesar di dunia, hanya kalah dari Arab Saudi. Namun untuk minyak secara keseluruhan (dengan produk-produk turunannya), ekspor Rusia adalah nomor satu dunia.
Pada 2021, ekspor minyak Rusia tercatat 7,8 juta barel/hari. Terbanyak adalah minyak mentah dan kondensat 5 juta barel/hari, atau 64% dari total ekspor.
Kemudian ekspor produk minyak Rusia tahun lalu adalah 2,85 juta barel/hari. Terdiri dari 1,1 juta barel/hari gasoil, 650.000 barel/hari bahan bakar minyak, dan 500.000 barel/hari naphta, 280.000 barel/hari vacuum gas oil (VCO). Plus liquefied petroleum gas (LPG), avtur, dan petroleum coke dengan total 350.000 barel/hari.
Sayangnya, minyak masih menjadi sumber energi utama yang menggerakkan ekonomi dunia. Begitu minyak dari Rusia susah masuk ke pasar, otomatis harga naik dan kemudian mengerek biaya produksi dunia usaha. Saat harga minyak naik, harga bahan baku dan logistik pasti ikut terungkit.
Ini pun terasa di Indonesia. Pada Januari 2022, inflasi di tingkat produsen (Indeks Harga Perdagangan Besar/IHPB) mencapai 3,11% yoy. Ini adalah yang tertinggi sejak Desember 2018.
"Biaya yang dibayarkan dunia usaha meningkat dan lebih tinggi dari rata-rata. Tingginya harga bahan baku dilaporkan terjadi di seluruh sektor usaha manufaktur yang kemungkinan akan diteruskan ke konsumen," sebut laporan IHS Markit.
Tidak cuma harga minyak, komoditas pangan pun mengalami lonjakan harga. Gandum menjadi contohnya.
Rusia dan Ukraina adalah produsen gandum utama dunia, keduanya berada di peringkat 10 besar. Perang tentu akan mengganggu produksi dan distribusi gandum. Belum lagi ada sanksi terhadap ekspor Rusia, situasi menjadi semakin runyam.
Buat Indonesia, gandum ini bisa jadi persoalan. Produk Ukraina yang banyak didatangkan di Indonesia pada 2021 adalah serealia, yang mencakup gandum, dengan nilai US$ 946,5 juta. Diikuti oleh besi dan baja (US$ 53,3 juta) serta mesin dan peralatan mekanis (US$ 10,9 juta).
Untuk Januari-Februari 2022, komposisinya masih sama. Serealia masih dominan dengan nilai impor US$ 15,7 juta. Kemudian ada besi dan baja (US$ 15 juta) serta mesin dan peralatan mekanis (US$ 0,2 juta).
Khusus serealia, Ukraina adalah salah satu pemasok terbesar di Indonesia. Tahun lalu, serealia dari Ukraina menyumbang 23,23% dari total nilai impor komoditas tersebut. Nomor dua, hanya kalah dari Australia.
Jadi saat harga gandum melonjak gara-gara konflik di Ukraina, maka jangan kaget kalau harga sejumlah kebutuhan pokok bakal ikut naik. Dalam beberapa waktu ke depan, mungkin harga mie, roti, dan sereal akan terkerek.
"Kami memperkirakan harga roti, sereal, dan mie instan akan naik, atau setidaknya ukurannya bakal menyusut seperti tahu dan tempe saat harga kedelai naik," sebut Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas.
TIM RISET CNBC INDONESIA