Analisis

Ini Obat 'Kanker' Stagflasi! Sakit, tapi Mau Gimana Lagi...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 November 2021 13:55
Yuan, Dollar
Foto: REUTERS/Thomas White

Jakarta, CNBC Indonesia - Perlahan tetapi pasti, dunia mulai bangkit dari hantaman pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Namun bukan berarti masalah selesai, malah muncul ancaman baru yang tidak kalah seram.

Ancaman itu adalah stagflasi, kondisi di mana tekanan inflasi sangat terasa tetapi tidak berujung ke pertumbuhan ekonomi. Malah terjadi perlambatan.

Sepertinya ini risiko yang tengah membayangi berbagai negara. Ambil contoh di China.

Pada kuartal III-2021, Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Panda tercatat 4,9% dibandingkan kuartal III-2020 (year-on-year/yoy). Ini jadi yang terendah sejak kuartal II tahun lalu.

Padahal inflasi China relatif tinggi, pertanda peningkatan konsumsi rumah tangga. Pada Oktober 2021, inflasi China mencapai 1,5% yoy, tertinggi sejak September 2020.

Inflasi yang tinggi tetapi tidak pertumbuhan ekonomi yang sesuai ekspektasi disebabkan oleh masalah di sisi pasokan (supply). Saat permintaan (demand) melesat karena pelonggaran pembatasan sosial (social distancing), pasokan belum bisa mengikuti.

Masalah yang terjadi di sisi pasokan bermacam-macam. Ada keterbatasan tenaga kerja, karena sebagian orang masih takut beraktivitas di luar rumah gara-gara virus corona.

Ada pula masalah kelangkaan semi konduktor, yang terutama menghantam industri elektronik dan otomotif. Juga ada masalah tingginya harga energi seperti batu bara, gas alam, sampai minyak bumi.

Halaman Selanjutnya --> Sakit, Tapi Ini Caranya Mengobati Stagflasi

Jadi, bagaimana caranya mengobati 'kanker' stagflasi yang menggerus perekonomian dunia?

Henry Curr, Redaktur The Economist, menyebut satu-satunya jalan untuk membawa keseimbangan adalah mengerem permintaan. Sebab masalah produksi adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari, harus diterima.

"Untuk saat ini, rantai pasok sudah di batas maksimal. Trik mendorong konsumsi untuk merangsang ekspansi produksi sudah tidak bisa dilakukan," tulis Curr dalam opini berujudul Will the World Economy Return to Normal in 2022?

Solusi yang tersedia, lanjut Curr, memang sakit. Plus, tidak akan populis di mata rakyat.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Curr menilai bank sentral harus mulai menaikkan suku bunga. Dengan begitu, permintaan akan tertahan sehingga bisa menyesuaikan dengan pasokan yang masih terhambat. Harmoni alam akan tercipta.

"Bank sentral harus menurunkan daya beli masyarakat dengan menaikkan suku bunga. Dengan begitu, harapannya tidak ada inflasi yang berlebihan selagi sisi pasokan menyesuaikan diri," tegas Curr.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular