Internasional

Semangat Mr Xi Jinping! Deretan Krisis 'Bombardir' China

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
12 November 2021 08:55
CHINA-PROPERTY/KAISA GRP HLDG
Foto: REUTERS/THOMAS PETER

Jakarta, CNBC Indonesia - China saat ini sedang dilanda krisis di beberapa sektor seperti properti, energi, hingga pangan. Hal ini menambah panjang hambatan yang didapatkan negara itu dalam membangun kembali ekonominya pasca pandemi Covid-19.

Setidaknya ada enam krisis yang harus dihadapi China. Berikut rangkuman CNBC Indonesia dari berbagai sumber:

Properti

Krisis properti berawal di akhir September lalu. Ini ditandai dengan kejatuhan raksasa properti China, Evergrande Group.

Perusahaan itu terancam gagal membayar utang US$ 300 miliar (sekitar Rp 4.000 triliun). Analis menyebut hal ini terjadi lantaran perusahaan properti kedua terbesar China itu terlalu banyak meminjam uang sementara penjualan sektor properti sendiri sedang bermasalah.

Tak hanya Evergrande, perusahaan properti lainnya seperti Fantasia Holdings dan Sinic Holdings juga dilanda bencana keuangan yang sama.Fantasia Holdings dikabarkan gagal membayar kewajibannya senilai US$ 205,7 juta atau (Rp 2,9 triliun) sementara Sinic Holdings disebut-sebut tak mampu menutupi beberapa kewajibannya, utamanya bunga pinjaman.

Terbaru, masalah industri properti di China juga melanda Kaisa Group. Dilaporkan akhir pekan lalu, perusahaan berisiko untuk gagal bayar. Bahkan perdagangan di bursaHong Kong ditangguhkan termasuk anak usaha pengembang berbasis Shenzhen itu.

Serentetan masalah properti di China ini membuat bank sentral AS, Federal Reserve, memberi peringatan. Tekanan di sektor real estate China, termasuk Evergrande yang terlilit utang, berpotensi berdampak ke AS. Apalagi jika ini menyebar ke sistem keuangan China.

Dalam laporan stabilitas keuangan terbaru, The Fed mengatakan ada kekhawatiran tentang tingkat utang yang tinggi dan peningkatan nilai properti yang menyebabkan regulator Beijing mengambil tindakan. Tekanan dapat menyebabkan koreksi tiba-tiba harga real estate dan berdampak ke sistem keuangan China.

"Mengingat ukuran ekonomi dan sistem keuangan China serta hubungan perdagangannya yang luas dengan negara-negara lain di dunia, tekanan keuangan di China dapat membebani pasar keuangan global. Melalui penurunan sentimen risiko, menimbulkan risiko terhadap pertumbuhan ekonomi global, Amerika Serikat," kata laporan itu, dikutip AFP, Selasa (9/11/2021).

Halaman 2>>

Energi

Krisis selanjutnya yang melanda China adalah krisis energi. Krisis ini ditandai dengan berkurangnya pasokan listrik yang krusial untuk industri dan rumah tangga.

Oktober lalu, krisis ini telah membuat 20 provinsi dan wilayah mengalami pemadaman listrik dalam beberapa bulan terakhir. Pemadaman ini diketahui bisa terjadi hingga beberapa kali dalam sehari.

"Pemadaman listrik delapan kali sehari, empat hari berturut-turut... Saya tidak bisa berkata-kata," tulis seorang warga dari Liaoning yang frustrasi, dilansir dari AFP, bulan lalu.

Ini sendiri tidak lepas dari ambisi Presiden Xi Jinpingdalam mengurangi emisi karbon pada 2030. Ia berencana untuk mulai menghentikan operasional pembangkit batu bara dan menggantinya dengan energi terbarukan.

Namun untuk mencapai target itu, dibutuhkan pembangunan 100 giga watt pembangkit tenaga surya dan 50 giga watt tenaga angin setiap tahun untuk menyeimbangkan kenaikan konsumsi sebesar 5%. Hal ini jauh dari pertumbuhan energi terbarukan tahunan China yang baru mencapai setengah dari itu.

Meski begitu, krisis ini cukup mampu ditangani China. Dalam laporan yang dibuat oleh Commonwealth Bank of Australia pada awal November, jumlah provinsi China yang mengalami kekurangan listrik turun menjadi hanya dua pada pertengahan Oktober.

Hal ini berkat kebijakan pemerintah Negeri Tirai Bambu yang berhasil menaikan produksi batu bara nasional. Administrasi Negara untuk Keselamatan Tambang Batu Bara meningkatkan produksinya sekitar 600 ton per hari, dengan total produksi 55 juta ton pada kuartal keempat.

Meskipun demikian, musim dingin yang datang diyakini akan menimbulkan masalah baru.

Halaman 3>>

Covid-19

Sementara itu Covid kembali menyerang China. Bahkan, wabah kali ini disebut yang kedua terparah setelah corona muncul di Wuhan pertama kali, akhir 2019.

Komisi Kesehatan Nasional (CMA) kembali melaporkan infeksi baru Covid-19 yang sebagian besar ditularkan melalui transmisi lokal, Senin (8/11/2021). China mencatat 62 kasus baru setelah Minggu mengumumkan 89 kasus.

Mengutip Financial Times, gelombang Covid-19 saat ini, yang dimulai sejak 17 Oktober, sudah mencapai sebagian besar dari 31 provinsi China. Ini menjadi penyebaran terluas sejak awal pandemi muncul akhir 2019 lalu di Wuhan, Provinsi Hubei.

Mengutip Reuters, hingga 5 November, ada 918 kasus terkait penularan baru ini. Persisnya di 44 kota di 20 provinsi. Varian Delta menjadi penyebab gelombang kali ini.

Terbaru, otoritas di kota Heihe, China, menawarkan hadiah uang bagi siapa pun yang memberikan petunjuk dalam melacak sumber wabah Covid-19 terbaru di wilayah itu. Tak tanggung-tanggung, hadiah uang tersebut senilai US$ 15.500 atau setara Rp 222 juta.

Mengutip NDTV, kota Heihe terletak di perbatasan dengan Rusia. Maka itu, setiap kasus penyelundupan, perburuan ilegal dan penangkapan ikan lintas batas harus segera dilaporkan karena mungkin membawa Covid-19.

"Untuk mengungkap sumber wabah virus ini sesegera mungkin dan mengetahui rantai penularannya, perlu dilakukan perang rakyat untuk pencegahan dan pengendalian epidemi," kata pemerintah kota dalam sebuah pemberitahuan, dikutip Rabu (10/11/2021).

Heihe sendiri merupakan salah satu kota yang berada dalam situasi lockdown. Selain Heihe, dua kota China lainnya, Lanzhou, dan Eijin, juga mengalami penguncian serupa.

Worldometers mencatat terdapat total 98.001 kasus Covid-19 secara akumulatif sejak pandemi terjadi di akhir 2019. Tercatat 4.636 kematian.

Halaman 4>>

Krisis Sayuran

Bukan cuma Covid-19, masalah baru lainnya juga menyerang China yakni krisis pangan. Rata-rata harga pangan, terutama sayuran, melonjak 39,8% sejak September.

Ini disebabkan gagal panen akibat hujan lebat yang membanjiri lahan sayuran. Masalah bertambah karena langkah-langkah penguncian (lockdown) Covid-19 yang menghambat distribusi pangan di negara itu.

Halaman 5>>

Cuaca Ekstrim

Cuaca ekstrem juga ikut mengancam China. Setelah hujan di beberapa wilayah yang menyebabkan gagal panen pada Oktober lalu, Negeri Panda juga mulai dilanda badai salju. Terbaru, fenomena ini melanda provinsi di Timur Laut. 
Bahkan, volumen badai salju kali ini disebut-sebut merupakan rekor tertinggi dalam 70 tahun terakhir.

Beberapa wilayah seperti Provinsi Liaoning dan Jilin telah menyalakan peringatan kode merah untuk badai salju. Kode merah sendiri merupakan tingkat peringatan tertinggi dalam sistem peringatan cuaca berkode empat tingkat.

Zhou Chunxiao, kepala prediksi cuaca di Observatorium Meteorologi Provinsi Liaoning, mengatakan hujan salju baru-baru ini di Liaoning barat adalah yang terberat sejak pencatatan dimulai pada tahun 1951.

"Kedalaman salju maksimum 53 cm (21 inci) tercatat di kota Anshan, Liaoning, pada Selasa (9/11/2021)," ujarnya sebagaimana dikutip China News Weekly.

Hal ini sendiri telah menghadirkan ketakutan baru akan meningkatnya krisis listrik dan logistik. Pasalnya lalu lintas di provinsi Liaoning sangat terganggu, dengan sebagian besar jalan tol ditutup. Stasiun kereta api dan bus juga ditutup, kecuali di kota Dalian dan Dandong.

Sementara itu, wilayah timur laut juga telah meningkatkan upaya untuk menjaga temperatur ruangan tetap hangat, dengan pihak berwenang bekerja untuk meningkatkan kapasitas produksi energi dan impor batu bara.

"Terjadi keseimbangan yang ketat antara pasokan listrik dan permintaan selama musim dingin," sebut perusahaan penyedia energi nasional, State Grid.

Halaman 6>>

Panic Buying

Panic buying sendiri terjadi karena anjuran pemerintah yang meminta agar warga menimbun bahan-bahan pokok menjelang musim dingin.

"Kami meminta keluarga untuk menyimpan sejumlah kebutuhan sehari-hari yang diperlukan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari dan keadaan darurat," ujar situs resmi Kementerian Perdagangan China pekan lalu.

Mengutip laporan Reuters, Senin (8/11/2021) para manula di Beijing terlihat berebut sayur kubis di swalayan. Beberapa sudut memperlihatkan bagaimana orang-orang membawa bungkusan kubis sangat besar, yang kemungkinan bisa disimpan sebagai stok berbulan-bulan.

"Setiap tahun, di waktu ini, volume penjualan (kubis) memang meningkat. Tapi setelah laporan (penimbunan) keluar, semua orang buru-buru membeli semuanya bahkan lebih," kata seorang penjual di pasar Xinfadi, Beijing, Jia Jinzhi, dikutip Selasa (9/11/2021).

Beberapa supermarket disebut membatasi penjualan pada tiga kubis per orang. Namun warga yang datang setelah jam 9.00 tetap tak mendapat jatah.

Tak hanya di supermarket, warga juga mulai menyerbu beberapa website e-commerce seperti Alibaba. Bukan hanya sayuran, barang kebutuhan pokok lain seperti beras, kecap, dan saus sambal, menjadi tren di situs yang didirikan oleh Jack Ma itu.

Next Page
Krisis Energi
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular